Dalil-dalil orang yang membantah hadiah pahala bacaan untuk mayit dan jawabannya
Banyak orang salah mengartikan
makna beberapa hadits atau ayat ilahi berikut ini, dengan adanya salah
penafsiran tersebut mereka mudah mengharamkan atau mensesatkan
amalan-amalan orang hidup yang ditujukan pahalanya untuk orang yang
mati.
Golongan yang menolak hadiah pahala bacaan kepada simayit, berdalil dengan riwayat-riwayat berikut ini:
1. Hadits riwayat Muslim, dari Abu Hurairah ra :
عَنْ أبِى هُرَيْرَة (ر) أنَّ رَسُول الله .صَ. قَالَ: إذَا مَاتَ الإنسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ:
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَو عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, اَووَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ
Artinya: “Apabila seorang
manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah
jariyah (terus menerus berjalan) atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya
atau anak shalih yang mendo’akannya”.
Golongan pengingkar berkata:
Kata-kata ingata’a amaluhu (putus amalnya) pada hadits tersebut
menunjukkan bahwa amalan-amalan apapun kecuali yang tiga itu tidak akan
sampai pahalanya kepada mayyit !
Pikiran seperti itu adalah tidak
tepat, karena sebenarnya yang dimaksud hadits tersebut sangat jelas
bahwa tiap mayit telah selesai dan putus amalnya, karena ia tidak di
wajibkan lagi untuk beramal. Tetapi ini bukan berarti putus pengambilan
manfaat dari amalan orang yang masih hidup untuk si mayit itu. Begitu
juga tidak ada keterangan dalam hadits tersebut bahwa si mayit tidak
dapat menerima syafa’at, hadiah bantuan do’a dan sebagainya dari orang
lain selain dari anaknya yang sholeh.
– Dalam syarah Thahawiyah
halaman 456 disebutkan: bahwa dalam hadits tersebut tidak dikatakan
ingata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat) hanya
disebutkan ingata’a amaluhu (terputus amalnya). Adapun amalan orang
lain maka itu adalah milik orang yang mengamalkannya, jika dia
menghadiahkannya kepada si mayit, maka akan sampailah pahala orang yang
mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah pahala orang yang
mengamalkan bukan pahala amal si mayit itu.
Banyak hadits Nabi saw. yang
menyebutkan bahwa amalan-amalan orang yang hidup bermanfaat bagi si
mayit diantaranya ialah do’a kaum muslimin (jadi bukan hanya doa dari
anaknya saja) untuk si mayit pada sholat jenazah dan sebagainya (baca
keterangan sebelumnya), yang mana do’a ini akan diterima oleh Allah
swt., pelunasan hutang setelah wafat, pahala haji, pahala puasa dan
sebagainya (baca haditsnya dihalaman selanjutnya) serta do’a kaum
muslimin untuk sesama muslimin ,baik yang masih hidup maupun yang sudah
wafat, sebagaimana yang tercantum pada ayat Ilahi Al-Hasyr.10 .
Mengapa dalam hadits diatas
dicontohkan do’a anak yang sholeh karena dialah yang bakal selalu ingat
pada orang tuanya, dimana orang-orang lain telah melupakan ayah- nya.
Sedangkan anak yang tidak pernah atau tidak mau mendo’akan orang tuanya
yang telah wafat itu berarti tidak termasuk sebagai anak yang sholeh.
Dari anak sholeh ini si mayit
sudah pasti dan selalu (kontinu) menerima syafa’at darinya. Begitulah
yang dimaksud makna dari hadits ini. Dengan demikian hadits ini tidak
akan berlawanan/berbenturan maknanya dengan hadits-hadits lain yang
menerangkan akan sampainya pahala amalan orang yang masih hidup
(penebusan hutang, puasa, haji, sholat dan lain-lain) yang ditujukan
kepada simayit. Begitu juga mengenai amal jariahnya dan ilmu yang
bermanfaat, selama dua hal ini masih diamalkan oleh manusia yang masih
hidup, maka si mayit selalu (kontinu) menerima juga syafa’at darinya.
Kalau kita tetap memakai
penafsiran golongan pengingkar yang hanya membatasi do'a dari anak
sholeh yang bisa sampai kepada mayit, bagaimana halnya dengan orang yang
tidak mempunyai anak? Apakah orang yang tidak punya anak ini tidak bisa
mendapat syafa'at/manfaat do'a dari amalan orang yang masih hidup?
Bagaimana do’a kaum muslimin pada waktu sholat jenazah, apakah tidak
akan sampai kepada si mayyit? Sekali lagi penafsiran dan pembatasan
hanya do'a anak sholeh yang bermanfa’at bagi si mayit adalah tafsiran
yang salah, karena bertentangan dengan hadits-hadits shohih mengenai
amalan-amalan orang hidup yang bermanfaat buat si mayyit.
– Dalam Al-Majmu’ jilid 15/522
Imam Nawawi telah menghikayatkan ijma’ ulama bahwa ‘sedekah itu dapat
terjadi untuk mayyit dan sampai pahalanya dan beliau tidak mengaitkan
bahwa sedekah itu harus dari seorang anak ’.
Hal yang serupa ini juga
diungkapkan oleh Syaikh Bakri Syatha Dimyati dalam kitab I’anatut
Thalibin jilid 3/218: ‘ Dan sedekah untuk mayyit dapat memberi manfaat
kepadanya baik sedekah itu dari ahli warisnya maupun dari yang
selainnya’
– Juga hadits-hadits Nabi saw. mengenai hadiah pahala Qurban diantaranya yang diriyayatkan oleh Muslim dari Anas bin Malik ra:
عَنْ أنَسِ (ر) عَنْ عَلِىّ (كَرَّمَهُ اللهُ وَجْهَه) اَنَّهُ كَانَ يُضَحِّى بِكَبْشَيْنِ اَحَدُهُمَا عَنِ النَّبِى.صَ.
وَالآخَرُ
عَنْ نََفْسِهِ فَقِيْلَ لَهُ فَقَالَ اَمَرَنِي ِبهِ يَعْنِى النَّبِى صَ
فَلآ اَدَعُهُ اَبَدًا.
Artinya:
“Dari Anas bahwasanya Ali kw. berkorban dengan dua ekor kambing kibas.
Yang satu (pahalanya) untuk Nabi Muhammad saw.dan yang kedua (pahalanya)
untuk beliau sendiri. Maka ditanyakanlah hal itu kepadanya (Ali kw.)
dan beliau menjawab : ‘Nabi saw.memerintahkan saya untuk melakukan hal
demikian maka saya selalu memperbuat dan tidak meninggalkannya‘ ”. (HR
Turmudzi).
– Aisyah ra mengatakan
bahwasanya Rasulallah saw. menyuruh didatangkan seekor kibas untuk
dikorbankan. Setelah didatangkan beliau saw. berdo’a :
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ اُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
Artinya:
“Dengan nama Allah ! Ya, Allah terimalah (pahala korban ini) dari
Muhamad, keluarga Muhamad dan dari ummat Muhammad ! Kemudian Nabi
menyembelihnya”. (HR. Muslim)
– Begitu juga hadits yang senada
diatas dari Jabir ra yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan
Turmudzi yang menerangkan bahwa ia pernah shalat 'Iedul Adha bersama
Rasulallah saw., setelah selesai shalat beliau diberikan seekor domba
lalu beliau menyembelihnya seraya mengucapkan:
“Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah, kurban ini untukku dan untuk umatku yang belum melakukan qurban”.
Tiga hadits diatas ini
menunjukkan hadiah pahala korban dari Sayyidina Ali kw untuk dirinya dan
untuk Nabi saw., begitu juga pahala korban dari Nabi saw. untuk diri
beliau saw., para keluarganya dan bahkan untuk segenap ummatnya.
Hadits-hadits ini malah membolehkan hadiah pahala amalan yang ditujukan
kepada orang yang masih hidup yang belum sempat berqurban, padahal orang
yang hidup itu masih bisa beramal sendiri didunia ini.
– Imam Nawawi dalam syarah
Muslim jilid 8/187 mengomentari hadits diatas ini dengan katanya:
‘Diperoleh dalil dari hadits ini bahwa seseorang boleh berkorban untuk
dirinya dan untuk segenap keluarganya, serta menyatukan mereka bersama
dirinya dalam hal pahala. Inilah madzhab kita dan madzhab jumhur’.
– Juga pengarang kitab Bariqatul
Muhammadiyah mengkomentari hadits diatas tersebut dengan katanya; “Do’a
Nabi saw. itu menunjukkan bahwa Nabi menghadiahkan pahala korbannya
kepada ummatnya dan ini merupakan pengajaran dari beliau bahwa seseorang
itu bisa memperoleh manfaat dari amalan orang lain. Dan mengikuti
petunjuk beliau saw. tersebut berarti berpegang dengan tali yang teguh”.
– Juga sepakat kaum muslimin
bahwa membayarkan hutang dapat menggugurkan tanggungan mayyit walaupun
pembayaran tersebut dilakukan oleh orang yang lain yang bukan dari
keluarga mayyit. Hal yang demikian ini ditunjukkan oleh Abi Qatadah
dimana beliau menanggung hutang seorang mayyit sebesar dua dinar.
Tatkala beliau telah membayarkan yang dua dinar itu Nabi saw. bersabda:
‘Sekarang bisalah dingin kulitnya’. (HR. Imam Ahmad).
Walaupun cukup banyak hadits
yang membolehkan amalan orang yang hidup (hadiah pahala dan lain-lain)
yang berguna untuk si mayit tanpa menyebutkan syarat-syarat tertentu,
tapi ada golongan yang berbeda pendapat mengenai hukumnya penghadiahan
pahala ini. Ada golongan yang membedakan antara ibadah badaniyah
(jasmani) dan ibadah maliyah (harta).
Sebagian dari mereka berkata;
pahala ibadah maliyah seperti sedekah dan haji sampai kepada mayit,
sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur'an tidak
sampai. Mereka ini juga berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah
termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain,
sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah
tersebut untuk menggantikan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulallah saw.: ‘Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk
menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum
(puasa) untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan
untuk satu hari sebanyak satu mud gandum?’ (HR An-Nasa'i).
Sebenarnya yang dimaksud hadits
terakhir ini ialah: Misalnya si A malas untuk sholat Ashar maka si A
minta pada Si B untuk menggantikannya, inilah yang dilarang oleh agama.
Karena orang yang masih hidup harus menunaikan sholat sendiri-sendiri
tidak boleh diwakilkan pada orang lain.
Begitu juga bila orang yang
masih hidup tidak mampu puasa lagi karena alasan-alasan tertentu yang
dibolehkan agama umpama sudah tua sekali atau mempunyai penyakit chronis
dan lain sebagainya tidak boleh digantikan oleh orang lain, tetapi
yang bersangkutan setiap harinya harus mengeluarkan sedekah (fidyah)
untuk memberi makan orang miskin satu mud ( ± 800 gram).
Dengan demikian hadits terakhir
diatas ini tidak tepat sekali untuk digunakan sebagai dalil melarang
amalan ibadah badaniyah yang pahala amalannya dihadiahkan kepada orang
yang telah wafat. Karena cukup banyak hadits Rasulallah saw. ,baik
secara langsung maupun tidak langsung, yang membolehkan penghadiahan
pahala amalan untuk orang yang telah wafat baik yang berupa ibadah
badaniyah maupun ibadah maliyah.(baca haditsnya pada halaman berikut)
Sedangkan golongan ulama yang
berpendapat bahwa penghadiahan pahala ,baik itu ibadah badaniyah maupun
ibadah maliyah, akan sampai kepada simayyit umpama pembacaan Al-Qur’an,
puasa, haji, pelunasan hutang setelah wafat, sedekah dan lain-lainnya,
dengan mengqiyaskan hal ini pada hadits-hadits Nabi saw mengenai sampai
nya pahala ibadah puasa, haji, sholat, pelunasan hutang setelah wafat,
do’a kaum muslimin untuk muslimin yang telah wafat dan sebagainya.
Golongan ini berkata: "Pahala
adalah hak orang yang beramal, jika ia menghadiahkan kepada sesama
muslim maka hal itu mustahab/ baik, sebagaimana tidak adanya larangan
menghadiahkan harta untuk orang lain diwaktu hidupnya atau membebaskan
hutang setelah wafatnya".
Begitupun juga tidak ada dalil
jelas yang mengatakan pembacaan Al-Qur’an tidak akan sampai pada si
mayit. Jadi dengan banyaknya hadits dari Nabi saw. mengenai sampainya
pahala amalan atau manfaat do’a untuk si mayit bisa dipakai sebagai
dalil sampainya juga pahala pembacaan Al-Qur’an pada si mayit. Sayang
sekali kalau hal ini kita remehkan dan tinggalkan, karena Rahmat dan
Karunia Ilahi tidak ada batasnya.
2. Golongan pengingkar
menyebutkan beberapa dalil lagi untuk menolak hadiah pahala untuk si
mayit diantaranya, firman Allah dalam surat an-Najm ayat 39: ‘Tidaklah
ada bagi seseorang itu kecuali apa yang dia usahakan’.
Mereka berkata: Bukankah ini
menunjukkan bahwa amal orang lain tidak akan bermanfaat bagi orang yang
sudah mati karena itu bukan usahanya? Dengan demikian dalam Islam tidak
ada yang dinamakan hadiah pahala !
Ayat tersebut dijadikan oleh
mereka sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala untuk si mayit,
ini juga tidak tepat sekali. Banyak sekali jawaban para pakar islam
terhadap dimajukannya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya
hadiah pahala. Dalam ayat ini Allah swt. tidak mengatakan bahwa si
mayit tidak dapat mengambil manfa’at kecuali dari usahanya sendiri.
Untuk menafsirkan Al-Qur’an orang tidak boleh berpikir seenaknya sendiri
dan menyimpang dari pengertian-pengertian yang ada didalam Al-Qur’an
secara keseluruhan. Agar kita tidak terperosok kedalam penafsiran yang
salah tentang ayat An-Najm:39 itu, baiklah kita ketengahkan saja
pendapat beberapa ulama mengenai persoalan yang ada kaitannya dengan
pengertian ayat tersebut.
A. Dalam kitab Syarah Thahawiyah hal. 455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut, garis besarnya antara lain:
1. Manusia dengan usaha dan
pergaulannya yang santun akan memperoleh banyak kawan dan sahabat,
menikahi istri dan melahirkan anak, melakukan hal-hal yang baik untuk
masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta serta suka padanya..
Manusia yang banyak sahabat dan kawan yang cinta padanya itu bila wafat
akan memperoleh manfaat dari doa para sahabat dan kawan-kawannya
tersebut (umpama pada waktu sholat jenazah, ziarah kuburnya dan
sebagainya—pen). Dalam satu penjelasan Allah swt juga menjadikan iman
sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari
kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman,
maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada
yang demikian itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan
kepadanya oleh kaum mukiminin adalah sebenarnya bagian dari usahanya
sendiri).
2. Ayat Al-Qur’an tidak
menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang
lain. Ayat Al-Qur’an hanya menafi kan kepemilikan seseorang terhadap
usaha orang lain. Dua perkara ini jelas berbeda. Allah swt hanya
menfirmankan bahwa 'orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang dia
usahakan sendiri'. Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi
siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, dia boleh memberikannya kepada
orang lain atau boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri.(jadi pada
kata kata lil-insan pada ayat itu adalah lil-istihqaq yakni menunjukkan
arti ‘milik‘). Beginilah dua jawaban yang dipilih oleh pengarang kitab
Syarah Thahawiyah.
B. Pengarang tafsir Khazin
berkata: 'Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahim dan Musa. Adapun
umat Islam, maka mereka bisa mendapat pahala dari usahanya dan juga dari
usaha orang lain'.
Jadi ayat An-Najm:39 menerangkan
hukum yang terjadi pada syariat Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, bukan hukum
dalam syariat Nabi Muhammada saw. Hal ini dikarenakan pangkal ayat
tersebut berbunyi, yang artinya: 'Atau belumkah dikabarkan kepadanya apa
yang ada dalam kitab-kitab Musa dan Ibrahim yang telah memenuhi
kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan
bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain yang diusahakannya'.
C. Menurut ahli tafsir Ibnu Abbas ra dalam menafsirkan ayat An-Najm : 39 mengatakan :
اَلْحَقُنَابِهِم هَذَا مَنْسُوْخُ الحُكْمِ فِي هَذِهِ الشََّرِيْعَةِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى
ذُرِّيَّتَهُمْ فَاُدْخِل الأَبْنَاءُ الجَنَّةَ بِصَلاَحِ الآبَاءِ
Artinya:
“Ini (ayat) telah dinaskh (dikesampingkan) hukumnya dalam syari’at kita
dengan firman Allah Ta’ala; ‘Kami hubungkan dengan mereka anak-anak
mereka’, maka dimasukkanlah anak (yang beriman) kedalam surga berkat
kebaikan yang diperbuat oleh bapaknya”.(Tafsir Khazin jilid 4/223).
Firman Allah swt yang dimaksud
oleh Ibnu Abbas sebagai pengenyampingan surat An-Najm: 39 adalah surat
At-Thur ayat 21 yang artinya sebagai berikut:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman
dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka Kami hubungkan
anak cucu mereka itu dengan mereka dan Kami tidaklah mengurangi
sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang
dikerjakannya”. (At-Thur ayat 21) .
Dengan demikian menurut Ibnu
Abbas surat An-Najm; 39 itu sudah dikesampingkan hukumnya, berarti
sudah tidak bisa dimajukan sebagai dalil.
Kalau kita baca ayat At-Thur ini
menunjukkan bahwa amalan-amalan datuk-datuk kita yang beriman, yang
telah wafat bisa memberi syafa’at bagi kerabatnya yang beriman, yang
masih hidup. Nah, bukan hanya amalan-amalan orang yang hidup saja yang
bisa bermanfaat bagi si mayyit, tetapi orang yang beriman yang telah
wafatpun bisa memberi syafa’at.Tidak lain ini semua menunjukkan Rahmat
dan Karunia Ilahi yang sangat luas sekali.
D. Dalam Nailul Authar jilid
4/102 disebutkan: Bahwa kata-kata 'Tidak ada bagi seseorang itu....'
maksudnyailah 'tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun
dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa
yang tidak dia usahakan.
– Al-Jalalain (yaitu Jalaluddin
Al-Hamali dan Jalaluddin As-Sayuthi) dalam tafsirnya mengenai ayat
An-Najm:39 antara lain mengatakan: “Yang dimaksud dengan kalimat ‘apa
yang telah diusahakan’ (maa sa’aa) pada ayat tersebut ialah; hal-hal
yang berupa kebajikan. (dengan demikian) Manusia tidak memperoleh suatu
apa dari hal-hal yang bukan kebajikan”.
Sebagai uraian terhadap tafsir
Al-Jalalain itu, Syeikh Sulaiman bin Umar Al-Ajili terkenal dengan nama
Al-Jamal menerangkan bahwa ayat tersebut merupakan kelanjutan dari
ayat sebelumnya, yaitu ayat An-Najm:38 yang menegaskan; ‘Seseorang yang
berdosa tidak memikul dosa orang lain’ . Al-Jamal mengatakan, karena
dosa orang lain tidak menjadi beban orang yang tidak melakukan perbuatan
salah.
Lebih jauh Al-Jamal menerangkan
penafsiran ayat An-Najm:39 itu harus dikaitkan dengan ayat At-Thur:21,
yaitu firman Allah: ‘Dan orang-orang yang beriman, yang anak cucu
keturunannya mengikuti mereka dalam keimanan, mereka ini (anak cucunya)
akan Kami susulkan/kumpulkan kepada mereka (orang-orang yang beriman).
sedikit pun Kami tidak mengurangi pahala amal perbuatan mereka’. Selain
itu, penafsiran ayat An-Najm:39 harus dihubungkan pula dengan
hadits-hadits nabi saw, antara lain hadits yang mengatakan: ‘Apabila
seorang anak Adam wafat, putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara;
Ilmu bermanfaat (yang ditinggalkan), shadaqah jariyah dan anak sholeh
yang berdoa untuknya (orang tuanya)’. Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat
tersebut dinaskh (mansukh, terkesampingkan) oleh ayat At-thur:21.
Sebagai dalil/hujjah ia
mengemukakan ayat At-Thur:21 itu bersifat pemberitaan dari Allah swt.
Semua ayat yang bersifat pemberitaan tidak terkena naskh (tidak
mansukh). Ibnu Abbas mengatakan juga bahwa ayat An-najm:39 itu pada
hakikatnya semakna dengan hadits terakhir tersebut diatas. Sebab jika
dipikirkan secara mendalam apa sebab anak yang sholeh berdoa untuk orang
tuanya, sesungguh- nya itu merupakan hasil amal kebajikan orang tua
yang mengasuhnya dengan baik sejak kecil. Jadi berarti orangtua memetik
hasil usahanya sendiri. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kebajikan atau
amal sholeh yang dilakukan oleh seseorang dapat mendatangkan manfaat
atau pahala bagi orang lain. Hal ini dibenarkan oleh hadits-hadits
shohih yang menerangkan bahwa para Nabi dan orang-orang sholeh atas izin
Allah swt. dapat memberi pertolongan (syafaat) kepada orang lain.
Barangsiapa yang memikirkan dan merenungkan nash-nash Al-Qur’an dan
hadits mengenai persoalan itu, ia akan menemukan banyak pengertian
tentang kenyataan itu. Karenanya, tidaklah semestinya kalau ayat
An-Najm:39 itu ditafsirkan terlepas dari kaitan ayat-ayat lain dan
hadits-hadits Nabi saw. Sesuatu yang kelihatannya bersifat umum ternyata
mengandung banyak kekhususan.
Didalam tafsir Khazin dan
hadits-hadits Ibnu Abbas ra, terdapat dalil-dalil madzhab Syafi’i,
Maliki, Hanbali dan lain-lain yang mengatakan; bahwa ibadah haji yang
dilakukan oleh anak kecil (sebelum akil-baligh) adalah sah, dan anak itu
mendapat pahala, walau pun ibadah haji baginya belum merupakan ibadah
wajib, tetapi hanya bersifat tathawwu’ (mustahab). Imam Abu Hanifah
mengenai soal itu berpendapat, bahwa ibadah haji yang dilakukan oleh
anak kecil tidak dapat dipandang sah sebagai penunaian rukun Islam,
tetapi hanya sekedar latihan ibadah saja. Demikian pula mengenai
shodaqah yang dilakukan seseorang atas nama orang lain yang telah wafat.
Mengenai soal itu para ulama
bersepakat bulat bahwa pahala shodaqah itu diterima oleh orang yang
telah wafat. Begitu juga soal doa, pelunasan hutang, ibadah haji dan
puasa yang diperuntukkan/diniatkan (pahalanya) untuk orang yang telah
wafat.
Akan tetapi mengenai soal puasa
bagi orang yang telah wafat, para ulama berbeda pendapat. Sebagian
memandang sah puasa yang dilakukan secara tathawwu’ bagi orang lain yang
kedahuluan wafat sebelum sempat memenuhi kewajiban puasa yang
tertinggal. Sebagian yang lainnya memandang puasa seperti itu tidak sah.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa membaca Al-Qur’an pahalanya tidak dapat
sampai kepada orang yang telah wafat (baca uraian sebelumnya mengenai
pendapat imam syafi' i yang ditahqiq oleh para ulama syafi'iyah). Akan
tetapi para ulama sahabat Imam Syafi’i berpendapat, bahwa pembacaan
Al-Qur’an pahalanya dapat sampai kepada orang yang telah wafat. Dalam
hal itu Imam Ahmad bin Hanbal sependapat dengan para sahabat Imam
Syafi’i. Begitu juga mengenai sholat sunnah yang diperuntukkan bagi
orang yang telah wafat, Imam Syafi’i dan para ulama lainnya sependapat,
bahwa pahalanya tidak dapat diterima oleh orang yang telah wafat. Akan
tetapi Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, semua ibadah sunnah yang di
peruntukkan bagi orang yang telah wafat, pahalanya dapat sampai
kepadanya.
Mari kita rujuk pendapat Ibnu
Taimiyah ulama yang diandalkan oleh golongan pengingkar dalam tafsir
Jamal jilid 4 bahwa beliau berkata : “Barangsiapa meyakini bahwa
seseorang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dengan amalnya sendiri,
maka sungguh dia telah melanggar ijma’ dan yang demikian itu adalah
batil ”.
Sebagai dalil/hujjah Ibnu
Taimiyah menguraikan keterangan-keterangan secara rinci masalah ini
(antara lain yang tertulis dalam kitab Al-Futuhatul Ilahiyyah hal.235
sampai hal. 237) mengatakan:
a. Kisah dua anak yatim dari
orangtua yang sholeh, sebagaimana termaktub surat Al-Kahfi:82. Itu pun
sepenuhnya merupakan manfaat yang diperoleh dari orang lain, bukan dari
amal kebajikan dua anak yatim itu sendiri.
b. Rasulallah saw menangguhkan
sholat mayyit bagi orang yang wafat dalam keadaan berhutang hingga
hutangnya dilunasi oleh orang lain, seperti yang dilakukan oleh Qatadah
ra dan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Itupun merupakan kenyataan bahwa
manfaat dapat di peroleh dari amal kebajikan orang lain.
c.Zakat fitrah diwajibkan atas
anak kecil ( yang belum baligh) yang menjadi tanggungan orangtua atau
walinya. Hal ini merupakan ketentuan syara’ yang mengandung pengertian,
bahwa manfaat pahala yang diperoleh anak itu datang dari amal kebajikan
orang lain yang menginfakkan zakat tersebut, bukan dari amal dan usaha
anak itu sendiri.--Wajib zakat yang dikenakan atas harta kekayaan anak
yang masih kecil (harta waris peninggalan orangtuanya), atau yang
dikenakan atas harta kekayaan orang yang sakit ingatan ini semua
merupakan petunjuk bahwa mereka itu dapat memperoleh pahala dari zakat
yang dikeluarkan dari hartanya. Sekalipun mereka itu tidak mempunyai
kesanggupan berpikir dan beramal, tetapai dengan hartanya yang diatur
dan dilakukan orang lain mereka memperoleh pahalanya
d.Nabi saw. akan memberi
syafa’at terhadap orang-orang dipadang mahsyar dalam hal hisab dan
terhadap calon-calon penghuni surga dalam hal masuk kedalamnya. Dan nabi
saw. akan memberi syafa’at terhadap para pelaku dosa besar dalam hal
keluar dari neraka. Ini semua berarti seseorang mengambil manfaat dengan
usaha orang lain.
e.Anak-anak orang mukmin (yang
wafat dalam keimanan) akan masuk surga dengan amal bapak mereka (yang
mukmin) dan ini juga berarti mengambil manfaat semata-mata amal orang
lain. (QS at-Thur : 21--pen.).
f.Orang yang duduk dengan ahli
dzikir akan diberi rahmat (ampunan) dengan berkah ahli dzikir itu
sedangkan dia bukanlah diantara mereka dan duduknya itupun bukan untuk
dzikir melainkan untuk keperluan tertentu, maka nyatalah bahwa orang itu
telah mengambil manfaat dengan amalan orang lain. (HR Bukhori, Muslim
dari Abu Hurairah, baca haditsnya pada bab Faedah majlis dzikir di buku
ini--pen).
g. Shalat untuk mayyit (baca:
sholat jenazah) dan berdo’a untuk si mayyit didalam shalat ini, adalah
pemberian syafa'at untuk mayyit dengan shalatnya itu, ini juga
pengambilan manfaat dengan amalan orang lain yang masih hidup.
h. Alllah swt berfirman pada
Rasulallah saw : ‘Tidaklah Allah akan mengadzab/menyiksa mereka
sedangkan engkau masih ada diantara mereka’. ‘Kalaulah bukan karena
laki-laki yang mukmin dan wanita-wanita yang mukmin..’ (Al Fath: 25). ‘
Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia terhadap
sebagian yang lain niscaya rusaklah bumi ini’. (Al Baqarah :25). Dalam
ayat-ayat ini Allah swt mengangkat adzab/siksa (adzab umum—pen.)
terhadap sebagian manusia dengan sebab sebagian yang lain dan ini juga
termasuk pengambilan manfaat dengan amalan orang lain.
Jelaslah bahwa pahala bukan dari
amal atau usaha mereka sendiri, melainkan berkat amal dan bantuan orang
lain.Tidak diragukan lagi, barangsiapa yang mau berpikir mendalami
persoalan seperti sampai sekecil-kecilnya, ia pasti akan menemukan
banyak kenyataan yang menunjukkan bahwa manfaat dapat diperoleh dari
kebajikan, amal dan usaha orang lain. Setelah kesemuanya ini terang dan
jelas, lantas bagaimanakah kita hendak menafsirkan ayat suci itu
(An-Najm:39) dengan pengertian yang berlainan dari makna seluruh
Al-qur’an dan sunnah Rasulallah saw, serta ijma’ umat nabi Muhamad saw?
Demikianlah sebagian
alasan-alasan yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah mengenai pengambilan
manfaat dari amalan-amalan orang lain untuk si mayit. Sebenarnya masih
banyak lagi alasan Ibnu Taimiyah mengenai ini tapi kami tidak cantumkan
semua disini.
Juga kesimpulan Ibnul Qayyim dalam kitab Al-Ulama wa aqwaaluhum fii sya’nil amwat wa ahwaalihim hal.36-37 :
“Nash-nash ini jelas menerangkan
sampainya pahala amalan untuk mayyit apabila dikerjakan oleh orang yang
hidup untuknya karena pahala itu adalah hak bagi yang mengamalkan, maka
apabila dia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim tidaklah
tercegah yang demikian itu sebagaimana tidak tercegah orang yang
menghadiahkan hartanya dimasa hidupnya dan membebaskan piutangnya untuk
seseorang sesudah matinya. Rasulallah saw. menegaskan sampainya pahala
puasa yang hanya terdiri dari niat dan tidak makan minum yang semua itu
hanya diketahui oleh Allah, maka sampainya pahala bacaan yang merupakan
amalan lisan yang didengar oleh telinga dan disaksikan oleh mata adalah
lebih utama”.
Banyaknya penafsiran ini adalah
demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan dengan dhohir ayat
semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil
baik dari Al-Qur'an maupun hadits shohih yang akan ditentang oleh ayat
tersebut, sehingga akan menjadi gugur dan tidak terpakai lagi.
Wallahua'lam.
3. Dalil lainnya dari golongan pengingkar yaitu firman Allah swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 286, yang artinya:
“Allah tidak membebani seseorang
kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada
kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada
kejahatan)”.
Mereka ini berkata : Bukankah
ayat ini menunjukkan bahwa usaha orang lain tidak akan didapatkan
pahalanya dan kejahatan orang lain tidak akan dipikulkan dosanya.
Pengertian yang seperti itu
adalah tidak benar sekali ! Karena dalam ayat itu juga tidak menafikan
seseorang akan mendapatkan manfaat dari usaha orang lain. Hal ini sama
dengan ucapan: Seorang akan memperoleh harta dari usahanya sendiri.
Ucapan ini bukan berarti dia tidak bisa memperoleh harta yang bukan dari
usahanya sendiri, karena bisa saja dia memperoleh harta dari warisan
orang tuanya, pemberian hadiah dari orang lain. Lain halnya kalau ayat
diatas mengandung pembatasan (hasr) umpama bunyi- nya sebagai berikut :
اِلاَّ مَاكَسَبَتْ لَيْسَ لَهَا
"Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya bisa mendapat apa yang dia usahakan”.
Sebagai tambahan jawaban silahkan rujuk kembali kolom nr. 2 diatas .
4. Mereka juga berdalil pada firman Allah swt. dalam surat Yaasin ayat 54, yang artinya :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Dengan berdalil dengan ayat ini
mereka meniadakan pahala dari orang lain, pikiran seperti ini juga tidak
tepat sekali karena dalam ayat ini jelas Allah swt juga tidak menafi-
kan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut
adalah :
“Pada hari dimana seseorang
tidak akan didzalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan
kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Dengan memperhatikan konteks
ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa seseorang tidak akan disiksa sebab
kejahatan orang lain, jadi bukan berarti seseorang tidak bisa
memperoleh pahala sebab amal kebaikan orang lain (baca Syarah Thahawiyah
hal. 456).
Sebagai tambahan jawaban silahkan rujuk keterangan jawaban kolom nr. 2 diatas .
5. Golongan pengingkar ini juga
berkata bahwa membaca Al-Qur’an untuk mayit tidak dikenal dan tidak
diamalkan oleh para salaf dan juga tidak ada petunjuk dari Nabi saw.
lalu mengapa hal itu dilakukan oleh orang-orang sekarang ? Juga kata
mereka: Yang sudah nyata-nyata disyariatkan adalah berdo’a untuk mayit.
Mengapa tidak itu saja yang dilakukan tanpa harus capek-capek membaca
Al-Qur’an, tahlil dan dzikir terlebih dahulu…”.
Sebagaimana telah dikemukakan
pada bab Bid'ah diwebsite ini bahwa Nabi saw. sendiri meridhoi amalan
bacaan para sahabatnya tambahan bacaan dalam sholat yang diamalkan oleh
sahabat beliau saw, yang mana amalan bacaan tersebut tidak pernah
adanya petunjuk sebelumnya dari Nabi saw.serta tidak pernah sesudahnya
di perintahkan oleh beliau saw.!
Tidak ada petunjuk Nabi saw.
atau tidak diamalkan oleh para salaf bukanlah sebagai satu dalil atau
hujjah untuk melarang dan mengharamkan hal tersebut, apalagi mereka
memutuskan bahwa pahala bacaan tersebut tidak akan sampai pada si
mayyit!!
Pikiran dan pertanyaan semacam
diatas ini juga bukan sebagai dalil atau hujjah untuk tidak sampainya
pahala bacaan. Kalau mereka mengakui hadits shohih mengenai sampainya
pahala haji, puasa dan do’a, maka apakah perbedaan yang demikian itu
dengan sampainya pahala membaca Al-Qur’an? Janganlah kita membatasi
sendiri Rahmat Ilahi, karena Rahmat-Nya sangat luas sekali !!
“Rasulallah saw. waktu itu
ditanya mengenai haji untuk orang yang sudah wafat, puasa untuk orang
yang sudah wafat dan sedekah untuk orang yang sudah wafat, beliau
mengizinkan semuanya ini dan amalan-amalan tersebut akan sampai pada si
mayit serta beliau saw. tidak melarang untuk selain yang demikian. Lalu
apakah perbedaan sampainya pahala puasa yang semata-mata niat dan imsak
dengan sampainya pahala bacaan dan dzikir (yang di-iringi dengan niat
juga)?” ( Syarah Aqidah Thahawiyah hal.457).
Orang yang membaca Al-Qur’an,
tahlil dan dzikir, sudah tentu akan mendapat pahala, karena banyak
sekali hadits yang meriwayatkan pahala bacaan Al-Qur’an dan dzikir.
Pahala itu adalah hak milik orang yang berdzikir, kemudian dia berdo’a
kepada Allah swt agar pahala yang dimiliki itu disampaikan kepada orang
yang sudah wafat baik itu orang tuanya, sanak kerabatnya atau orang
lain. Dalam hal ini apanya yang dilarang…?
– Imam Syaukani dalam Nailul Authar jilid 4/101 bersabda:
فَإِذَاجَازَ الدُّعَاءُ لِلْمَيِّتِ بِمَا لَيْسَ لِلدَّاعِي فَلأنْ يَجُوْزَ بِمَاهُوَا لَهُ أوْلَى
Artinya: “Kalau boleh berdo’a
untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh sipendo’a, maka
tentu kebolehan berdo’a untuk mayyit dengan sesuatu yang dimiliki oleh
sipendo’a (yaitu pahala)adalah terlebih utama”.
Jadi kita dibolehkan do’a apa
saja kepada Allah swt. walaupun isi do’a itu belum kita miliki sendiri
umpamanya ‘Ya Allah berikanlah pada dia seorang keturunan yang sholeh,
rizki yang makmur dan kesuksesan’ . Do’a seperti ini tidak ada yang
membantah apalagi melarang bahkan sangat dianjurkan. Jadi mengapa orang
yang berdo’a untuk menghadiahkan sesuatu yang telah dimiliki yaitu
pahala, malah justru dilarang ?
– Hadits dari Auf bin Malik ia
berkata: Saya telah mendengar Rasulallah saw. bersabda –yakni ketika
menyalatkan jenazah– : ‘Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia,
maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya,
luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun,
bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari
kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat
tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang
lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan
siksa neraka’. (HR Muslim).
Diterima dari Waila bin Asqa’
katanya; Nabi saw. menyalatkan seorang lelaki Islam bersama kami, maka
saya dengar beliau mengucapkan : “Ya Allah, sesungguhnya si Anu anak si
Anu adalah dalam tanggungan dan ikatan perlindungan-Mu, maka lindungilah
ia dari bencana kubur dan siksa neraka, sungguh Engkau Penepat janji
dan Penegak kebenaran. Ya Allah, ampunilah dia dan kasihanilah dia,
karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Penyayang”. (HR.Ahmad dan
Abu Daud)
Rasulallah saw. yang mengajarkan
pada kita bacaan do’a dalam sholat jenazah diatas ini untuk si mayat
yang mana isi do'a tersebut belum semuanya dimiliki oleh si pendo’a
sendiri dan do’a ini toh akan bermanfaat pada si mayyit. Apa gunanya
atau keistemewaannya Rasulallah saw. mengajarkan dan menganjurkan agar
muslimin membaca do'a-do'a tersebut pada sholat jenazah kalau semuanya
tidak ada manfa'at/syafa'at untuk mayyit ? Wallahu a'lam.
Mari kita rujuk dalil-dalil hadiah pahala amalan yang bisa sampai kepada mayyit, diantaranya adalah :
Pahala sedekah untuk orang yang sudah wafat.
– Hadits dari Abu Hurairah :
عَنْ
أبِيْ هُرَيْرَة(ر) أنَّ رَ جُلاً قَالَ لِلنَّبِي.صَ. : أنَّ أبِي مَاتَ
وَتَرَكَ مَالاً وَلَمْ يُوْصى فَهَلْ يكفرعَنْهُ أنْ أتَصَدَّقَ عَنْهُ ؟
قَال َنَعَمْ
“Bahwa
seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah saw.: ‘Ayah saya meninggal
dunia, dan ada meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah
dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan ?’ Nabi saw. menjawab :
Dapat!” (HR Ahmad, Muslim dan lain-lain)
– Hadits dari Aisyah r.a.berkata:
عَنِ عَائَشَة رَضِيَ الله عَنْهَا أنَّ رَجُلاً أتَى النَّبِى.صَ. وَقَالَ: إنَّ أمِّى افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَم تُو ص
وَأظُنُّهَا لَو تَكَلَّمت تَصَدَّقَتْ اَفَلهَا اَجْر إنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ
‘Seorang lelaki datang kepada
Nabi saw. dan berkata: Ibuku telah mati mendadak, dan tidak berwasiat
dan saya kira sekiranya ia sempat bicara, pasti akan bersedekah, apakah
ada pahala baginya jika Aku bersedekah untuknya? Jawab Nabi saw: Ya.’
(HR.Bukhori, Muslim dan Nasa’i)
– Artinya: Hadits dari Sa’ad
ibnu Ubadah ra. bahwa ia pernah berkata : “Wahai Rasulallah,
sesungguhnya Ummu Sa’ad telah meninggal dunia, kiranya sedekah apa yang
lebih utama untuknya?” Sabda beliau saw.: ‘Air ‘. Maka Sa’ad menggali
sebuah sumur, kemudian ia berkata: “Sumur ini aku sedekahkan untuk Ummu
Sa’ad”. (HR Abu Dawud, Ahmad dan Nasa’i)
– Dari Ibnu Abbas (rah). dia berkata :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: تُوُفِّيَتْ أمُّ سَعْدِ ابْنِ عُبَدََةَ وَهُوَغَائِبُ عَنْهَا
فـَقَالَ يَا رَشُول الله إنَّ أمِّى تُوُفِّيَتْ وَاَنَاغَائِبٌ عَنْهَا أيَنفَعُهَا شَيْئٌ إنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنـْهَا؟
قـَالَ نَعَمْ, قَالَ فَإنِّي أشْهِدُكَ أنْ حَائِطي المِخْرَافُ صَدَقَةٌ عَنْهَا.
Artinya:
“Ibu Saad bin Ubadah meninggal dunia disaat dia (Saad bin Ubadah)
sedang tidak ada ditempat. Maka berkatalah ia : ‘Wahai Rasulallah!
Sesungguhnya ibuku telah wafat disaat aku sedang tidak ada disisinya,
apakah ada sesuatu yang bermanfaat untuknya jika aku sedekahkan ? Nabi
menjawab; Ya ! Berkata Sa’ad bin Ubadah : Saya persaksikan kepadamu
(wahai Rasulallah) bahwa kebun kurma saya yang sedang berbuah itu
sebagai sedekah untuknya’.” (HR Bukhori, Turmudzi dan Nasa’i)
Hadits-hadits dan wejangan para
ulama yang tercantum dalam buku ini jelas menunjukkan bahwa
amalan-amalan sedekah orang yang masih hidup dan diniatkan pahalanya
untuk orang yang sudah wafat akan dapat membawa manfaat dan sampai
pahalanya baginya.
Pahala Puasa dan Sholat.
– Hadits dari Aisyah ra. Rasulallah saw. bersabda:
عَنِ عَائَشَة رَضِيَ الله عَنْهَا عَنِ النَّبِى قَالَ: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَام, صَامَ عَنْهُ وَلِيُّـهُ.
‘Barang
siapa yang wafat dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka walinya
berpuasa untuknya’. (Yang dimaksud wali disini yaitu kerabat- nya
walaupun bukan termasuk ahli waris). (HR.Bukhari dan Muslim, Abu Daud
dan Nasa’i )
– Hadits dari Ibnu Abbas :
جَاءَ رَجُلٌ إلَى النَّبِى.صَ. فَقَالَ: يَا رَسُول الله انَّ أمِّي مَا تَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمَ شَهْر فَأقـْضِيهِ عَنْهَا ؟
قَالَ لَوْ كَانَ عَلَى أمِّكَ دَيْن أكَنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا ؟ قَالَ: نَعَم, قَالَ: فَدَيْنُ الله أحَقُّ أنْ يُقْضَى.
“Seorang
lelaki datang menemui Rasulallah saw. ia berkata : ‘Ya Rasulallah,
ibuku meninggal dunia, sedang ia mempunyai kewajiban berpuasa selama
sebulan. Apakah saya wajib kadha atas namanya?’ Nabi saw. berkata;
Bagaimana jika ibumu mempunyai hutang, apakah akan kamu bayarkan
untuknya? ‘Benar’ jawabnya. Nabi berkata, maka hutang kepada Allah lebih
layak untuk dibayar!” (HR.Bukhori dan Muslim)
– Hadits riwayat Daruquthni :
أنَّ
رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُول الله انَّهُ كَانَ لِى أبَوَان أبِرُّهُمَا فِي
حَيَاتِهِمَا فَكَيْفَ لِي بِبِرّهِمَا بَعْدَ مَوتِهَِا ؟
فَقَـالَ
: انَّ مِنَ البِرِّ بَعْدَ المَوْتِ أنْ تُصَلّيَ لَهُمَا مَعَ
صَلاَتِـكَ, وَأنْ تَصُومُ لَهُمَا مَعَ صيَاْمِكَ
“Bahwa
seorang laki-laki berkata : ‘Ya Rasulallah, saya mempunyai ibu dan
bapak yang selagi mereka hidup saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana
caranya saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia?’
Jawab Nabi saw : Berbakti setelah mereka wafat ! , caranya adalah dengan
melakukan sholat untuk mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk
mereka disamping puasamu !”.
Pahala Haji.
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُـمَا انَّ امْرَأةَ مِنْ جُهَيْنـَةِ
جَائَتْ الَى النَّبِى .صَ. فَقَالَتْ: انَّ أمّي نَذَرَتْ
انْ
تُحِجَّ فَلَـمْ تَحِجْ حَتَّى مَاتَتْ أفَأحِجَّ عَنْهَا؟ قَالَ : حجِّي
عَنْهَا, لَوْ كَانَ عَلَى أمّـِك دَيْن أكَنْت قَاضِيـتَهُ ؟
اُقْضـُوا
فَالله اَحَقُّ بِالقَضَاءِ. وَفِى روايَةِ : فَالله اَحَـقُّ
بِالوَفَـاءِ
Artinya:
Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- bahwa seorang wanita dari
Juhainnah datang kepada Nabi saw. dan bertanya: ‘Sesungguhnya ibuku
nadzar untuk haji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah
saya melakukan haji untuknya? Rasulallah saw. menjawab: Ya, bagaimana
pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya?,
bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar’.
(HR Bukhari)
Pada hadits ini Nabi saw.
memberi perintah agar membayar haji ibunya yang sudah wafat. Namun bila
si mayyit tidak memiliki harta, maka disunnahkan bagi ahli warisnya
untuk menghajikannya. Apabila alasan sesuatu atau lain- nya sehingga hal
ini tidak bisa dihajikan oleh ahli warisnya, maka penggantian hajinya
itu boleh dilimpahkan kepada orang lain, dengan syarat orang ini sendiri
harus sudah menunaikan haji, bila belum maka haji yang dikerjakan
tersebut berlaku untuk dirinya. Cara seperti ini biasa disebut dengan
badal haji.
Dalilnya ialah hadits dari Ibnu Abbas :
“Bahwa Nabi saw.pernah mendengar
seorang laki-laki berkata: Labbaik an Syubrumah (Ya Allah, saya
perkenankan perintahMu untuk si Syubrumah). Nabi bertanya: Siapa
Syubrumah itu ? Dia menjawab : Saudara saya atau teman dekat saya. Nabi
bertanya: Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu? Dia menjawab: belum!
Nabi bersabda: Berhajilah untuk dirimu kemudian berhajilah untuk
Syubrumah ! ”. (HR.Abu Daud)
Ditinjau dari dalil Ijma’
(sepakat) ulama dan Qiyas bahwa do’a dalam sholat jenazah akan
bermanfaat bagi mayit, bebasnya hutang mayit yang ditanggung oleh orang
lain sekalipun bukan keluarga (HR.Ahmad dari Abi Qatadah) dan lain
sebagainya, semuanya ini bisa bermanfaat bagi mayit. Pahala itu adalah
hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang
muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang
menghadiahkan harta atau membebaskan hutang untuk orang lain diwaktu
hidupnya dan setelah wafatnya.
Demikian juga Rasulallah saw.
menganjurkan puasa untuk menggantikan puasa orang yang telah meninggal.
Rasulallah saw. menghadiahkan pahala qurban untuk keluarga dan ummatnya
yang tidak mampu berqurban, padahal qurban adalah melalui menumpahkan
darah.
Ibadah haji merupakan ibadah
badaniyah (bagi yang dekat). Harta bukan merupakan rukun dalam haji
tetapi sarana. Hal itu karena seorang penduduk Makkah wajib melaku kan
ibadah haji apabila ia mampu berjalan ke Arafah tanpa disyaratkan harus
memiliki harta. Jadi ibadah haji bukan ibadah yang terdiri dari harta
dan badan, namun ibadah badan saja (bagi yang mampu berjalan). Begitu
juga kita perhatikan arti fardhu kifayah, dimana sebagian orang bisa
mewakili sebagian yang lain. Persoalan menghadiah- kan pahala itu
mustahab/boleh, jadi bukan menggantikan pahala, sebagaimana seorang
buruh tidak boleh digantikan orang lain, tapi gajiannya/upahnya boleh
diberi- kan kepada orang lain jika ia mau.
Islam telah memberikan
penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al-Qur'an
dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah
menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa
sampai kepada mayit. Jika demikian bagaimana mungkin tidak sampainya
pahala membaca Alqur'an yang berupa perbuatan dan niat juga?
Hubungan melalui agama merupakan
sebab yang paling besar bagi sampainya manfaat orang Islam kepada
saudaranya dikala hidup dan sesudah wafatnya. Bahkan do'a orang Islam
dapat bermanfa’at untuk orang Islam lain. Al-Qur'an tidak menafikan
seseorang mengambil manfaat dari usaha orang lain. Adapun amal orang
lain adalah milik nya, jika orang lain tersebut menghadiahkan amalnya
untuk dia, maka pahalanya akan sampai kepadanya bukan pahala amalnya,
sebagaimana dalam pembebasan utang.
Allah swt. menjelaskan bahwa Dia
tidak menyiksa seseorang karena kesalahan orang lain, dan seseorang
tidak mendapatkan kebahagiaan kecuali dengan usahanya sendiri. Dan dalam
firman-Nya itu, Allah swt. tidak menyatakan bahwa orang tidak dapat
mengambil manfaat kecuali dari usahanya sendiri. Ini tidak lain
menunjukkan keadilan Allah swt..
Menurut madzhab Hanafi, setiap
orang yang melakukan ibadah baik berupa do’a, istiqhfar, shadaqah,
tilawatul Qur’an, dzikir, shalat, puasa, thawaf, haji, ‘umrah maupun
bentuk-bentuk ibadah lainnya yang bersifat ketaatan dan kebaktian dan
ia berniat menghadiahkan pahalanya kepada orang lain, baik yang masih
hidup atau yang telah wafat, pahala ibadah yang dilakukannya itu akan
sampai kepada mereka dan juga akan diperolehnya sendiri. Demikianlah
sebagaimana disebut dalam Al-Hidayah, Al-Bahr dan kitab-kitab lainnya.
Didalam kitab Al-Kamal terdapat penjelasan panjang lebar mengenai itu.
Didalam sebuah hadits shahih
yang keshahihannya setaraf dengan hadits mutawatir menuturkan, bahwa
barangsiapa meniatkan amal kebajikan bagi orang lain, dengan amal
kebajikannya itu Allah swt. berkenan memberikan manfaat kepada orang
lain yang diniatinya. Hal ini sama dengan hadits mengenai shalat dan
puasanya seorang anak untuk kedua orang tuanya, yang dilakukan bersama
shalat dan puasanya sendiri. Begitu juga masih banyak hadits shahih dan
mutawatir yang berasal dari Rasulallah saw., berita-berita riwayat
terpercaya, pendapat-pendapat para ulama baik dari kalangan kaum Salaf
dan Khalaf yang menerangkan dan membenarkan bahwa pahala membaca
Al-Qur’an, do’a dan istiqhfar yang diniatkan pahalanya untuk orang yang
telah wafat benar-benar akan sampai kepada orang yang telah wafat itu.
Ibnu Taimiyyah didalam
Fatawa-nya mengatakan: Adalah benar bahwa orang yang telah wafat beroleh
manfaat dari semua ibadah jasmaniah seperti shalat, puasa, membaca
Al-Qur’an dan lain-lain yang dilakukan orang yang masih hidup baginya.
Ia (si mayyit) pun beroleh manfaat juga dari ibadah maliyah seperti
shadaqah dan sebagainya. Semua ini sama halnya jika orang yang masih
hidup berdo’a dan beristiqhfar baginya. Mengenai ini para Imam madzhab
sepakat.
Dengan adanya hadits-hadits dan
wejangan para pakar baik dalam Ijma’ maupun Qiyas yang cukup banyak pada
buku ini, insya Allah jelas bagi kita bahwa penghadiahan pahala baik
itu membaca Al-Quran, tahlilan, do’a maupun amalan-amalan sedekah yang
ditujukan atau dihadiahkan untuk si mayit, semuanya akan sampai
pahalanya. Ingat jangan lupa Rahmat dan Karunia Ilahi sangat luas sekali
jangan kita sendiri yang membatasinya!
Setelah membaca
keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang telah di kemukakan, insya
Allah saudara-saudara kita yang menerima kesalahan informasi tersebut
bisa menjawab dan meneliti sendiri masalah-masalah yang masih diragukan !
Link
http://pendopo2.blogspot.com/2012/01/dalil-dalil-hadiah-pahala-bacaan-untuk.html
Link
http://pendopo2.blogspot.com/2012/01/dalil-dalil-hadiah-pahala-bacaan-untuk.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar