Kamis, 19 Juni 2014

Sholat Tarawih tapi Shalat wajib tertinggal?

Melaksanakan shalat sunat taraweh bila shalat wajib ada yang tertinggal
Hukum melaksanakan shalat sunat taraweh bila shalat wajib ada yang tertinggal.Dalam bulan Ramadhan shalat taraweh merupakan shalat sunat yang utama di kerjakan,  salah satu hal yang juga sering di perbincangkan dalam masalah pelaksanan teraweh adalah melaksanakan shalat sunat taraweh sedangkan banyak shalat fardhu yang di tinggalkan yang belum habis di qadha. Ada pihak yang dengan keras mengatakan shalat tersebut tidak sah sehingga pernah terjadi si satu daerah sebagian masyarakat hanya nongkrong duduk-duduk di warung pada saat shalat taraweh dengan alasan mereka tidak ikut shalat taraweh karena haram shalat taraweh karena ada shalat fardhu yang mereka tinggalkan yang belum di qadha.

Pertanyaan

Bagaimanakah sebenarnya kejelasan hukum shalat sunat taraweh sebelum habis mengkadha shalat wajib?

Jawaban:
Sebenarnya masalah ini kembali kepada masalah meninggalkan shalat, apakah wajib di kadha secara segera atau tidak. Rincian hukum orang yang meninggalkan shalat adalah:
  1. Bila di tinggalkan karena adanya ozor maka tidak wajib di kadha dengan segera, tetapi sunat hukumnya untuk segera mengkadhanya. Maka di bolehkan baginya mengerjakan hal-hal lain yang tidak wajib.
  2.  Bila di tinggalkan tanpa ozor maka wajib segera di kadha dengan segera, dan haram menggunakan waktu untuk hal-hal yang lain selain mengkadha shalat fadhu tersebut termasuk juga untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan sunat kecuali untuk keperluan-keperluan yang tidak boleh ditinggalkan seperti makan, minum dll.

Dari rincian tersebut dapat di ketahui hukum melaksanakan shalat sunat bagi orang yang belum habis mengakadha shalat fardhunya. Bila shalat fardhu tersebut di tinggalkan tanpa ozor maka wajib terhadapnya mempergunakan segenap waktu untuk mengkadha shalat tersebut, tidak boleh mengerjakan hal-hal lain walaupun perbuatan tersebut sunat termasuk juga shalat taraweh. Namun demikian shalat sunat yang ia kerjakan tersebut tetap sah.

Adapun kesimpulan yang di ambil oleh sebagian kalangan yang meninggalkan taraweh kemudian duduk-duduk menghabiskan waktu dengan alasan karena mereka tidak boleh melakukan shalat taraweh merupakan kesimpulan yang keliru, karena yang haram bagi mereka bukanlah diri shalat taraweh tetapi yang haram adalah mempergunakan waktu untuk selain mengkadha shalat fardhu yang ia tinggalkan secara sengaja, termasuk juga yang haram adalah perbuatan mereka duduk-duduk nongkrong menghabiskan waktu.

Referensi:

1. Tuhfatul Muhtaj dan Hasyiah Syarwani jilid 1 hal 469 Cet. Dar Fikr

ويجب تقديم ما فات بغير عذر على ما فات بعذر وإن فقد الترتيب؛ لأنه سنة، والبدار واجب ومن ثم وجب تقديمه على الحاضرة إن اتسع وقتها، بل لا يجوز كما هو ظاهر لمن عليه فائتة بغير عذر أن يصرف زمنا لغير قضائها كالتطوع إلا ما يضطر إليه لنحو نوم، أو مؤنة من تلزمه مؤنته، أو لفعل واجب آخر مضيق يخشى فوته 
قوله: كالتطوع) أي: يأثم به مع الصحة خلافا للزركشي كردي

2. Hasyiah Bujairimiy ‘ala Khatib jilid 1 hal 405 Cet. Dar Fikr Cet

ومن غير العذر أن تفوته الصلاة في مرضه فيجب عليه قضاؤها فورا بأن يشتغل جميع الزمن بقضائها ما عدا ما يضطر إليه من أكل وشرب ومؤن ممونه، بل يحرم فعل التطوع ما دامت في ذمته فتجب المبادرة ولو على حاضرة إن اتسع وقتها، بل لا يجوز كما هو ظاهر لمن عليه فوائت بغير عذر أن يصرف زمنا لغير قضائها كالتطوع إلا ما يضطر إليه لنحو نوم أو مئونة أو لفعل واجب مضيق يخشى فوته اهـ تحفة

3. Al-Fiqh ‘ala Mazahibil Arba’ah jilid 1 hal 370 Cet. Dar Hadits thn 2004
قضاء الصلاة المفروضة التي فاتت واجب على الفور سواء فاتت بعذر غير مسقط لها أو فاتت بغير عذر أصلا باتفاق ثلاثة من الأئمة … ولا يجوز تأخير القضاء إلا لعذر كالسعي لتحصيل الرزق وتحصيل العلم الواجب عليه وجوبا عينيا وكالأكل والنوم ولا يرتفع الإثم بمجرد القضاء بل لا بد من التوبة كما لا ترتفع الصلاة بالتوبة بل لا بد من القضاء لأن من شروط التوبة الإقلاع عن الذنب والتائب بدون قضاء غير مقلع عن ذنبه ومما ينافي القضاء فورا الاشتغال بصلاة النوافل على تفصيل في المذاهب…
الشافعية قالوا : يحرم على من عليه فوائت يجب عليه قضاؤها فورا -وقد تقدم ما يجب فيه الفور - أن يشتغل بصلاة التطوع مطلقا سواء كانت راتبة أو غيرها حتى تبرأ ذمته من الفوائت

Shalat Sunat Tasbih (Tata cara)

Tata Cara Shalat Sunat Tasbih
shalat sunat tasbihPara 'Ulama menyebutkan bahwa yang lebih utama pada malam nishfu Sya’ban adalah melaksanakan shalat tasbih yang diajarkan Nabi Muhammad Saw kepada Paman beliau, Sayyidina ‘Abbas ra sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hijazi al-Fasyani dalam kitabnya, Tuhfat al-Ikhwan fi Qiraat al-Mi'ad fi Rajab wa Sya'ban, cet. II (Mesir: al-Kastaliyah, 1297 H), hal. 65.
Shalat tasbih berjumlah 4 raka’at dengan sekali salam bila dilakukan di siang hari dan dengan dua kali salam bila di lakukan di malam hari.

Tata cara shalat tasbih:

  1. Takbiratul-Ihram (bersamaan niat).
  2. Membaca do’a Iftitah. 
  3. Membaca Surat al-Faatihah.
  4. Membaca surat-surat dari al-Qur`an, bisa memakai surat permulaan yaitu surat al-Hadiid, surat al-Hasyr, surat Shaff dan surat al-Taghabun ataupun memakai surat al-Zalzalah, al-‘Adiyat, al-Takatsur dan al-Ikhlas.
  5. Membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم sebanyak 15 kali (sebelum ruku’).
  6. Ruku’ dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم sebanyak 10 kali.
  7. I’tidal dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم sebanyak 10 kali.
  8. Sujud dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم sebanyak 10 kali.
  9. Duduk di antara dua sujud dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم sebanyak 10 kali.
  10. Sujud yang kedua dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم sebanyak 10 kali.
  11. Duduk Istirahah (sebelum bangun untuk berdiri) dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم sebanyak 10 kali. 
  12. Tasyahud dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم sebanyak 10 kali.

Semuanya berjumlah 75 kali tasbih dalam setiap raka’at.

Dan berdo’a setelah usai tasyahud akhir sebelum salam dengan memakai doa :

 اَللَّهُمَّ اِنَّا نَسْأَلُكَ تَوْفِيْقَ اَهْلِ الهُدَى وَاَعْمَالَ اَهْلِ اليَقِيْنِ وَمُنَاصَحَةَ اَهْلِ التَّوْبَةِ وَعَزْمَ اَهْلِ الصَّبْرِ وَوَجَلَ اَهْلِ الْخَشْيَةِ وَطَلَبَ اَهْلِ الرَّغْبَةِ وَتَعَبُّدَ اَهْلِ الْوَرَعِ وَعِرْفَانَ اَهْلِ اْلعِلْمِ حَتَّى نَخَافَـكَ اَللَّهُمَّ اِنَّا نَسْأَلُكَ مَخَافَةَ تُحْجِزُنَا عَنْ مَعَاصِيْكَ حَتَّى نَعْمَلَ بِطَاعَتِـكَ سُبْحَانَ خَالِقَ النُّوْرُ. والصَلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَي اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ والحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ 

"Ya Allah aku meminta pada-Mu pertolongan (melakukan kebaikan) sebagaimana yang Engkau berikan kepada orang-orang yang mendapatkan petunjuk, amal-amal yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai keyakinan tinggi, nashihat-nashihat orang yang ahli bertaubat, kemauan kuat yang dimiliki orang-orang yang ahli bersabar, kesungguhan orang-orang yang selalu takut (pada-Mu), permintaan orang-orang yang selalu cinta (pada-Mu), beribadahnya orang-orang yang ahli menjaga diri dari perkara syubhat, pengetahuan orang-orang yang ahli dalam ilmu (agama) sehingga akupun dapat takut kepada-Mu. Ya Allah sesungguhnya aku meminta pada-Mu rasa takut yang menjagaku dari melakukan kemaksiatan pada-Mu, sehingga dengan taat pada-Mu akupun bisa melakukan amal, yang dengannya bisa kuraih ridha-Mu dan dengan taubat aku dapat mengambil rasa takut kepada Engkau, dan kumurnikan pada-Mu nasehat karena malu pada Engkau. Dan aku pasrahkan segala urusan pada-Mu karena wujudnya prasangka baik kepada-Mu. Maha Suci lah Allah Sang Pencipta Cahaya".

Sumber http://www.piss-ktb.com

Artikel Yang Berkaitan:

 Anonymous16 June 2014 09:01

kalau shalat tasbih dikerjakan secara berjamaah, dan tasbih dibacakan dengan jihar bersama-sama, apakah bisa membatalkan shalat atau tidak...Atas jawabannya terimakasih

lbm MUDI mesra16 June 2014 14:33

shalatnya memang tidak batal, namun mengerjakan shalat tasbih yang demikian tidak sesuai dengan yang di anjurkan, karena tidak ada shalat yang bacaannya dibaca jihar bersama-sama...
ReplyDelete
Belajar Islam20 June 2014 06:09

Info tentang tata cara shalat sunat tasbih diatas sangat bermanfaat, khususnya buat saya, trimakasih...

Saya pernah dapat keterangan tentang sholat tasbih secara brjemaah dan katanya sholat tasbih berjemaah itu merupakan sholat sunnah yang tidak dianjurakan (Tidak dianjurkan untuk dilakukan berjemaah).
1). Apakah itu benar .. ?
2). Dan apakah tetap mendapat pahala berjemaah bila itu benar (tidak dianjurkan berjemaah)?.
3). Kalau seandainya tetap mendapat pahala tentunya kan lebih enak berjemaah (semisal suami istri).
Lalu cara dalam berjemaah tersebut saat pembacaan surah alfatihah & surah setelah alfatihah, apakah dijiharkan seperti halnya sholat isya' yang juga 4 raka'at d malam hari?.
ReplyDelete
Replies

    lbm MUDI mesra20 June 2014 06:25

    Hukum shalat tasbih secara berjamaah, bisa juga di baca dalam tulisan kami di
    http://lbm.mudimesra.com/2014/06/hukum-shalat-tasbih-berjamaah.html

Hukum Sterilisasi Kandungan.

Yth. Dewan Pakar Bahtsul Masail. Assalumu'alaikum wr.wb. Saya ingin bertanya bagamana hukum sterilisasi kandungan menurut Islam, jika dilarang mengapa dan jika dibolehkan dalam kondisi apa? Syukron, mohonjuga rujukan kitabya yang bisa diakses. (Saru Arifin) Hukum Sterilisasi Kandungan
Jawaban
Penannya yang budiman, semoga dirahmati Allah swt. Sepanjang yang kami pahami bahwa yang dimaksud dengan sterilisasi kandungan adalah salah satu cara untuk untuk mencegah kehamilan. Jika perempuan dinamakan tubketomi, sedang jika laki-laki dikenal dengan istilah vasektomi.
Kedua hal ini sudah pernah diputusakan dalam Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta pada 25-28 Nopember 1989. Dalam keputusan tersebut dikatakan: “Penjarangan kelahiran melalui cara apapun tidak dapat diperkenankan kalau mencapai batas mematikan fungsi keturunan secara mutlak. Karenanya sterilasasi yang diperkenankan hanyalah yang bersifat dapat dipulihkan kembali kemampuan berketrunan dan tidak dapat merusak atau menghilangkan bagian tubuh yang berfungsi”.
Di antara rujukan yang menguatkan pendapat ini adalah kitab Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib:
وَكَذلِكَ اسْتِعْمَالُ الْمَرْأَةِ الشَّيْءَ الَّذِي يُبْطِىءُ الْحَبْلَ أَوْ يَقْطَعُهُ مِنْ أَصْلِهِ فَيُكْرَهُ فِي الْأُولَى وَيُحْرَمُ فِي الثَّانِي   -- إبراهيم الباجوري، حاشية الباجوري على فتح القريب، بيروت-دار الفكر، ج، 2، ص. 59

“Begitu pula menggunakan obat yang menunda atau memutus kehamilan sama sekali (sehingga tidak hamil selamanya), maka dimakruhkan dalam kasus pertama dan diharamkan dalam kasus kedua”. (Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, Bairut, tt, juz, 2, h. 59)
Pembacaan atas hasil keputusan ini adalah jika sterilisasi kandungan bagi laki-laki yang dikenal dengan vasektomi dan perempuan tubektomi bisa dikembalikan pada kondisinya seperti semula, maka diperbolehkan tetapi dihukumi makruh. Misalnya karena anaknya masih terlalu kecil dan menuggu sampai berusia dua atau tiga tahun. Namun jika ternyata kedua hal itu mematikan fungsi keturunan secara mutlak maka jelas diharamkan.
Persolannya kemudian tidak hanya sampai disini saja.  Jika sterilisasi kandungan itu ternyata memutuskan kehamilan maka ini jelas diharamkan, tetapi bagaimana kalau dalam kondisi darurat? Artinya jika tidak dilakukan sterilisasi kandungan akan mengancam jiwanya. Misalanya, seorang perempuan yang sudah sering melahirkan kemudian divonis dokter ahli kandungan agar disterilisasi kandungannya, sebab jika tidak akan membahayakan jiwanya. Dalam kondisi seperti ini maka sterilisasi boleh dilakukan. Artinya dalam kondisi seperti ini berlaku kaidah fiqh:
إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا-- جلال الدين السيوطي، الأشباه والنظائر، بيروت-دار الكتب العلمية، 1403هـ، ص. 87
“Jika ada dua bahaya saling mengancam maka diwaspadai yang lebih besar bahayanya dengan melaksanakan yang paling ringan bahayanya” (Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asyabah wa an-Nazha`ir, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H, h. 87)
Hal ini sebagaimana yang telah dijelasakan juga dalam Keputusan Konfrensi Besar Syuriyah Nahdlatul Ulama Ke-1 pada tanggal 18-22 April 1960 di Jakarta dalam masalah Family Planing (Perencanaan Keluarga):   
“…..Tetapi kalau dengan sesuatu yang memutuskan kehamilan sama sekali, maka hukumnya haram, kecuali kalau ada bahaya. Umpamanya saja karena terlalu banyak melahirkan anak yang menurut pendapat orang yang ahli tentang hal ini bisa menjadikan bahaya, maka hukumnya boleh dengan jalan apa saja yang ada”.
وَعِنْدَ وُجُوْدِ الضَّرُوْرَةِ فَعَلَى الْقَاعِدَةِ الْفِقْهِيَّةِ. إِذَا تَعَارَضَتْ الْمَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَارًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا مَفْسَدَةً
“Dan ketika dharurat maka sesuai dengan kaidah fiqhiyah; jika ada dua bahaya saling mengancam maka diwaspadai yang lebih besar bahayanya dengan melaksanakan yang paling ringan bahayanya”
Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan. Semoga bisa menjadi pegangan yang berarti bagi penanya. Dan sebelum memutuskan untuk melakukan strerilisasi kandungan harus berkonsultasi dan menanyakan sedetail-detailnya seputar hal itu kepada dokter yang ahlinya. (Mahbub Ma’afi Ramdlan)

Berita Terkait

Wasiat Umar bin Khattab

Pada suatu hari, Sayyidina Umar bin Khattab pernah bertutur kepada beberapa orang sahabatnya. "Aku ingin menyampaikan wasiat kepada kalian :

Pertama , bila kalian menemukan aib pada diri orang lain, maka galilah aib yang ada pada dalam diri kalian sendiri, karena belum tentu aib kalian lebih sedikit.

Kedua, Bila kalian ingin memusuhi seseorang atau sesuatu, maka musuhilah perutmu, karena tidak ada musuh yang paling berbahaya dari perut kalian sendiri.

Ketiga , bila kalian ingin memuji, pujilah Allah SWT, karena tidak ada sesuatu yang lebih banyak memberi,lebih santun serta lembut kepada kalian selain Dia.

Keempat , bila ada yang ingin kalian tinggalkan, maka tinggalkanlah kesenangan dunia, sebab justru bila kalian tinggalkan, kalian akan terpuji.

Kelima, bila kalian ingin bersiap-siap untuk sesuatu, maka bersiaplah untuk mati. Sebab bila kalian tidak menyiapkan bekal untuk mati, kalian akan menderita, rugi dan penuh penyesalan.

Keenam , bila kalian ingin menuntut sesuatu, maka tuntutlah akhirat, karena kalian takkan mendapatkannya kecuali dengan mencarinya."

Iblis di Neraka melambaikan tangan kpd Nabi

Maksud Dada Nabi Muhammad Dibelah Ketika Isra Miraj - Rasulullah shalallahu alaihi wasallam di belah dadanya oelh malaikat Jibril as sebelum peristiwa isra dan miraj
Al Habib Ahmad bin jindan menjelaskan dari pada guru-guru beliau para ulama besar dan wali besar di zamannya hingga bersambung kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, bahwa sebagian muslimin salah memaknai maksud dadanya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dengan berkata, di sucikan dan di bersihkan oleh malaikat Jibril as. Artinya hatinya rasulullah saw ada kotorannya hingga perlu di bersihkan. Tidak demikian


Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sejak lahir telah suci dan bersih hatinya , maksudnya malaikat menghilangkan kasih sayangnya terhadap Iblis, sehingga kasih sayang nya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam terhadap iblis telah sirna.
Rahmat Nya Allah terbesar yang telah di anugerahi kepada sayyidina Muhammad shalallahu alaihi wasallam untuk bagian iblis serta tentaranya telah di hilangkan.
Al maghfrulah Habib Munzir alaihi rahmatullah menceritakan, walaupun demikian kelak ketika seluruh makhluk Nya Allah berkumpul di padang Mahsyar dan memanggil-mangil Nabi Muhammad saw, Iblis yang telah tenggelam dalam neraka mengangkat tangannya, melambai-lambaikan tangannya, agar Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melihatnya dan memberikan syafaat kepadanya
Subhanallah..begitu agung dan mulianya Nabi kita , sayyidina Muhammad shalallahu alaihi wasallam

Wallahu`alam

Angkat tangan saat berdo'a

Dalil mengangkat tangan waktu berdo’a
Mengangkat kedua tangan waktu berdo’a, sebenarnya ini sama sekali tidak ada larangan dalam agama, malah sebaliknya ada hadits bahwa Rasulullah saw. mengangkat tangan waktu berdo’a. Begitupun juga ulama-ulama pakar dari berbagai madzhab (Hanafi, Maliki , Syafi’i dan lain sebagainya) selalu mengangkat tangan waktu berdo’a, karena hal ini termasuk adab atau tata tertib cara berdo’a kepada Allah SWT.
Dalam kitab Riyaadus Shalihin jilid 2 terjemahan bahasa Indonesia oleh Almarhum H.Salim Bahreisj cetakan keempat tahun 1978 meriwayatkan sebuah hadits berikut ini:
Sa’ad bin Abi Waqqash ra.berkata: Kami bersama Rasulullah saw. keluar dari Makkah menuju ke Madinah, dan ketika kami telah mendekati Azwara, tiba-tiba Rasulullah saw. turun dari kendaraannya, kemudian mengangkat kedua tangan berdo’a sejenak lalu sujud lama sekali, kemudian bangun mengangkat kedua tangannya berdo’a, kemudian sujud kembali, diulanginya perbuatan itu tiga kali. Kemudian berkata: ‘Sesungguhnya saya minta kepada Tuhan supaya di-izinkan memberikan syafa’at (bantuan) bagi ummat ku, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku, kemudian saya mengangkat kepala dan minta pula kepada Tuhan dan diperkenankan untuk sepertiga, maka saya sujud syukur kepada Tuhan, kemudian saya mengangkat kepala berdo’a minta untuk ummatku, maka diterima oleh Tuhan, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku’. (HR.Abu Dawud).
Dalam hadits ini menerangkan bahwa Rasulullah saw. tiga kali berdo’a sambil mengangkat tangannya setiap berdo’a, dengan demikian berdo’a sambil mengangkat tangan adalah termasuk sunnah Rasulullah saw.
Dalam Kitab Fiqih Sunnah Sayid Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 4 cetakan pertama tahun 1978 halaman 274-275 diterbitkan oleh PT Alma’arif, Bandung Indonesia, dihalaman ini ditulis sebagai berikut :
Berdasarkan riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas ra., katanya :
“Jika kamu meminta (berdo’a kepada Allah SWT.) hendaklah dengan mengangkat kedua tanganmu setentang kedua bahumu atau kira-kira setentangnya, dan jika istiqhfar (mohon ampunan) ialah dengan menunjuk dengan sebuah jari, dan jika berdo’a dengan melepas semua jari-jemari tangan”.
Malah dalam hadits ini, kita diberi tahu sampai dimana batas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a, dan waktu mengangkat tangan tersebut disunnahkan dengan menunjuk sebuah jari waktu mohon ampunan, melepas semua jari-jari tangan (membuka telapak tangannya) waktu berdo’a selain istighfar.
Diriwayatkan dari Malik bin Yasar bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Jika kamu meminta Allah, maka mintalah dengan bagian dalam telapak tanganmu, jangan dengan punggungnya !” Sedang dari Salman, sabda Nabi saw. : “Sesungguhnya Tuhanmu yang Mahaberkah dan Mahatinggi adalah Mahahidup lagi Mahamurah, ia merasa malu terhadap hamba-Nya jika ia menadahkan tangan (untuk berdo’a) kepada-Nya, akan menolaknya dengan tangan hampa”.
Lihat hadits ini Allah SWT. tidak akan menolak do’a hamba-Nya waktu berdo’a sambil menadahkan tangan kepadaNya, dengan demikian do’a kita akan lebih besar harapan dikabulkan oleh-Nya!
Sedangkan hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra. menuturkan :
“Aku pernah melihat Rasulullah saw. mengangkat dua tangan keatas saat berdo’a sehingga tampak warna keputih-putihan pada ketiak beliau”.
Masih ada hadits yang beredar mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a. Dengan hadits-hadits diatas ini, cukup buat kita sebagai dalil atas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a kepada Allah SWT. Bagi saudaraku muslim yang tidak mau angkat tangan waktu berdo’a, silahkan, tapi janganlah mencela atau membid’ahkan saudara muslim lainnya yang mengangkat tangan waktu berdo’a !. Karena mengangkat tangan waktu berdo’a adalah sebagai adab atau sopan santun cara berdo’a kepada Allah SWT. dan hal ini diamalkan oleh para salaf dan para ulama pakar (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad –radhiyallahu ‘anhum– dan para imam lainnya).
Janganlah kita cepat membid’ahkan sesuatu amalan karena membaca satu hadits dan mengenyampingkan hadits lainnya. Semuanya ini amalan-amalan sunnah, siapa yang mengamalkan tersebut akan dapat pahala, dan yang tidak mengamalkan hal tersebut juga tidak berdosa. Karena membid’ahkan sesat sama saja mengharamkan amalan tersebut.

Mengusap Wajah Setelah Shalat-

Salah satu kebiasaan yang sering kita lihat, setiap selesai mengucapkan salam dalam shalat, umat Islam mengusap wajah dengan kanannya. Hal ini didasarkan satu riwayat bahwa setelah bahwa Rasulullah SAW selalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يِزِيْدِ عَنْ أَبِيْهِ أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ -- سنن أبي داود
Dari Saib bin Yazid dari ayahnya, “Apabila Rasulullah SAW berdoa, beliau beliau selallu mengangkat kedua tangannya, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya." (HR Abu Dawud, 1275)
Begitu pula orang yang telah selesai melaksanakan shalat, ia juga disunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya, sebab shalat secara bahasa berarti berdoa. Di dalam shalat terkandung doa-doa kepada Allah SWT Sang Khaliq. Sehingga orang yang mengerjakan shalat berarti juga sedang berdoa. Maka wajar jika setelah shalat ia juga disunnahkan untuk mengusap muka.
Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin menyatakan: Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar, dan kami juga meriwayatkan hadits dalam kitab Ibnus Sunni dari Sahabat Anas bahwa Rasulullah SAW apabila selesai melaksanakan shalat, beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Lalu berdoa:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إلهَ إلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اَللَّهُمَّ اذْهَبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ
“Saya bersaksi tiada Tuhan kecuali Dia Dzat Yang maha Pengasih dan penyayang. Ya Allah Hilangkan dariku kebingungan dan kesusahan." (I’anatut Thalibin, juz I, hal 184-185)
Hal ini menjadi bukti bahwa mengusap muka setelah shalat memang dianjurkan dalam Islam. Karena Nabi Muhammad SAW juga mengusap muka setelah shalat.
= KH Muhyiddin Abdusshomad =
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam Jember

Daulah Islamiyah Tak Pernah Dikenal dalam Islam

Daulah Islamiyah Tak Pernah Dikenal dalam Islam


Daulah Islamiyah ini sebenarnya tak pernah dikenal dalam Islam, hanya istilah yang diada-adakan saja, karena Islam tak pernah mengenal "Negara Islam", yang ada adalah Khilafah Islamiyah. Islam adalah untuk dunia, bukan untuk Indonesia, Malaysia atau nama nama negara yang dibuat buat oleh manusia.

Rasulullah SAW berkuasa di Madinah, namun pemimpin Madinah tetap Abdullah bin Ubay bin Salul (pemimpin munafik dan musuh Islam). Mengapa Rasul SAW tak merebut kekuasaan darinya?, Rasul SAW membiarkan Ibn Ubay tetap memimpin Madinah, dan Abu Sofyan (sebelum masuk Islamnya) tetap memimpin Makkah,

Rasul SAW tak pernah merebut kekuasaan, dan memang tidak cinta jabatan, dan negara kita ini (Indonesia) sudah negara Islam, apa lagi yang mau dikatakan mesti negara Islam, sedangkan Indonesia negara Islam terbesar didunia.

Presidennya Islam, menterinya mayoritas muslimin, pejabatnya mayoritas muslimin, konglomeratnya mayoritas muslimin, buruhnya mayoritas muslimin, pengusahanya mayoritas muslimin, lalu apa lagi yang diinginkan?

Mendirikan negara islam dan ini sudah negara yang dikuasai muslimin, yang kita perlukan adalah masyarakatnya yang mesti dibenahi.

Ta'at pada Penguasa, Larangan Bughat dan Perintah Sabar
Sabda Rasulullah saw : “Barangsiapa yg ditindas oleh penguasanya maka hendaknya ia bersabar, sungguh barangsiapa yg keluar dari perintah sultan (penguasa) sejengkal saja maka ia mati dalam kematian jahiliyah” (Shahih Bukhari Bab Fitnah)

Sabda Rasulullah saw : “Barangsiapa yg melihat kesalahan pada penguasanya yg tidak disukainya maka hendaknya ia bersabar, sungguh barangsiapa yg memisahkan diri dari kelompoknya lalu ia wafat maka ia wafat dengan kematian jahiliyah” (Shahih Bukhari Bab Fitnah)

berkata zubair bin Adiy ra : kami mendatangi Anas bin Malik mengadukan kekejian Hajjaj dan kejahatannya pada kami, maka berkata Anas ra : “Bersabarlah kalian, karena tiadalah datang masa kecuali yg sesudahnya akan lebih buruk, sampai kalian akan menemui Tuhan kalian, kudengar ini dari Nabi kalian (Muhammad saw)” (Shahih Bukhari Bab Fitnah)

Sabda Rasulullah saw : “Barangsiapa yg mengangkat senjata diantara kita (memerangi sesama) maka bukan dari golongan kita” (Shahih Bukhari Bab Fitnah)

Sabda Rasulullah saw : “Janganlah kalian kembali pada kekufuran setelah aku wafat dengan saling bunuh satu sama lain” (Shahih Bukhari Bab Fitnah)

Sabda Rasulullah saw : “Barangsiapa yg melihat pada penguasanya sesuatu yg tak ia sukai dari kemungkaran hendaknya ia bersabar, sungguh tiadalah seseorang memisahkan diri dari jamaah muslimin lalu ia wafat maka ia wafat dengan kematian jahilyah” (Shahih Bukhari Bab Ahkam)
Sabda Rasulullah saw : “dengar dan patuhlah bagi seorang muslim selama ia tak diperintah berbuat maksiat, bila ia diperintah berbuat maksiat maka tak perlu dengar dan patuh” (Shahih Bukhari Bab Ahkam)

Kesimpulannya adalah Rasulullah saw dan kesemua para Imam dan Muhaddits ahlussunnah waljamaah tidak satupun menyerukan pemberontakan dan kudeta, selama pemimpin mereka muslim maka jika diperintah maksiat mereka tidak perlu taat, bila diperintah selain dosa maka mereka taati,

Sebagaimana dimasa merekapun terdapat kepemimpinan yg dhalim, walau berkedok dg nama “KHALIFAH” namun mereka dhalim, diantaranya Hajjaj yg sering membantai dan menyiksa rakyatnya, namun ketika mereka mengadukan pada Anas ra, maka mereka diperintahkan bersabar, Bukan diperintahkan merebut Khilafah dengan alasan khalifah itu dhalim,

Negeri kita ini muslim, pemimpinnya muslim, menteri menterinya mayoritas muslimin, mayoritas masyarakatnya muslimin, maka apalagi yg mesti ditegakkan?, ini adalah khilafah islamiyah (kepemimpinan islam), adakah presiden kita melarang shalat?, adakah pemimpin kita melarang puasa ramadhan?,

Mengenai kesalahan kesalahan lainnya selama ia seorang muslim maka kita diperintah oleh Rasul saw untuk bersabar, Dan para Imam dan Muhaddits itu tak satupun menyerukan kudeta dan penjatuhan kekuasaan dari seorang pemimpin muslim,


Disarikan dari Penjelasan Habib Mundzir bin Fuad Al Musawa Rahimahullah
Sumber : Forum Majelis Rasulullah SAW (1) (2

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN: http://www.muslimedianews.com/2014/06/daulah-islamiyah-tak-pernah-dikenal.html#ixzz35M0MHObW

Related Articles

Pusasanya anak kecil

. FIQIH PUASA : HUKUM PUASANYA ANAK KECIL DAN PAHALANYA

Kamis, 19 Juni 20140 komentar


PERTANYAAN


Bunda Shozyka 

Asslamu'alaikum... Para kyai, asatidz, mohon pencerahanya nich... 
Diskripsi : Sering sekali kita melihat fenomena di masyarakat adanya anak kecil yg berpuasa, hal ini dilakukan agar terbiasa berpuasa dan agar anak ini mendapatkan keberkahan dari bln puasa. Ada yg puasa "bedug" atau seharian.
Pertanyaan: 
1. Bagaimana hukumnya anak kecil beepuasa?
2. Apakah anak kecil yg berpuasa mendapatkan pahala? 
Matur nuwun atas pencerahanya mg manfaan amin... Wasslm...
JAWABAN
Puasa romadhon bagi sobiy atau anak kecil jatuhnya sunnah, 
قال أبو إسحاق : يلزمه أن ينوي صوم فرض رمضان ، لأن صوم رمضان قد يكون نفلا في حق الصبي فافتقر إلى نية الفرض ليتميز عن صوم الصبي

no 1 Puasa anak belum baligh tidak wajib akan tetapi menjadi sunnah
no 2. mendapatkan pahala yaitu orang tuanya yang mendapatkan pahala. 

Referensi :
 ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺑﻄﺎﻝ - ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ - ( ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺗﻠﺰﻡ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻭ ﺍﻟﻔﺮﺍﺋﺾ ﺇﻻ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺒﻠﻮﻍ ﻭﻟﻜﻦ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﺳﺘﺤﺴﻨﻮﺍ ﺗﺪﺭﻳﺐ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺭﺟﺎﺀ ﺍﻟﺒﺮﻛﺔ ﻭﺃﻥ ﻣﻦ ﻓﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﻣﻨﻬﻢ ﻣﺄﺟﻮﺭ ﻭﻷﻧﻬﻢ ﺑﺎﻋﺘﻴﺎﺩﻫﻢ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺗﺴﻬﻞ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺇﺫﺍ ﻟﺰﻣﺘﻬﻢ 
ibnu batthol berkata ulama' sepakat (ijam') bahwa anak yang belum baligh tidak diwajibkan ibadah dan melakukan kefarduan kecuali bila sudah baligh akan tetapi mayoritas ulama' menganggap baik atas latihan ibadah yang dilakukan anak belum baligh karena mengharapkan keberkahan . dan orang yang orang tua yang melakukan tersebut (menyuruh anaknya melakukan latihan puasa) itu diberikan pahala dikarenakan sebab kebiasaan ibadah yang dilakukan anak belum baligh itu menyebabkan dia mudah melakukan ibadah disaat dirinya (anak) sudah diwajibkan melakukan ibadah (yaitu disaat baligh) wallahu a'lam

Umdatul qori' syarah shohih bukhari 17/16
 ( ﺑﺎﺏ ﺻﻮﻡ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ) ﺃﻱ ﻫﺬﺍ ﺑﺎﺏ ﻓﻲ ﺑﻴﺎﻥ ﺻﻮﻡ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻫﻞ ﻳﺸﺮﻉ ﺃﻡ ﻻ ﻭﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﺒﻠﻮﻍ ﻭﺍﺳﺘﺤﺐ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻣﻨﻬﻢ ﺍﺑﻦ ﺳﻴﺮﻳﻦ ﻭﺍﻟﺰﻫﺮﻱ ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺃﻧﻬﻢ ﻳﺆﻣﺮﻭﻥ ﺑﻪ ﻟﻠﺘﻤﺮﻳﻦ ﻋﻠﻴﻪ ﺇﺫﺍ ﺃﻃﺎﻗﻮﻩ ﻭﺣﺪ ﺫﻟﻚ ﻋﻨﺪ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺑﺎﻟﺴﺒﻊ ﻭﺍﻟﻌﺸﺮ ﻛﺎﻟﺼﻼﺓ ﻭﻋﻨﺪ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﺣﺪﻩ ﺍﺛﻨﺘﻲ ﻋﺸﺮﺓ ﺳﻨﺔ ﻭﻋﻨﺪ ﺃﺣﻤﺪ ﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻋﺸﺮ ﺳﻨﻴﻦ ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻷﻭﺯﺍﻋﻲ ﺇﺫﺍ ﺃﻃﺎﻕ ﺻﻮﻡ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﺗﺒﺎﻋﺎ ﻻ ﻳﻀﻌﻒ ﻓﻴﻬﻦ ﺣﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺸﺮﻉ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺑﻄﺎﻝ ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺗﻠﺰﻡ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﻭﺍﻟﻔﺮﺍﺋﺾ ﺇﻻ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺒﻠﻮﻍ ﺇﻻ ﺃﻥ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﺳﺘﺤﺴﻨﻮﺍ ﺗﺪﺭﻳﺐ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺭﺟﺎﺀ ﺍﻟﺒﺮﻛﺔ ﻭﺃﻧﻬﻢ ﻳﻌﺘﺎﺩﻭﻧﻬﺎ ﻓﺘﺴﻬﻞ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺇﺫﺍ ﺃﻟﺰﻣﻬﻢ ﻭﺃﻥ ﻣﻦ ﻓﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﺑﻬﻢ ﻣﺄﺟﻮﺭ ﻭﻓﻲ ( ﺍﻷﺷﺮﺍﻑ ) ﺍﺧﺘﻠﻔﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺆﻣﺮ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﺑﺎﻟﺼﻴﺎﻡ ﻓﻜﺎﻥ ﺍﺑﻦ ﺳﻴﺮﻳﻦ ﻭﺍﻟﺤﺴﻦ ﻭﺍﻟﺰﻫﺮﻱ ﻭﻋﻄﺎﺀ ﻭﻋﺮﻭﺓ ﻭﻗﺘﺎﺩﺓ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ ﻳﺆﻣﺮ ﺑﻪ ﺇﺫﺍ ﺃﻃﺎﻗﻪ
Keterangan fatwa syeh dr. muhammad hisan mursyid thoriqoh samaniyah di syiria

ﺇﺫﺍً ﺻﻮﻡ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﺫﻛﺮﺍً ﺃﻡ ﺃﻧﺜﻰ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﺒﻠﻮﻍ ﻏﻴﺮ ﻭﺍﺟﺐ ﻟﺤﺪﻳﺚ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠَﻪ r "ﺭﻓﻊ ﺍﻟﻘﻠﻢ ﻋﻦ ﺛﻼﺛﺔ ﻭﻓﻴﻪ .. ﻋﻦ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﺣﺘﻰ ﻳﺤﺘﻠﻢ " ( ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ) ﺑﻞ ﻫﻮ ﻣﺴﺘﺤﺐ ﻳﻌﻮﺩ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﺒﻲ، ﻓﺪﻟﺖ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﻋﻠﻰ ﻣﺸﺮﻭﻋﻴﺔ ﺗﻌﻮﻳﺪ ﺍﻷﻃﻔﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻟﻤﻦ ﻻ ﻳﺆﺛﺮ ﻋﻠﻴﻪ، ﺣﺘﻰ ﻳﻄﻴﻘﻮﻧﻪ، ﻓﻤﻦ ﺑﻠﻎ ﻣﻨﻬﻢ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻣﻦ ﻋﻤﺮﻩ ﻓﻌﻠﻰ ﻭﻟﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﻌﻮﺩﻩ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺣﺘﻰ ﻳﻄﻴﻘﻪ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻌﺪ، ﻭﻟﻴﻜﻦ ﺫﻟﻚ ﺑﺎﻟﺘﺪﺭﻳﺞ، ﻓﻤﺜﻼً ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻷﻭﻝ ﻳﺼﻮﻡ ﺟﺰﺀﺍً ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ، ﻭﻓﻲ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻛﺬﻟﻚ، ﻭﻓﻲ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﻧﺼﻒ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ، ﻭﻫﻜﺬﺍ ﺣﺘﻰ ﻳﺘﻌﻮﺩ ﺍﻟﻄﻔﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻭﻳﺄﻟﻔﻪ، ﻭﻋﻠﻰ ﻭﻟﻲ ﺍﻷﻣﺮ ﻣﻦ ﺃﺏ ﺃﻭ ﺃﻡ ﺃﻥ ﻳﺴﺘﺨﺪﻣﻮﺍ ﺍﻟﻠﻌﺐ ﻭﺍﻟﻘﺼﺺ ﻣﻊ ﺍﻷﻃﻔﺎﻝ ﺣﺘﻰ ﻳﻨﺴﻮﺍ ﺍﻟﺮﻏﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻷﻛﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﺏ، ﻭﻟﻬﺬﺍ ﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﺭﻭﺍﻳﺎﺕ ﻣﺴﻠﻢ ﻗﺎﻟﺖ : ﻓﺈﺫﺍ ﺳﺄﻟﻮﻧﺎ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﺃﻋﻄﻴﻨﺎﻫﻢ ﺍﻟﻠﻌﺒﺔ ﺗﻠﻬﻴﻬﻢ ﺣﺘﻰ ﻳﺘﻤﻮﺍ ﺻﻮﻣﻬﻢ . ﻭﻻ ﺑﺄﺱ ﻓﻲ ﺗﺪﺭﻳﺐ ﺍﻟﺼﻐﺎﺭ ﻋـﻠﻰ ﺍﻟﺼﻮﻡ ــ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻃﻮﻳﻼً ﻭﺣﺎﺭﺍً ـ ﺑﺄﻥ ﻳﺘﺴﺤﺮ ﺍﻟﻄﻔﻞ ﻣﻊ ﺃﺳـﺮﺗﻪ ﺛﻢ ﻳﻤﺴـﻚ ﺣﺘﻰ ﺍﻟﻈﻬﺮ، ﻓﺘﻌﻄﻰ ﻟـﻪ ﻭﺟﺒـﺔ، ﺛﻢ ﻳﻤﺴـﻚ ﺑﻌﺪﻫﺎ ﺣﺘﻰ ﺍﻹﻓﻄﺎﺭ، ﻭﻳﺴـﻤﻮﻧﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺸـﺎﻡ ( ﺩﺭﺟﺎﺕ ﺍﻟﻤﺌﺬﻧﺔ ) ، ﻭﻫﺬﺍ ﻷﻃﻔﺎﻝ ﻣﺎ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﺇﻥ ﻭﺟﺪﺕ ﻋﻨﺪﻫﻢ ﺍﻟﺮﻏﺒﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺗﻘﻠﻴﺪ ﺍﻟﻜﺒﺎﺭ، ﻭﺍﻟﻬﺪﻑ ﻣﻨﻪ ﻫﻮ ﺍﻟﺘﺪﺭﻳﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻣﺴﺎﻙ ﻭﺍﻻﻣﺘﻨﺎﻉ ﻋﻦ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﺍﻟﺸﺮﺍﺏ ﻣﺪﺓ ﻣﺤﺪﺩﺓ . 
Adapun puasa bagi pria atau wanita yang belum baligh itu tidak wajib berdasarkan hadist rasulullah :diangkat qolam (pena) dari tiga orang diantaranya bagi anak sehingga iihtilam .riwayat abu dawud.bahkan puasa anak yang belum baligh disunnahkan bila anak tersebut membiasakan puasa.dalil hadist atas disyariatkannya puasa bagi anak yang belum baligh sehingga kuat berpuasa . pada anak yang sudah mencapai umur 7 tahun maka bagi orang tua hendaknya membiasakan anaknya 
untuk berpuasa sehingga
kuat berpuasa .
akan tetapi secara perlahan2/bertahap sebagai contoh sebagian hari puasa ( 1/3 hari puasa ) dihari pertama dihari kedua juga begitu dihari ketiga puasa setengah hari sehingga anak tersebut membiasakannya .dan bagi wali (ortu) bapak atau ibu hendaknya menyuruh pembantunya untuk memberikan mainan dan menceritakan dongeng sehingga lupa dari keinginan makan dan minum dan dari itu disebutkan disebagian riwayat muslim :bila anak yang belum baligh itu meminta makanan maka berikanlah mainan untuk dibuat permainan sehingga anak menyempurnakan puasanya dan tidak mengapa untuk latihan puasa bagi anak dikala hari itu panas dan panjang misal anak itu sahur bersama keluarga puasa hingga dzuhur diwaktu dzuhur berikanlah makan sekali kemudian menahan lapar sampai waktu berbuka dan orang2 syiria menamakan puasa tersebut derajat al mu'dzanah . adapun ini untuk anak yang belum mencapi umur 7 tahun bila ditemukan dalam dirinya sifat suka pada puasa dan ikut kebiasaan dan kumpul dengan orang dewasa adapun ini sebagai latihan bagi anak yang belum baligh untuk menahan dan mencegah makan dan minum dimasa yang ditentukan batasannya.

ﺻﻮﻡ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻋﺎﺩﺓ ﺃﻡ ﻋﺒﺎﺩﺓ ﻣﺤﻤﺪ ﺣﺴﺎﻥ ﺷﻴﺦ ﺍﻟﻄﺮﻳﻘﺔ ﺍﻟﺴﻤﺎﻧﻴﺔ ﺍﻟﻄﻴﺒﻴﺔ ﺑﺴﻮﺭﻳﺎ , ﺇﺟﺎﺯﺓ ﻣﻦ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﻭﻣﻮﻻﻧﺎ ﺣﺴﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﻌﻮﺽ ﺍﻟﺴﻮﺩﺍﻧﻲ ﻣﺄﻭﻯ ﻭﺍﻻﺷﻌﺮﻱ ﻋﻘﻴﺪﺓ ﻭﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻲ ﻣﺬﻫﺒﺎً ﻭﺍﻟﺴﻤﺎﻧﻲ ﻃﺮﻳﻘﺔً ﻭﺍﻟﺼﻮﻓﻲ ﻣﺸﺮﺑﺎً . ﻭﺭﺋﻴﺲ ﻗﺴﻢ ﺍﻷﺣﻮﺍﻝ ﺍﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﻓﻲ ﻛﻠﻴﺔ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﺑﺠﺎﻣﻌﺔ ﺩﻣﺸﻖ ؟؟؟ !!! ﺍﻟﺪﻛﺘﻮﺭ ﻣﺤﻤﺪ ﺣﺴﺎﻥ ﻋﻮﺽ ﻗﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﻟﺤﻜﻴﻢ: } ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻗُﻮﺍ ﺃَﻧﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻫْﻠِﻴﻜُﻢْ ﻧَﺎﺭﺍً ﻭَﻗُﻮﺩُﻫَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻭَﺍﻟْﺤِﺠَﺎﺭَﺓُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻣَﻠَﺎﺋِﻜَﺔٌ ﻏِﻠَﺎﻅٌ ﺷِﺪَﺍﺩٌ ﻟَﺎ ﻳَﻌْﺼُﻮﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻣَﺎ ﺃَﻣَﺮَﻫُﻢْ ﻭَﻳَﻔْﻌَﻠُﻮﻥَ ﻣَﺎ ﻳُﺆْﻣَﺮُﻭﻥَ { ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ 6، ﺍﻟﻄﻔﻮﻟﺔ ﻟﻴﺴﺖ ﻣﺮﺣﻠﺔ ﺗﻜﻠﻴﻒ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻫﻲ ﻣﺮﺣﻠﺔ ﺇﻋﺪﺍﺩ ﻭﺗﺪﺭﻳﺐ ﻭﺗﻌﻮﻳﺪ ﻟﻠﻮﺻﻮﻝ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺘﻜﻠﻴﻒ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺒﻠﻮﻍ ﻟﻴﺴﻬﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺩﺍﺀ ﺍﻟﻮﺍﺟﺒﺎﺕ، ﻓﺎﻟﻮﺍﻟﺪﺍﻥ ﻣﺴﺆﻭﻻﻥ ﺃﻣﺎﻡ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻋﻦ ﺗﺮﺑﻴﺔ ﺃﻭﻻﺩﻫﻤﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﺳﻼﻡ . ﻭﻣﻦ ﻭﺳﺎﺋﻞ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ : "ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﺑﺎﻟﻌﺎﺩﺓ ﺃﻱ ﺗﻌﻮﻳﺪ ﺍﻟﻄﻔﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﺷﻴﺎﺀ ﻣﻌﻴﻨﺔ ﺣﻨﻰ ﺗﺼﺒﺢ ﻋﺎﺩﺓ ﺫﺍﺗﻴﺔ ﻟـﻪ . ﻭﻣﻦ ﺃﺑﺮﺯ ﺍﻷﻣﺜﻠﺔ ﺷﻌﺎﺋﺮ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻭﻓﻲ ﻣﻘﺪﻣﺘﻬﺎ ﺍﻟﺼﻼﺓ .... ﻭﺗﻜﻮﻳﻦ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻐﺮ ﺃﺳﻬﻞ ﺑﻜﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺗﻜﻮﻳﻨﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﺒﺮ، ﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﺍﻟﺠﻬﺎﺯ ﺍﻟﻌﺼﺒﻲ ﺍﻟﻐﺾ ﺃﻛﺜﺮ ﻗﺎﺑﻠﻴﺔ ﻟﻠﺘﺸﻜﻴﻞ ..... ﻭﻗﺪ ﺍﺧﺘﺺ ﺣﺪﻳﺚ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ r ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻷﻣﺮ ( ﻣﺮﻭﺍ ﺃﻭﻻﺩﻛﻢ ﺑﺎﻟﺼﻼﺓ ﻟﺴﺒﻊ ... ) ﻷﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻨﻮﺍﻥ ﺍﻹﺳﻼﻡ، ﻭﻟﻜﻦ ﺟﻤﻴﻊ ﺁﺩﺍﺏ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﺃﻭﺍﻣﺮﻩ ﺳﺎﺋﺮﺓ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻨﻬﺞ، ﻓﻜﻠﻬﺎ ﺗﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻰ ﺗﻌﻮﻳﺪ ﻣﺒﻜﺮ ." ﻭﺃﺧﺮﺝ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻋﻦ ﻫﺸﺎﻡ ﺑﻦ ﻋﺮﻭﺓ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ ﺃﻧﻪ : ﻛﺎﻥ ﻳﺄﻣﺮ ﺑﻨﻴﻪ ﺑﺎﻟﺼﻴﺎﻡ ﺇﺫﺍ ﺃﻃﺎﻗﻮﻩ، ﻭﺑﺎﻟﺼﻼﺓ ﺇﺫﺍ ﻋﻘﻠﻮﺍ. ﻭﻗﺪ ﻋﻨﻮﻥ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠـﻪ ﺑﺎﺑﺎً ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺤﻪ ﺍﺳﻤﻪ ﺑﺎﺏ ﺻﻮﻡ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻭﺃﻭﺭﺩ ﺣﺪﻳﺚ ﻋﻤﺮ t ﺣﻴﺚ ﻗﺎﻝ ﻟﻨﺸﻮﺍﻥ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ - ﻭﻳﺒﺪﻭ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻣﻔﻄـﺮﺍً :- ﻭﻳﻠـﻚ ﻭﺻﺒﻴـﺎﻧﻨــﺎ ﺻﻴﺎﻡ ﻓﻀﺮﺑﻪ، ﻭﻋﻠﻖ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺘﺢ ﻓﻘﺎﻝ: ( ... ﻭﺍﺳﺘﺤﺐ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻣﻨﻬﻢ ﺍﺑﻦ ﺳﻴﺮﻳﻦ ﻭﺍﻟﺰﻫﺮﻱ ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻪ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ : ﺃﻥ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻳﺆﻣﺮﻭﻥ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ ﻟﻠﺘﻤﺮﻳﻦ ﻋﻠﻴﻪ ﺇﺫﺍ ﺃﻃﺎﻗﻮﻩ ﻭﺣﺪﻩ ﺑﺎﻟﺴﺒﻊ ﻭﺍﻟﻌﺸـــﺮ ﻛﺎﻟﺼﻼﺓ. ﻭﺇﺫﺍ ﺃﻃﺎﻕ ﺻﻮﻡ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﺗﺒﺎﻋﺎً ﻻ ﻳﻀﻌﻒ ﻓﻴﻬﻦ ﺣﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻮﻡ، ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻤﺎﺟﺸﻮﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ: ﺇﺫﺍ ﻃﺎﻕ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺃﻟﺰﻣﻮﻩ، ﻓﺈﻥ ﺃﻓﻄﺮﻭﺍ ﻟﻐﻴﺮ ﻋﺬﺭ ﻓﻌﻠﻴﻬﻢ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ [ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ 5/3 ]. [ ﺍﻟﺮﻭﺽ ﺍﻟﻤﺮﺑﻊ 1/415 ]

ﻭﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﺃﻥ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻻ ﻳﺸﺮﻉ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ، ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻐﺰﺍﻟﻲ ﺇﺫﺍ ﺑﻠﻎ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﺳﻦ ﺍﻟﺘﻤﻴﻴﺰ ﻓﻴﻨﺒﻐﻲ ﺃﻻ ﻳﺴﺎﻣﺢ ﻓﻲ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﺃﻳﺎﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ . ﻭﺃﺧﺮﺝ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺍﻟﺮﺑﻴﻊ ﺑﻨﺖ ﻣﻌﻮﺫ ﻗﺎﻟﺖ ﺃﺭﺳﻞ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠـﻪ r ﻏﺪﺍﺓ ﻋﺎﺷـــﻮﺭﺍﺀ ﺇﻟﻰ ﻗﺮﻯ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭ ﺍﻟﺘﻲ ﺣﻮﻝ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ )) ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﺃﺻﺒﺢ ﺻﺎﺋﻤﺎً ﻓﻠﻴﺘﻢ ﺻﻮﻣﻪ، ﻭﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﺃﺻﺒﺢ ﻣﻔﻄﺮﺍً ﻓﻠﻴﺼﻢ ﺑﻘﻴﺔ ﻳﻮﻣﻪ (( ﻓﻜﻨﺎ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﻧﺼﻮﻣﻪ، ﻭﻧﺼﻮﻡ ﺻﺒﻴﺎﻧﻨﺎ ﺍﻟﺼﻐﺎﺭ ﻣﻨﻬﻢ ﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠـﻪ، ﻭﻧﺬﻫﺐ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﻓﻨﺠﻌﻞ ﻟﻬﻢ ﺍﻟﻠﻌﺒﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻬﻦ ( ﺍﻟﺼﻮﻑ ) ﻓﺈﺫﺍ ﺑﻜﻰ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﺃﻋﻄﻴﻨﺎﻫﺎ ﺫﻟﻚ ﺣﺘﻰ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﺍﻹﻓﻄﺎﺭ، ﻭﻋﻠﻖ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻓﻘﺎﻝ : ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺣﺠﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﺸﺮﻭﻋﻴﺔ ﺗﻤﺮﻳﻦ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ، ﻷﻥ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺴﻦ ﺍﻟﺬﻱ ﺫﻛﺮ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻓﻬﻮ ﻏﻴﺮ ﻣﻜﻠﻒ . ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺻﻨﻊ ﺫﻟﻚ ﻟﻠﺘﻤﺮﻳﻦ . ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺑﻄﺎﻝ - ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ - ( ﺃﺟﻤﻊ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺗﻠﺰﻡ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻭ ﺍﻟﻔﺮﺍﺋﺾ ﺇﻻ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺒﻠﻮﻍ ﻭﻟﻜﻦ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﺳﺘﺤﺴﻨﻮﺍ ﺗﺪﺭﻳﺐ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺭﺟﺎﺀ ﺍﻟﺒﺮﻛﺔ ﻭﺃﻥ ﻣﻦ ﻓﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﻣﻨﻬﻢ ﻣﺄﺟﻮﺭ ﻭﻷﻧﻬﻢ ﺑﺎﻋﺘﻴﺎﺩﻫﻢ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺗﺴﻬﻞ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺇﺫﺍ ﻟﺰﻣﺘﻬﻢ ) . ﺇﺫﺍً ﺻﻮﻡ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﺫﻛﺮﺍً ﺃﻡ ﺃﻧﺜﻰ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﺒﻠﻮﻍ ﻏﻴﺮ ﻭﺍﺟﺐ ﻟﺤﺪﻳﺚ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠَﻪ r "ﺭﻓﻊ ﺍﻟﻘﻠﻢ ﻋﻦ ﺛﻼﺛﺔ ﻭﻓﻴﻪ .. ﻋﻦ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﺣﺘﻰ ﻳﺤﺘﻠﻢ " ( ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ) ﺑﻞ ﻫﻮ ﻣﺴﺘﺤﺐ ﻳﻌﻮﺩ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﺒﻲ، ﻓﺪﻟﺖ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﻋﻠﻰ ﻣﺸﺮﻭﻋﻴﺔ ﺗﻌﻮﻳﺪ ﺍﻷﻃﻔﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻟﻤﻦ ﻻ ﻳﺆﺛﺮ ﻋﻠﻴﻪ، ﺣﺘﻰ ﻳﻄﻴﻘﻮﻧﻪ، ﻓﻤﻦ ﺑﻠﻎ ﻣﻨﻬﻢ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻣﻦ ﻋﻤﺮﻩ ﻓﻌﻠﻰ ﻭﻟﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﻌﻮﺩﻩ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺣﺘﻰ ﻳﻄﻴﻘﻪ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻌﺪ، ﻭﻟﻴﻜﻦ ﺫﻟﻚ ﺑﺎﻟﺘﺪﺭﻳﺞ، ﻓﻤﺜﻼً ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻷﻭﻝ ﻳﺼﻮﻡ ﺟﺰﺀﺍً ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ، ﻭﻓﻲ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻛﺬﻟﻚ، ﻭﻓﻲ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﻧﺼﻒ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ، ﻭﻫﻜﺬﺍ ﺣﺘﻰ ﻳﺘﻌﻮﺩ ﺍﻟﻄﻔﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻭﻳﺄﻟﻔﻪ، ﻭﻋﻠﻰ ﻭﻟﻲ ﺍﻷﻣﺮ ﻣﻦ ﺃﺏ ﺃﻭ ﺃﻡ ﺃﻥ ﻳﺴﺘﺨﺪﻣﻮﺍ ﺍﻟﻠﻌﺐ ﻭﺍﻟﻘﺼﺺ ﻣﻊ ﺍﻷﻃﻔﺎﻝ ﺣﺘﻰ ﻳﻨﺴﻮﺍ ﺍﻟﺮﻏﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻷﻛﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﺏ، ﻭﻟﻬﺬﺍ ﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﺭﻭﺍﻳﺎﺕ ﻣﺴﻠﻢ ﻗﺎﻟﺖ : ﻓﺈﺫﺍ ﺳﺄﻟﻮﻧﺎ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﺃﻋﻄﻴﻨﺎﻫﻢ ﺍﻟﻠﻌﺒﺔ ﺗﻠﻬﻴﻬﻢ ﺣﺘﻰ ﻳﺘﻤﻮﺍ ﺻﻮﻣﻬﻢ . ﻭﻻ ﺑﺄﺱ ﻓﻲ ﺗﺪﺭﻳﺐ ﺍﻟﺼﻐﺎﺭ ﻋـﻠﻰ ﺍﻟﺼﻮﻡ ــ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻃﻮﻳﻼً ﻭﺣﺎﺭﺍً ـ ﺑﺄﻥ ﻳﺘﺴﺤﺮ ﺍﻟﻄﻔﻞ ﻣﻊ ﺃﺳـﺮﺗﻪ ﺛﻢ ﻳﻤﺴـﻚ ﺣﺘﻰ ﺍﻟﻈﻬﺮ، ﻓﺘﻌﻄﻰ ﻟـﻪ ﻭﺟﺒـﺔ، ﺛﻢ ﻳﻤﺴـﻚ ﺑﻌﺪﻫﺎ ﺣﺘﻰ ﺍﻹﻓﻄﺎﺭ، ﻭﻳﺴـﻤﻮﻧﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺸـﺎﻡ ( ﺩﺭﺟﺎﺕ ﺍﻟﻤﺌﺬﻧﺔ ) ، ﻭﻫﺬﺍ ﻷﻃﻔﺎﻝ ﻣﺎ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﺇﻥ ﻭﺟﺪﺕ ﻋﻨﺪﻫﻢ ﺍﻟﺮﻏﺒﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﺗﻘﻠﻴﺪ ﺍﻟﻜﺒﺎﺭ، ﻭﺍﻟﻬﺪﻑ ﻣﻨﻪ ﻫﻮ ﺍﻟﺘﺪﺭﻳﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻣﺴﺎﻙ ﻭﺍﻻﻣﺘﻨﺎﻉ ﻋﻦ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﺍﻟﺸﺮﺍﺏ ﻣﺪﺓ ﻣﺤﺪﺩﺓ

ﺃﻣﺎ ﻣﻦ ﻻ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻓﻼ ﻳﺠﺒﺮ ﻋﻠﻴﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﻄﻴﻘﻪ، ﻭﻳﻌﻠﻢ ﻭﻟﻴﻪ ﺑﺬﻟﻚ، ﺑﺄﻥ ﻳﺘﺮﻛﻪ ﻓﺘﺮﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻣﻦ ﺑﻼ ﺃﻛﻞ ﻭﻻ ﺷﺮﺏ ﻓﻴﺮﻯ ﻣﺪﺓ ﺗﺤﻤﻠﻪ، ﻭﻣﺘﻰ ﻳﻄﻠﺐ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﺍﻟﺸﺮﺍﺏ، ﻓﻤﺘﻰ ﻃﻠﺒﻪ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﻔﺘﺮﺓ ﻫﻲ ﺍﻟﻔﺘﺮﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﺍﻟﺼﻐﻴﺮ ﺗﺤﻤﻠﻬﺎ، ﻭﻗﺪ ﻳﺰﻳﺪ ﺍﻟﻮﻟﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﻤﺎ ﻻ ﻳﻀﺮ ﺑﺎﻟﺼﻐﻴﺮ، ﺣﺘﻰ ﻳﻌﺘﺎﺩ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻭﻳﻄﻴﻘﻪ. ﻭﺑﻬﺬﺍ ﻳﻄﻴﻖ ﺍﻟﺼﻐﻴﺮ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻭﻳﻌﺘﺎﺩﻩ، ﻟﻜﻦ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺑﺎﺏ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ، ﻓﻼ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺇﻻ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺑﻠﻎ . [ ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ﺑﺘﺼﺮﻑ 4/256 ] . ﻓﻴُﺴﺘﺤﺐ ﻟﻮﻟﻲّ ﺍﻟﺼﻐﻴﺮ ﺇﺫﺍ ﺑﻠﻎ ﺳﺒﻌﺎً ﻓﺄﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻛﻮﺭ ﺃﻭ ﺍﻹﻧﺎﺙ ﺃﻥ ﻳﺄﻣﺮﻩ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ ﻟﻴﺘﻌﻮﺩﻩ ﻭﻳﻄﻴﻘﻪ ﻭﻳﻨﺸﺄ ﻋﻠﻴﻪ، ﻓﻴﺄﻣﺮﻩ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ ﺇﺫﺍ ﺑﻠﻎ ﺳﺒﻊ ﺳﻨﻴﻦ، ﻭﻳﻀﺮﺑﻪ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺇﺫﺍ ﺑﻠﻎ ﻋﺸﺮ ﺳﻨﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺿﺮﺑﺎً ﺳﻬﻼً، ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﺸﺒﻪ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺑﺎﻟﺼﻼﺓ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﻬﺎ، ﻟﻘﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: " ﻣﺮﻭﺍ ﺃﺑﻨﺎﺀﻛﻢ ﺑﺎﻟﺼﻼﺓ ﻟﺴﺒﻊ، ﻭﺍﺿﺮﺑﻮﻫﻢ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻟﻌﺸﺮ ".. [ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ ] . ﻭﻛﺎﻥ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ y - ﻭﻫﻢ ﺍﻟﻘﺪﻭﺓ ﻵﺧﺮ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣﺔ - ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﺼﻮﻣﻮﻥ ﺃﻭﻻﺩﻫﻢ ﻭﻓﻲ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ( ﻭﻳﺆﻣﺮ ﺑﻪ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﻟﺴﺒﻊ ﻭﻳﻀﺮﺏ ﻟﻌﺸﺮ ). ﻭﻓﻲ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﺍﻟﺤﻨﺒﻠﻲ ( ﻭﻳﻠﺰﻡ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻟﻜﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﻣﻜﻠﻒ ﻗﺎﺩﺭ، ﻭﻋﻠﻰ ﻭﻟﻲ ﺻﻐﻴﺮ ﻣﻄﻴﻖ ﺃﻣﺮﻩ ﺑﻪ، ﻭﺿﺮﺑﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻟﻴﻌﺘﺎﺩﻩ ). ﺍﺫﺍً ﻻ ﻳﺸﺪﺩ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻮﻡ . ﻓﺈﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﺃﻛﺮﻫﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﺭﺑﻤﺎ ﻳﻌﻮﺩ ﺑﺎﻟﻀﺮﺭ ﻋﻠﻰ ﺻﺤﺘﻬﻢ ﻭﺩﻳﻨﻬﻢ !! ﺃﻣﺎ ﺿﺮﺭﻩ ﻓﻲ ﺻﺤﺘﻬﻢ ﻓﻘﺪ ﺃﺛﺒﺖ ﺍﻟﻄﺐ ﺃﻥ ﺻﻴﺎﻡ ﺍﻷﻃﻔﺎﻝ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﺒﻠﻮﻍ ﺿﺎﺭ ﺑﻬﻢ ﻷﻥ ﺃﺟﺴﺎﻣﻬﻢ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﺮﺣﻠﺔ ﺍﻟﻤﻬﻤﺔ ﻣﻦ ﻣﺮﺍﺣﻞ ﺍﻟﻨﻤﻮ ﺑﺤﺎﺟﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺘﻐﺬﻳﺔ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ ﻓﺈﻥ ﺻﺎﻡ ﺗﻮﻗﻒ ﻧﻤﻮﻫﺎ ﺃﻭ ﺗﻌﻄﻞ ﻭﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺷﻚ ﺇﺿﺮﺍﺭ ﺑﺎﻟﺼﺤﺔ ﺍﻟﺠﺴﻤﺎﻧﻴﺔ ﻟﻠﻄﻔﻞ . ﺃﻣﺎ ﺿﺮﺭﻩ ﻋﻠﻰ ﺩﻳﻨﻪ ﻓﻬﻮ ﺃﻛﺮﺍﻩ ﺍﻟﺼﺒﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﻓﻌﻞ ﺃﻣﺮ ﺩﻳﻨﻲ ﻳﺸﻖ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻷﻥ ﺫﻟﻚ ﻳﺒﻐﻀﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻭﻳﻌﻤﻲ ﻗﻠﻮﺑﻬﻢ ﻭﻳﻀﻌﻒ ﻋﺰﺍﺋﻤﻬﻢ . ﻭﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﻳﺆﻣﺮ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺑﺎﻟﻠﻄﻒ ﻭﺍﻟﻠﻴﻦ ﻭﺣﺴﻦ ﺍﻟﺘﺄﻧﻲ ﻓﺎﻥ ﺍﻋﺘﻴﺎﺩ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻳﺬﻟﻞ ﺻﻌﺒﻪ ﻭﻳﺮﻗﻖ ﻗﺴﻮﺗﻪ ﻭﻳﻤﻬﺪ ﺳﺒﻴﻠﻪ ﻭﻗﺪ ﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺸﺮﻳﻒ ( ﺗﻌﻮﺩﻭﺍ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻋﺎﺩﺓ ﻭﺍﻟﺸﺮ ﻟﺠﺎﺟﺔ ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻨﻦ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ . ﻭﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﺤﻜﻤﺎﺀ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﻃﺒﻴﻌﺔ ﺛﺎﻧﻴﺔ . ﻭﺃﺧﻴﺮﺍً ﻫﻞ ﻳﺆﺟﺮ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﻔﻌﻠﻬﺎ ﻋﺎﺩﺓ ﺃﻡ ﺗﻬﺪﺭ ﺣﺴﻨﺎﺗﻪ ﻟﺤﺪﻳﺚ "ﺭﻓﻊ ﺍﻟﻘﻠﻢ ﻋﻦ ﺛﻼﺛﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﺣﺘﻰ ﻳﺒﻠﻎ "؟ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺃﻧﻪ ﻳﺆﺟﺮ ﻭﺗﻜﺘﺐ ﻟﻪ ﺣﺴﻨﺎﺕ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻓﺮﻓﻊ ﺍﻟﻘﻠﻢ ﻫﻮ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺆﺍﺧﺬﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺴﻴﺌﺎﺕ ﻭﺩﻟﻴﻞ ﻫﺬﺍ ﻣﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﺒﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﻤﻬﻴﺪ ﺑﺴﻨﺪﻩ ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ t ﻗﺎﻝ : " ﺗﻜﺘﺐ ﻟﻠﺼﺒﻲ ﺣﺴﻨﺎﺗﻪ ﻭﻻ ﺗﻜﺘﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺳﻴﺌﺎﺗﻪ " . ﻭﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺭﺏ ﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ 

naseemalsham.org/ar/Pages.php? page=readrticle&pg_id =17862&page1=6

1. Hukum puasanya anak kecil bila tamyiz hukumnya sah dan di hukumi sunah :
 قوله البلوغ فلا يجب على الصبي ثم ان كان مميزا صح منه والا فلا.
الباجوري ١/٢٨٧. : 
قوله فلا يجب على صبي أى وإن صح منه إذلا تلازم بين الصحة والوجوب كما مر. : 
اعانة الطالبين ٢/٢٢٠ 
:(قوله: ولو في صوم المميز) غاية في اشتراط التبييت نفلا. أي يشترط التبييت، ولو كان الناوي صبيا مميزا، نظرا لذات الصوم، وإن كان صومه يقع نفلا، وليس لنا صوم نفل يشترط فيه ذلك إلا هذا، فيلغز به ويقال: لنا صوم نفل يشترط فيه تبييت النية. 
اعانة الطالبين ٢/٢٢٢

2. Amal taatnya anak yg belum baligh di catat di buku catatan amal kedua orang tuanya, setelah baligh maka pahala tsb di peroleh oleh anak tsb dan juga kedua orang dua mendapatkan pahala yg sama bila amal taat atas petunjuk ato perintah kedua orang tuanya.

 :وأعمال الطفل من الطاعات التي تكون قبل البلوغ في صحائف أبويه من المسلمين ومهما أحسنا في تربيته والقيام عليه كما ينبغي فالمرجو من فضل الله أن لا يخيبهما من ثواب أعماله الصالحة وطاعاته بعد البلوغ بل المرجو من فضل الله أن يكون لهما مثل ثوابه ويشهد لذالك ما ورد من الأحاديث في الدعاء إلى الهدى والدلالة على الخير فإنهما قد دعواه إلى الهدى ودلاه على الخير مهما أخذا في حقه بنحو ما ذكرناه من الإحسان في تربيته و أمره بالخير وترغيبه فيه ونهيه عن الشر وزجره عنه والله أعلم.
النصائح الدينية : ص : ٢٢-٢٣
LINK DISKUSI
Share this article :

Postingan Populer

Memasuki bulan Ramadhan

Wajib mempelajarinya sebelum masuk di bulan Ramadhan.
BULAN SUCI RAMADHAN
1. Dalil Puasa Ramadhan
Puasa bulan suci Ramadhan adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang mukallaf (dewasa/baligh). Perintah pengamalannya (kefardhuannya) turun pada tanggal 10 Sya’ban 18 bulan setelah Nabi Saw. hijrah ke Madinah. Adapun dalil-dalil yang menjadi dasar hukum puasa adalah firman Allah Swt. QS. al-Baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan (pula) kepada orang-orang sebelum kalian, semoga kalian bertakwa.”
Hadits Nabi Muhammad Saw.:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَدَةٍ أَنْ لَاإِلَهَ إِلاَّاللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ االزَّكَاةِ، وَ حِجِّ الْبَيْتِ، وَصِيَامِ رَمَضَا نَ
“Islam didirikan atas lima dasar; Syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, naik haji dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar Ra.).
Dan adanya ijma’ ulama, yaitu kesepakatan para imam madzhab dimana para imam telah sepakat mengenai kefardhuannya dan tidak ada seorang Muslim pun yang mengingkarinya.
2. Penetapan Awal Bulan Ramadhan
صُوْمُوْأ لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْلِمُوْا ِعدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal (bulan tanggal satu) dan berbukalah karena melihatnya. Dan jikalau tidak tampak lantaran langit tertutup awan maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban genap 30 hari.” (HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah Ra.).
Dalam hadits ini jelas dalam memberikan gambaran tentang cara menentukan awal bulan Ramadhan dan akhirnya. Yaitu:
a. Ramadhan ditentukan awalnya dengan Ru’yah (melihat bulan tanggal satu).
b. Jikalau hilal tidak tampak diRu’yah karena langit berawan, maka awal Ramadhan ditentukan dengan Ikmal, yaitu bulan Sya’ban di hitung sampai 30 hari kemudian hari berikutnya itulah tanggal satu Ramadhan.
Menurut rumusan hadits di atas, maka dasar satu-satunya untuk menentukan awal Ramadhan adalah Ru’yah. Sedang Ikmal hanya merupakan jalan keluar jika Ru’yah tidak dapat dilakukan lantaran langit mendung.
Ru’yah dilakukan dengan melihat langsung, sedang Ikmal dapat dilakukan dengan Hisab. Oleh karena itu, maka Hisab hanya berperan sebagai petunjuk saja, tidak dapat dipakai sebagai dasar penentuan awal bulan. Walaupun misalnya pada hari Ahad sudah mulai masuk Ramadhan menurut Hisab, tetapi jika ternyata hilal belum dapat diRu’yah maka Hisab tersebut tidak dapat diikuti.
Demikianlah empat madzhab sependapat bahwa dasar penentuan awal bulan Ramadhan adalah Ru’yah. Tentang kedudukan hasil hisab adalah sebagai berikut:
a) Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hanbali berpendapat bahwa hasil hisab tidak mengikat sama sekali, baik bagi ahli hisab yang menghisab itu sendiri maupun bagi orang yang mempercayainya. Hal demikian karena adanya ketetapan agama yang telah jelas dan tidak boleh dilanggar, bahwa dasar penentuan awal bulan adalah Ru’yah atau Ikmal.
b) Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa hasil hisab mengikat pada ahli hisab yang bersangkutan dan orang-orang yang membenarkan hasil hisab tersebut, sedangkan kaum Muslimin pada umumnya tidak terikat dengan hasil tersebut. Jadi yang wajib berpuasa berdasarkan hisab tersebut adalah hanya orang yang menghisab itu sendiri dan orang-orang yang membenarkannya. Orang selain mereka tidak.
Masalah Ru’yah adalah bukan masalah khilafiyah, tetapi hal itu merupakan ketentuan agama yang jelas tegas (sharih) dan karenanya harus kita terima dan kita ikuti secara mutlak. Tidak perlu dibanding-bandingkan atau di timbang-timbang dengan hisab.
Ada sekelompok orang yang tidak mau menerima Ru’yah tersebut, dan sebaliknya mempertahankan peranan hisab secara mutlak. Mereka beralasan bahwa; Ru’yah itu cocok pada zaman dahulu dimana belum banyak ahli hisab (termasuk Nabi sendiri), Ru’yah itu menyulitkan sedangkan agama itu menghendaki kemudahan, dan ada juga yang menta’wil kata Ru’yah dengan makna pena (berarti hisab), dan masih banyak lagi alasan yang mereka kemukakan yang berdasar buah rasio semata.
Kalau memang benar pendapat mereka ini, berarti benar pula pemahaman dan penghayatan agama yang hanya dengan rasio. Bila demikian, maka rusaklah Islam. Dasar pokok yang tadinya al-Quran dan as-Sunnah Nabi telah dirubah menjadi berdasarkan akal rasio. Na’udzu billah.
Kalau mereka menganggap kita yang berdasar petunjuk Nabi ini Bid’ah, lalu mereka yang beragama berdasar akar rasio itu apa namanya? Mungkinkah mereka telah membuat syari’at baru atau memperbaharui (mentajdid) Syari’at Islam. Allah tidak mengangkat Nabi lagi setelah Nabi Muhammad Saw. Sejuta alasan dapat mereka kemukakan. Dan sejuta alasan juga dapat kita sampaikan untuk menolaknya. Yang jelas Allah Swt. telah berfirman dalam QS. al-Ahzab ayat 36:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
3. Niat Puasa
Niat melakukan puasa adalah salah satu rukun puasa. Niat puasa wajib dilaksanakan di malam hari sebelum terbit fajar. Sabda Nabi Muhammad Saw.:
مَنْ لَمْ يُبَيَّت الصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa tidak melakukan niat di malam hari, sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim dll. dari Hafshah Ummil Mu’minin Ra.)
Hadits tersebut jelas menyatakan bahwa niat puasa harus dilakukan di malam hari. Kewajiban melakukannya di malam hari ini adalah khusus untuk puasa wajib. Sedangkan untuk puasa sunnah berniat disiang hari diperbolehkan.
Pendapat Imam Maliki dan sahabat-sahabatnya memperbolehkan niat puasa sebulan Ramadhan dengan cukup sekali niat untuk semuanya. Sedangkan setiap malam disunnahkan untuk memperbaharuinya.
إِذَا نَوَى أَوَّالَ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صِيَامَ جَمِيْعِهِ كَفَاهُ وَلاَ يَحْتَاجُ لِنِيَةٍ لِكُلِّ يَوْمٍ، وَيُسْتَحَبُّ تَجْدِيْدُ هَا فَقَطْ
“Apabila niat berpuasa di malam pertama bulan Ramadhan untuk puasa 1 (satu) bulan, maka telah cukup. Setiap harinya tidak perlu lagi berniat sendiri. Hanya disunnahkan memperbaharuinya saja.”
Imam Syafi’i menyatakan sunnah melafalkan niat tersebut, agar dengan cara begitu hatinya tertuntun dan lebih dapat memusatkan perhatian pada niatnya itu.
وَيُسَنُّ أَنْ يَنْطِقَ بِلِسَانِهِ بِالنِّيَّةِ ِلأَنَّهُ عَوْنٌ لِلْقَلْبِ
“Sunnah lisannya melafalkan niat, karena hal itu dapat menolong niat dalam hatinya.”
Lafal niat puasa dapat berbentuk sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ شَهْرِ رَمَضَان هَذِهِ السَّنّةِ ِللهِ تَعَالَى
“Aku berniat puasa esok hari untuk menunaikan kefardhuan bulan Ramadhan tahun ini, sebagai fardhu karena Allah Ta’ala.”
Apabila kita telah niat puasa sebulan pada malam pertama maka pada malam-malam berikutnya tidak perlu niat lagi. Bila pada malam berikutnya kita niat lagi hukumnya sunnah, tidak wajib.
4. Shalat Tarawih
Shalat Tarawih hukumnya Sunnah Muakkad dan dalam menunaikannya disunnahkan dengan berjamaah. Waktunya adalah setelah shalat Isya’ sampai terbit fajar. Dapat dilakukan sebelum shalat Witir. Bahkan menurut para ulama Malikiyyah melakukan Tarawih setelah Witir itu makruh.
a) Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Jumlah rakaat shalat Tarawih adalah 20. Hal ini berdasar apa yang dilakukan oleh sahabat Nabi Umar bin Khathab Ra. dan seluruh sahabat Nabi waktu itu. Mereka melakukan shalat Tarawih 20 rakaat disambung 3 rakaat witir. Jadi semuanya 23 rakaat. Disebutkan dalam suatu hadits:
كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِى زَمَانٍ عُمَرَبْنِ اْلحَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِثَلاَثٍ وَ عِسْرِيْنَ رَكَعَهً
“Orang-orang di zaman Umar bin Khathab Ra. melakukannya 23 rakaat.” (HR. Imam Malik).
Dalam riwayat lain disebutkan :
إِنَّهُمْ يَقُوْ مُوْ نَ عَلَى عَهْدٍ عُمَرَ بْنِ اْلحَطَّا بِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِى شَهْرِرَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكَعَةً
“Bahwa sesungguhnya para sahabat di masa Umar bin Khathab Ra. pada bulan Ramadhan melakukan (Tarawih) 20 rakaat.” (HR. al-Baihaqi).
Dalam hal ini kita memang harus mengikuti praktek yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khathab dan sahabat lainnya, keterangannya sebagai berikut:
1. Tidak ada hadits Nabi yang secara langsung dan jelas menerangkan berapa jumlah rakaat shalat Tarawih Nabi. Memang ada diketahui Nabi bersama para sahabat melakukan Tarawih di masjid 8 rakaat, kemudian mereka pulang dan pada penyempurnaan sendiri di rumah masing-masing, hingga komplek perumahan mereka gemuruh (dari suara orang shalat) bagaikan suara lebah. Kemudian sampai berapa rakaat mereka menyempurnakan itu, inilah masalahnya. Yang menegaskan jawabannya adalah Umar bin Khathab, yaitu 20 rakaat. Dan ternyata penegasan ini tidak diragukan oleh sahabat-sahabat yang lain. Mereka semua menerima bahkan juga melakukan Tarawih 20 rakaat.
2. Nabi sendiri memerintahkan agar kita mengikuti jejak Abu Bakar dan Umar bin Khathab, yaitu dalam hadits:
إِقْتَدُوْا بِالَّلذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَ عُمَرَ
“Ikutilah kalian sesudahku kepada dua orang; Abu Bakar dan Umar.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
b) Ada yang Salah Paham
Sekelompok orang yang salah paham menyatakan bahwa shalat Tarawih itu 8 rakaat, Witir 3 rakaat jumlah semua 11 rakaat. Kelompok kecil ini beralasan dengan hadits riwayat Aisyah sebagai berikut:
قَالَتْ : مَاكَانَ يَزِيْدُفىِ رَمَضَانَ وَلاَفىِ غَيْرِهِ عَلىَ إِحْدَى عَشْرَةَرَكْعَةً
Aisyah berkata: “Tidak pernah Nabi menambah hingga melebihi 11 rakaat, baik dalam bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan.”
Hadits ini memang menyatakan bahwa Nabi melakukan 11 rakaat, tidak pernah lebih dari itu. Shalat ini selalu Nabi lakukan dalam bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Lalu shalat apakah ini? Apakah yang dimaksud di sini shalat Tarawih? Ini bukan shalat Tarawih. Sebab tidak ada shalat Tarawih yang dilakukan di luar bulan Ramadhan. Awas jangan salah paham!
Lalu shalat apa? Ini adalah shalat Witir. Jumlah maksimal rakaat shalat Witir adalah 11 rakaat. Di dalam bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan Witir paling banyak dapat dilakukan 11 rakaat. Oleh karena itu Imam Bukhari mencantumkan hadits tersebut dalam bab shalat Witir, bukan bab Tarawih.
Kesimpulannya, kelompok kecil tadi salah paham. Mereka menerapkan dalil tidak tepat. Dalil haditsnya shahih, bagus. Tetapi penerapannya tidak benar.
Memang tidak ada satupun ulama yang menyatakan bahwa shalat Tarawih itu 8 rakaat. Madzhab empat sepakat 20 rakaat, di seluruh dunia termasuk Makkah dan Madinah melaksanakan dengan 20 rakaat, dari dahulu sampai sekarang. Sedang yang melakukan 8 rakaat hanyalah kita dapati di beberapa mushalla yang ternyata jauh dari ulama. Kami menghimbau marilah kita bersama-sama mengkaji al-Quran dan as-Sunnah sekali lagi.
c) Pelaksanaan Shalat Tarawih
Shalat Tarawih dilakukan sekali salam setiap dua rakaat. Jadi untuk 20 rakaat itu dilakukan 10 salam. Hal ini berdasarkan hadits:
صَلاَةُ الَّليْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat sunnah di malam hari adalah dua-dua.” (HR. Bukhari dari Abdullah bin Umar Ra.).
Apabila dilakukan dengan sekali salam dalam setiap 4 rakaat, maka:
1. Ulama Hanafiyah menyatakan hanya dihitung dengan dua rakaat saja untuk 4 rakaat yang dilakukan dengan sekali salam itu.
2. Ulama Hambaliyah menyatakan Tarawih tetap sah tetapi makruh.
3. Ulama Malikiyah menyatakan sah tetapi makruh.
4. Ulama Syafi’iyah menyatakan tidak sah, Tarawih harus dilakukan dengan sekali salam setiap dua rakaat.
Oleh karena itu demi menjaga persatuan umat hendaklah kita melakukan Tarawih dua-dua. Sebab cara inilah yang jelas disepakati oleh semua ulama serta dilakukan sejak dahulu sampai sekarang. (Diedit ulang dari tulisan KH. Ali Ma’shum Krapyak dalam Dirasah Diniyah “BANGKIT”).
http://www.muslimedianews.com/2014/06/kh-ali-mashum-krapyak-mengulas-seputar.html
http://pustakamuhibbin.blogspot.com/2014/06/bulan-suci-ramadhan.html
Sya'roni As-Samfuriy, Cikarang 19 Juni 2014