Kalau Suatu Hadits Itu Shahih, Itulah Mazhabku. Ah, Masak Sih ?
Beberapa orang –entah sejak kapan- sering sekali mengaku kalau pendapat
fiqih yang ia pegang itu ialah pendapatnya madzhab al-Syafi’iiyah tapi
nyatanya sama sekali pendapat itu kita tidak temukan itu di buku-buku
fiqih madzhab Imam al-Syafi’i, sama sekali tidak ada. Akhirnya malah
menyalahi pendapat madzhab.
Jadi kalau ditanya tentang pendapatnya tersebut, ia menjawab dengan lugas: “ini pendapat Imam al-Syafi’i, loch!”.
Anehnya, sama sekali ia menyimpulkan pendapatnya tersebut hanya dari
sebuah hadits, tanpa melirik bagaimana ushul-fiqh yang berlaku dalam
madzhab Imam Muhammad bin Idris ini. ia hanya tahu satu perkataan Imam
al-Syafi’i yang masyhur lalu dijadikan sandaran, yaitu:
إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
“kalau haditsnya shahih, maka ini adalah madzhabku!”
Cuma karena perkataan ini, kalau ia mendapati hadits dan itu derajatnya
shahih –menurut dia-, dia langsung menghukum hukum fiqih yang ada dalam
hadits itu lalu mengatakan itu adalah pendapat madzhab al-Syaf’iyyah,
tanpa peduli bahwa pendapatnya itu menyelisih pendapat resmi madzhab.
Toh karena memang ia hanya tahu itu saja, tanpa pernah buka kitab-kitab
madzhab al-Syafi’iyyah.
Tentu ini adalah bentuk kekeliruan
dalam memahami perkataan Imam al-Syafi’i. pemahaman seperti ini,
ujungnya nanti akan berbuah ‘penghakiman’ terhadap Imam mulia tersebut
bahwa beliau ‘keliru’ dan ‘salah’. Wah hebat, bisa menyalahkan Imam!
Atau bisa jadi, pengakuannya itu hanya untuk dijadikan ‘tamemng’, agar
pendapatnya itu diterima di khalayak, ia menunggang label madzhab
al-Syafi’i.
Contoh Kasus
Contohnya begini, yang paling
familiar ialah masalah qunut. Pendapat resmi madzhab al-Syafi’iyyah
qunut subuh itu sunnah muakkad dan masuk dalam kategori sunnah Ab’adh
dalam sholat yang kalau tertinggal, diganti dengan sujud sahwi sebelum
salam.
Ternyata hadits perihal qunut subuh itu setelah diteliti
oleh mereka –yang menyalahkan Imam- itu adalah hadits yang dhaif, karena
dhaif maka tidak bisa dipakai, bahkan ada yang mengatakan bid’ah. Lalu
karena mengacu pada pemahamannya terhadap perkataan Imam al-Syafi’i
secara tekstual itu, ia katakan:
“ini madzhab Imam al-Syafi’i,
karena Imam al-Syafi’i bilang madzhabnya itu madzhab hadits yang shahih,
sedangkan hadits qunut subuh itu dhaif. Jadi qunut subuh tidak ada.
Begini madzhab Imam al-Syafi’i!”
Nah, dari perkataan seperti ini,
sepertinya ada bentuk justifikasi kesalahan, ada indikasi seakan-akan
Imam al-Syafi’i keliru memilih hadits dan tidak piawai memilih mana yang
shahih dan mana yang dhaif. Seakan-akan ia mengajari Imam al-Syafi’i.
Bagaimana bisa seorang ahli hadits sekelas Imam al-Syafi’i keliru
menilai sebuah hadits?
Ini seperti mengajari nelayan bagaimana
caranya memegang jaring ikan, atau seperti mengajari montir bagaimana
caranya memagang obeng. Jelas pekerjaan yang sia-sia dan sama sekali
tidak menghormati yang diajari, plus tidak tahu diri. Nelayan memang
kerjaannya di laut dan memegang jaring, tidak mungkin salah. Montir pun
demikian.
Itu yang pertama, yang kedua yaitu supaya
‘dagangannya laku’; menggunakan label madzhab Imam al-Syafi’i saja agar
bisa diterima di masyarakat awam.
Pengukuhan bukan Penyerahan
Sepertinya memang ada kesalahan dalam memahami perkataan Imam
al-Syafi’i itu. Semua beranggapan bahwa Imam al-Syafi’i menyerahkan
(tafwidh) begitu saja madzhabnya kepada khalayak. Tapi justru ini adalah
Pengukuhan dan pernyataan final bahwa segala apa yang beliau fatwakan
–dan akhirnya menjadi madzhab-, itu semua disandarkan kepada hadits yang
menurut beliau shahih, karena memang beliau juga adalah seorang
muhaddits (ahli hadits) yang paham mana hadits cacat dan tidak.
Tidak mungkin seorang imam Mujtahid bukan seorang ahli hadits, tidak
mungkin! Bagaimana bisa seorang mengistinbath sebuah hukum dan dia tidak
tahu sumber (al-Quran dan Hadits) yang baik dan buruk.
Dan juga
shahih di sini punya arti bahwa ini shahih (sah) untuk dijadikan dalil
fiqih. Karena hadits yang derajatnya shahih, tidak serta merta bisa
dijadikan dalil hukum karena, karena bisa jadi itu di-naskh atau ada
yang mengkhususkannya (takhshish), atau di-ta’wil. Jadi memang ini
adalah bentuk pengukuhan atas segala apa yang difatwakan oleh beliau.
Bukan penyerahan.
Menjadi tidak masuk akal kalau ini berarti
tafwidh (penyerahan), bagaimana bisa seorang mujtahid malah menyerahkan
madzhabnya kepada khalayak yang belum tentu setara kapasitas keilmuannya
dengan beliau. Lalu buat apa beliau cape-cape mengumpulkan hasil
ijtihadnya kalau ujung-ujungnya beliau serahkan kepada khalayak?
Dan kalau berarti tafwidh, ini juga punya dampak yang negative.
Akhirnya, siapa saja yang menemukan hadits dan –menurutnya- itu shahih,
ia langsung mengaku-ngaku kalau itu madzhabnya Imam al-Syafi’i. padahal
tidak begitu.
Kalau Haditsnya Shahih, itu Madzhabku!
Jadi
memang perkataan Imam al-Syafi’i tidak bisa diartikan secara tekstual
begitu saja. Perlu ada pemahaman yang pas sehingga tidak mencederai
kapasitas Imam al-Syafi’i sebagai seorang mujtahid mutlak. Dan
sebenarnya, kita tidak perlu bersusah payah, karena pernyataan Imam ini
sudah dijelaskan oleh salah satu ulama madzhab al-Syafi’iyyah itu
sendiri; yaitu Imam al-Nawawi dalam muqadimah kitabnya “al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab” (1/63 - 64).
وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ الشافعي ليس
معناه ان كل أحد رَأَى حَدِيثًا صَحِيحًا قَالَ هَذَا مَذْهَبُ
الشَّافِعِيِّ وَعَمِلَ بِظَاهِرِهِ: وَإِنَّمَا هَذَا فِيمَنْ لَهُ
رُتْبَةُ الِاجْتِهَادِ فِي الْمَذْهَبِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ صِفَتِهِ
أَوْ قَرِيبٍ مِنْهُ: وَشَرْطُهُ أَنْ يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّ
الشَّافِعِيَّ رَحِمَهُ اللَّهُ لَمْ يَقِفْ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ أَوْ
لَمْ يَعْلَمْ صِحَّتَهُ: وَهَذَا إنَّمَا يَكُونُ بَعْدَ مُطَالَعَةِ
كُتُبِ الشَّافِعِيِّ كُلِّهَا وَنَحْوِهَا مِنْ كُتُبِ أَصْحَابِهِ
الْآخِذِينَ عَنْهُ
“dan yang dikatakan oleh Imam al-Syafi’i ini
maksudnya bukan berarti bahwa setiap orang yang mendapati hadits shahih
lalu berkata ‘ini madzhab al-Syafi’i’ dan beramal sesuai zahir
(teks)nya. bukan seperti itu! Tapi ini berlaku hanya kepada orang yang
kapasitasnya sudah mencapai derajat mujtahid dalam madzhab ini dengan
ketentuan yang sudah disebutkan sebelmunya, atau mendekati derajat
mujtahid itu.
Dan syaratnya, ia harus benar-benar tahu –setelah
meneliti- bahwa Imam al-Syafi’i tidak tahu hadits itu atau tidak tahu
derajat ke-shahihan hadits tersebut. Dan (kemampuan) ini bisa didapatkan
bagi mereka yang sudah membaca semua kitab-kitab Imam al-Syafi’i dan
kitab-kitab lain dari murid-muridn sang Imam yang mengambil ilmu dari
beliau.”
Jadi memang maksud dari perkataan sang Imam tidak bisa
diterjemahkan secara tekstual, karena memang maksudnya itu bukan
‘menyerahkan’ (tafwidh) tapi pengukuhan. Kalau memang mau diterjemahkan
secara tekstual begitu, mestilah ia orang yang mumpuni dan sudah
mencapai derajat mujtahid madzhab. Kalau mujtahid madzhab tidak bleh
kecuali dia yang sudah membaca dan menelaah semua kitab-kitab Imam
al-Syafi’i beserta kitab murid-murid mereka yang mengambil fiqih dari
sang Imam.
Kenapa begitu sulit syaratnya? Imam Nawawi kemudian menjelaskan lagi kenapa syaratnya sangat ketat:
وَإِنَّمَا اشْتَرَطُوا مَا ذَكَرْنَا لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ رَحِمَهُ
اللَّهُ تَرَكَ الْعَمَلَ بِظَاهِرِ أَحَادِيثَ كَثِيرَةٍ رَآهَا
وَعَلِمَهَا لَكِنْ قَامَ الدَّلِيلُ عِنْدَهُ عَلَى طَعْنٍ فِيهَا أَوْ
نَسْخِهَا أَوْ تَخْصِيصِهَا أَوْ تَأْوِيلِهَا أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
“mereka (ulama al-Syafi’iyyah) mensyaratkan (sulit) seperti itu karena
memang Imam al-Syafi’i tidak mengamalkan banyak hadits yang ia dapati
dan ia tahu derajat –keshahihannya-, itu karena ada dalil/bukti lain
menurut beliau yang mencederai status hadits tersebut, atau –bisa jadi-
hadits itu sudah dihapus, atau juga ada dalil lain yang
men-takhshish-nya, atau hadits itu maknanya dita’wil (ditafsiri bukan
secara tekstua), atau keran sebab lain yang membuat hadits itu tidak
bisa diamalkan.”
Paraghraf ini menunjukan bahwa memang Imam
al-Syafi’i bukan orang sembarang dan punya kapasitas tinggi dalam
starata mujtahid, sehingga semua muridnya sangat percaya bahwa sang Imam
tidak lalai. Imam al-Syafi’i tidak mungkin asal dalam memnentuka sebuah
hukum, dan beliau tidak hanya bersandar hanya dengan satu hadits, akan
tetapi beliau kumpulkan hadits yang ada dan beliau teliti barulah keluar
sebuah produk hukum.
Imam an-Nawawi mencontohkan bahwa hadits
berbukanya orang yang berbekam itu derajatnya shahih, akan tetapi Imam
al-Syafi’i tidak berhukum seperti itu, karena hadits itu walaupun shahih
tapi sudah di-nask (hapus) dengan hadits lain yang mengatakan
sebaliknya.
Jadi, ketika ada hadits shahih tapi tidak diamalkan
oleh sang Imam, itu bukan karena sang Imam tidak tahu atau tidak paham,
tapi justru ada hadits atau dalil lain yang membuat hadits itu tidak
bisa diamalkan seperti perkataan Imam an-Nawawi di atas.
Bahkan
Imam al-Syafi’i meriwayatkan perkataan Imam Ibnu Khuzaimah (w. 331 H)
yang dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada hadits Rasulullah saw dalam
masalah halal-haram (hukum syariat) yang tertinggal oleh Imam
al-Syafi’i dalam kitab-kitabnya.
Tidak Bisa Menerbangkan Pesawat, Jadi Penumpang Saja
So. Kita tidak bisa asal mengatakan bahwa “ini madzhab syafi’i karena
haditsnya shahih”, padahal madzhab al-Syafi’i tidak berkata demikian.
Kalau memang mau seperti itu, harus sadar diri dan berkaca:
Mujtahidkah kita? sehingga berani mengklaim madzhab syafi’i hanya dengan hadits –yang menurut kita- itu shahih?
Atau kalau memang bukan mujtahid, sudah berapa kitab madzhab
al-Syafi’i yang kita baca? Sebagaimana syarat yang disebutkan oleh ulama
madzhab al-Syafi’i.
Kalau memang hanya belajar dari internet dan
ngaji sabtu ahad doiang, ya jangan menunggangi label madzhab al-Syafi’i
seperti itu. Merasa rugikah kita kalau kita ber-tawadhu’ saja dan
mengatakan:
“hadits ini menurut ulama fulan bin fulan itu
derajatnya shahih. Tapi madzhab Imam al-Syafi’i berfatwa sebaliknya.
Mungkin hadits menurut Imam al-Syafi’i ini punya cacat yang ulama fulan
itu tidak tahu, atau ada dalil lain yang dipakai oleh sang Imam yang
membuat hadits tidak bisa diamalkan”.
Tanpa perlu mengaku-ngaku
“ini madzhab Imam al-Syafi’I, karena hadits ini shahih!”, ini sama saja
mengajarkan pilot bagaimana caranya memegang navigasi. Kalau memang
tidak bisa menerbangkan pesawat, ya duduk saja sebagai penumpang.
Wallahu a’lam.
Iimam syafi'i memang tdk ma'sum, imam syafi'i bukan nabi, beliau
Muhaddits hapal +/- 1.000.000 hadits, beliau ahlul beit dr nasab ibunya,
guru beliau Imam Malik hapal +/- 2.000.000 hadits, murid beliau Imam
Ahmad bin Hanbal seorang pemuka Madzhab
Hanbali... Kami tdk ragu dgn beliau, dan beliau tdk mgkn keliru dlm
mencantumkan hadits dlm madzhabnya, org skrg ajja yg bnyk bertanya
layaknya orang yahudi yg dilaknat Alloh,mempertanyakan ini dan itu. Kita
berlepas diri dr itu. Maka dr itu belajarlah fiqih dr dasarnya seperti
Safinah an-najjah-smp fiqih yg paling tinggi seperti fatul qorib,fatul
mu'in dsb. Baru dech ente tahu siapa itu Imam syafi'i. Demikian
Yg jelas imam syafi'e lebih pintar dan mumpuni dr muhammad abdul wahab, albani dan temen2 nya...
Jd ane ikut imam syafi'e saja.... hehehe..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar