Minggu, 15 Februari 2015

ROSUL TIDUR DI TIKAR

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
: «يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أَلَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَنَا الْآخِرَةُ وَلَهُمُ الدُّنْيَا؟»، قُلْتُ: بَلَى

Sahabat Umar bin al Khatthab mengisahkan: suatu hari aku berkunjung ke rumah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Aku dapatkan beliau sedang berebah di atas sehelai tikar.
Aku segera duduk bersimpuh di dekat beliau, dan beliaupun segera membenahi sarungnya yang hanya satu-satunya. Aku dapatkan tikar yang beliau gunakan telah membekas di punggung beliau.
Aku mengamati almari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan ternyata aku mendapatkan di sana hanya tersimpan sedikit gandum kira kira satu sha' ( sekitar 2,5 Kg), bahan-bahan untuk menyamak kulit, dan sehelai kulit hewan yang tergantung. Tanpa aku sadari kedua mataku telah berlinang air mata.
Melihat aku menangis, Rasulullah bertanya kepadaku: wahai putra Al Khatthab, apa yang menjadikanmu menangis?
Aku menjawab: wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis, tikar ini telah meninggalkan bekas di punggungmu, dan ini almarimu tidak menyimpan apapun kecuali yang aku lihat ini, padahal engkau adalah Utusan dan hamba pilihan Allah. Di sisi lain Kaesar Romawi, dan Persia bergelimang dalam taman yang penuh dengan buah dan sungai. Wahai Rasulullah, lihatlah ke arah almarimu.
Mendengar ucapan sahabatnya ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
: «يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أَلَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَنَا الْآخِرَةُ وَلَهُمُ الدُّنْيَا؟»، قُلْتُ: بَلَى
Wahai Ibnul Khattab, tidakkah engkau rela bila kita mendapatkan kebahagiaan di akhirat, sedangkan mereka hanya mendapatkan kehidupan dunia?
Sahabat Umar menjawab: Tentu aku rela. ( Muslim)

Jujur Yang Berdosa

Pada asalnya, kejujuran itu sangat terpuji dalam syari’at. Allah ta’ala telah menjelaskan bahwa kejujuran itu merupakan sifat orang yang beriman. إِنّمَا الْمُؤْمِنُونَ الّذِينَ آمَنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ ثُمّ لَمْ يَرْتَابُواْ وَجَاهَدُواْ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أُوْلَـَئِكَ هُمُ الصّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu; dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar” [QS. Al-Hujuraat : 15].
Tidaklah kejujuran itu akan membawa pelakunya kecuali kepada surga. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عليكم بالصدق فإن الصدق يهدى إلى البر وإن البر يهدى إلى الجنة وما يزال الرجل يصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا وإياكم والكذب فإن الكذب يهدى إلى الفجور وإن الفجور يهدى إلى النار وما يزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا
“Berpegangteguhlah pada kejujuran karena kejujuran membawa kebaikan dan kebaikan itu membawa kepada surga. Dan sesungguhnya seseorang senantiasa berbuat jujur dan memilih kejujuran hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan hati-hatilah kamu terhadap kedustaan karena kedustaan membawa kejahatan dan kejahatan itu membawa kepada neraka. Dan sesungguhnya seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta“ [HR. Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607].
Akan tetapi, ada beberapa hal yang dikecualikan dimana orang yang jujur malah tidak mendapat sanjungan sebagaimana di atas. Apakah itu ? Berikut penjelasannya……
Ghibah
Ghibah atau menggunjing (ngrumpi, nggosip) merupakan perkataan jujur yang tercela dan merupakan khianat terhadap aib-aib kaum muslimin yang seharusnya ditutupi. Allah ta’ala berfirman :
وَلاَ يَغْتَب بّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوه
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya “ [QS. Al-Hujuraat : 12].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أتدرون ما الغيبة قالوا الله ورسوله أعلم قال ذكرك أخاك بما يكره قيل فرأيت إن كان في أخي ما أقول قال إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه فقد بهته
“Apakah kalian tahu apa ghibah itu ?” Para shahabat menjawab : ”Allah dan Rasul-Nya lebih tahu”. Beliau bersabda : ”Jika kamu menyebut saudaramu tentang apa yang ia benci, maka kamu telah melakukan ghibah”. Beliau ditanya : ”Bagaimana jika sesuatu yang aku katakan ada pada saudaraku?” Beliau menjawab : ”Bila sesuatu yang kamu bicarakan ada padanya maka kamu telah melakukan ghibah, dan apabila yang kamu bicarakan tidak ada maka kamu telah membuat kebohongan atasnya “ [HR. Muslim no. 2589, Abu Dawud no. 4874, At-Tirmidzi no. 1934, Ahmad 2/230, Ad-Darimi no. 2717, dan yang lainnya].
Ghibah itu hukumnya haram, baik sedikit ataupun banyak.
عن عائشة قالت : قلت للنبي صلى الله عليه وسلم حسبك من صفية كذا وكذا قال غير مسدد تعني قصيرة فقال لقد قلت كلمة لو مزجت بماء البحر لمزجته
Dari ’Aisyah ia berkata : ”Aku pernah berkata kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : ‘Cukuplah Shafiyyah itu begini dan begitu’. Salah seorang perawi berkata bahwa yang dimaksud ‘Aisyah adalah Shafiyyah itu pendek badannya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sungguh engkau telah mengucapkan suatu perkataan yang seandainya dicelupkan ke dalam air laut niscaya akan berubah warnanya” [HR. Abu Dawud no. 4875, At-Tirmidzi no. 2502, Ahmad 6/128, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Atsar no. 1080; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/196].
عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لما عرج بي مررت بقوم لهم أظفار من نحاس يخمشون وجوههم وصدورهم فقلت من هؤلاء يا جبريل قال هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس ويقعون في أعراضهم
Dari Anas bin Malik ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : “Ketika aku sedang dimi’rajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang sedang mencakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya : ‘Siapakah mereka wahai Jibril ?’. Jibril menjawab : ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia dan mencela kehormatannya” [HR. Abu Dawud no. 4878 dan Ahmad 3/224; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/197 dan Ash-Shahiihah no. 533].
Ibnu Katsir menjelaskan :
والغيبة محرمة بالإجماع, ولا يستثنى من ذلك إلا من رجحت مصلحته, كما في الجرح والتعديل والنصيحة كقوله صلى الله عليه وسلم, لما استأذن عليه ذلك الرجل الفاجر: «ائذنوا له بئس أخو العشيرة!» وكقوله صلى الله عليه وسلم لفاطمة بنت قيس رضي الله عنها, وقد خطبها معاوية وأبو الجهم: «أما معاوية فصعلوك, وأما أبو الجهم فلا يضع عصاه عن عاتقه» وكذا ما جرى مجرى ذلك, ثم بقيتها على الترحيم الشديد
“Menurut kesepakatan, ghibah merupakan perbuatan yang diharamkan, dan tidak ada pengecualian dalam hal ini kecuali jika terdapat kemaslahatan yang lebih kuat, seperti misal dalam al-jarh wat-ta’dil dan nasihat. Hal itu sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika ada seorang jahat yang meminta ijin kepada beliau : ‘Berikanlah oleh kalian ijin kepadanya, ia adalah seburuk-buruk saudara dalam keluarga’. Dan juga seperti sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais radliyallaahu ‘anhaa ketika dilamar oleh Mu'awiyyah dan Abul-Jahm : ‘Adapun Mu’awiyyah adalah seorang yang tidak emmpunyai harta. Sedangkan Abul-Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (ringan tangan)’. Demikianlah yang memang terjadi dan berlangsung. Kemudian selain dari hal yang di atas, maka hukumnya haram, yang karenanya pelakunya diberikan ancaman keras” [Tafsir Ibnu Katsir hal. 517 – Free Program from http://www.islamspirit.com/].
Jumhur ‘ulamaa menjelaskan bahwa ghibah itu termasuk dosa besar. Dalil yang menjadi sandaran tentang hal tersebut adalah :
عن سعيد بن زيد عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : إن من أربى الربا الاستطالة في عرض المسلم بغير حق
Dari Sa’id bin Zaid dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, beliau bersabda : “Sesungguhnya termasuk dari riba yang paling berat adalah terus-menerus melanggar kehormatan seorang muslim tanpa alasan yang benar” [HR. Abu Dawud no. 4876 dan Al-Baihaqi 10/241; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/197].
Bagaimana cara bertaubat dari ghibah ?
Ibnu Katsir menjelaskan :
قال الجمهور من العلماء: طريق المغتاب للناس في توبته أن يقلع عن ذلك ويعزم على أن لا يعود, وهل يشترط الندم على ما فات ؟ فيه نزاع, وأن يتحلل من الذي اغتابه. وقال آخرون: لا يشترط أن يتحلله فإنه إذا أعلمه بذلك ربما تأذى أشد مما إذا لم يعلم بما كان منه فطريقه إذاً أن يثني عليه بما فيه في المجالس التي كان يذمه فيها, وأن يرد عنه الغيبة بحسبه وطاقته, لتكون تلك بتلك
“Jumhur ulama mengatakan : ‘Jalan yang harus ditempuh orang yang berbuat ghibah adalah dengan melepaskan diri darinya dan berkemauan keras untuk tidak mengulanginya kembali’. Apakah dalam taubat itu disyaratkan adanya penyesalan atas segala yang telah berlalu dan meminta maaf kepada orang yang telah dighibahinya itu ? Mengenai hal ini, terdapat perbedaan pendapat. Ada ulama yang mensyaratkan agar meminta penghalalan (maaf) kepada orang yang dighibah. Ada yang berpendapat, tidak disyaratkan baginya meminta maaf kepadanya. Karena jika ia memberitahukan apa yang telah dighibahkannya itu kepadanya, barangkali ia akan merasa lebih sakit daripada jika ia tidak diberitahu. Dengan demikian, cara yang harus ia tempuh adalah memberi sanjungan kepada orang yang telah dighibahnya itu di tempat-tempat dimana ia telah mencelanya. Selanjutnya ia menghindari ghibah orang lain atas orang itu sesuai dengan kemampuannya. Sehingga ghibah itu dibayar dengan pujian” [Tafsir Ibnu Katsir, hal. 517 – Free Program from http://www.islamspirit.com/].
Pendapat kedua lah yang lebih dekat dengan kebenaran. Ibnul-Qayyim menjelaskan secara lebih detail :
يذكر عن النبي صلى الله عليه وسلم أن كفارة الغيبة أن تستغفر لمن اغتبته، تقول : ((اللهم اغفر لنا وله)). ذكره البيهقي في كتاب ((الدعوات الكبير))، وقال : في إسناده ضعف.
وهذه مسألة فيها قولان للعلماء - هما روايتان عن الإمام أحمد - ، وهما : هل يكفي في التوبة من الغيبة الاستغفار للمغتاب، أم لابد من أعلامه وتحلله؟
والصحيح أنه لا يحتاج إلى إعلامه، بل يكفيه الاستغفار له، وذكره بمحاسن ما فيه في المواطن التي اغتابه فيها.وهذا اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية، وغيره.
والذين قالوا : لابد من إعلامه؛ جعلوا الغيبة كالحقوق المالية، والفرق بينهما ظاهر، فإن في الحقوق المالية ينتفع المظلوم بعود نظير مظلمته إليه، فإن شاء أخذها، وإن شاء تصدق بها.
وأما في الغيبة، فلا يمكن ذلك، ولا يحصل له بإعلامه إلا عكس مقصود الشارع، فإنه يوغر صدره ويؤذيه إذا سمع ما رُمِيَ به، ولعله يُنْتِجُ عداوته، ولا وصفو له أبداً، وما كان هذا سبيله فإن الشارع الحكيم لا يبيحه ولا يُجَوِّزُه، فضلاً عن أن يوجبه ويأمر به، ومدار الشرعية على تعطيل المفاسد وتقليلها، لا على تحصيلها وتكميلها، والله أعلم
”Disebutkan dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bahwa kaffarah (tebusan) perbuatan ghibah adalah dengan memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang yang dighibahi dengan mengatakan : ”Ya Allah, ampunilah kami dan dia”. Ini disebutkan oleh Al-Baihaqi dalam Ad-Da’awaat Al-Kabiir dan ia mengatakan dalam sanadnya terdapat kelemahan.
Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini, keduanya merupakan riwayat dari Al-Imam Ahmad, yaitu : Apakah sudah mencukupi bertaubat dari perbuatan ghibah hanya dengan memohonkan ampunan untuk orang yang dighibahi ? Ataukah harus memberitahukannya dan minta dihalalkan ?
Yang benar, bahwasannya tidak perlu memberitahukannya, akan tetapi cukup baginya memohonkan ampunan serta menyebutkan kebaikan-kebaikan yang ada padanya di tempat-tempat dimana ia telah membicarakan (meng-ghibah) orang tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dan yang lainnya.
Adapun orang yang mengharuskan untuk memberitahukannya, mereka menganggap bahwa ghibah itu seperti hak-hak harta. Sedangkan perbedaan keduanya sangat jelas, karena dalam kasus hak harta, yang terdhalimi akan mendapatkan manfaat dengan dikembalikannya semisal kedhalimannya. Maka jika ia menghendaki boleh diambilnya, atau dia shadaqahkan harta tersebut jika ia mau.
Adapun dalam kasus ghibah, maka hal itu tidak memungkinkan, dan tidak akan ia peroleh melalui keterangannya itu kecuali kebalikan dari yang dimaksud oleh Pembuat syari’at, karena hal itu justru membuat dadanya panas, dan menyakitinya jika ia mendengar apa yang dighibahkan tentang dirinya, dan mungkin sekali itu akan membangkitkan rasa permusuhan serta tidak menjernihkan permasalahan selama-lamanya. Dan apapun yang seperti ini jalannya, maka Pembuat syari’at yang bijaksana tidaklah memperkenankannya dan tidak mengijinkannya, lebih-lebih mewajibkan apalagi memerintahkannya. Adapun poros beredarnya syari’at ini adalah menghilangkan kerusakan (yang ada) dan meminimalkannya, bukan untuk menimbulkan kerusakan (yang baru) atau (bahkan) menyempurnakannya. Allahu a’lam” [selesai perkataan Ibnul-Qayyim – Al-Waabilush-Shayyib wa Raafi’ul-Kalimith-Thayyib, hal. 389-390, tahqiq : ’Abdurrahman bin Hasan bin Qaaid, isyraf : Bakr Abu Zaid; Daar ’Aalamil-Fawaaid].
Namimah (mengadu domba)
Namimah lebih tercela dan lebih buruk daripada ghibah. Disamping itu merupakan pengkhianatan dan kehinaan yang kemudian berakhir dengan percekcokan, pemutusan silaturahim, dan kebencian di antara teman. Allah ta’ala telah mencela orang yang berperangai seperti ini dengan firman-Nya :
وَلا تُطِعْ كُلَّ حَلافٍ مَهِينٍ * هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ * مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ
”Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa” [QS. Al-Qalam : 10-12].
Ibnu Katsir menjelaskan :
{مشاء بنميم} يعني الذي يمشي بين الناس ويحرش بينهم وينقل الحديث لفساد ذات البين وهي الحالقة, وقد ثبت في الصحيحين من حديث مجاهد عن طاوس عن ابن عباس قال: مر رسول الله صلى الله عليه وسلم بقبرين فقال «إنهما ليعذبان وما يعذبان في كبير, أما أحدهما فكان لا يستتر من البول, وأما الاَخر فكان يمشي بالنميمة» الحديث.
”Firman-Nya : { مشاء بنميم} ”yang kian kemari menghambur fitnah” ; yaitu : yang berjalan di tengah-tengah umat manusia seraya memprovokasi mereka serta menyebarluaskan pembicaraan untuk mengaburkan yang sudah jelas. Dan telah ditegaskan dalam Ash-Shahihain, dari hadits Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu ’Abbas ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda : ’Kedua orang (yang berada di kuburan ini) sedang disiksa. Keduanya tidak disiksa karena dosa besar (sebagaimana disangka orang, padahal ia merupakan dosa besar – Abul-Jauzaa’). Adapun salah satunya, (mereka disiksa) karena tidak menutup diri saat buang air, sedangkan yang lain (disiksa) karena suka mengadu domba (namimah)’. Al-Hadits” [Tafsir Ibnu Katsir, hal. 564 - Free Program from http://www.islamspirit.com/].
Tidak disangsikan lagi bahwa namimah termasuk salah satu jenis dosa besar. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang namimah dengan sabdanya :
لا يدخل الجنة نمام
“Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba” [HR. Al-Bukhari no. 6056 dan Muslim no. 105].
Orang yang mengadu domba adalah makhluk yang paling buruk di sisi Allah, penghuni neraka jahannam dan bila tidak bertaubat akan menjadi hamba yang terhina di dunia dan putus asa dari rahmat Allah di akhirat.
Asy-Syaikh ’Abdurrahman bin Hasan berkata ketika menjelaskan bahaya dan dampak namimah :
وذكر ابن عبد البر عن يحيى بن أبي كثير قال : يفسد النمام والكذاب في ساعة ما لا يفسد الساحر في سنة . وقال أبو الخطاب في عيون المسائل : ومن السحر السعي بالنميمة والإفساد بين الناس . قال في الفروع : ووجهه أن يقصد الأذى بكلامه وعمله على وجه المكر والحيلة ، أشبه السحر ، وهذا يعرف بالعرف والعادة أنه يؤثر وينتج ما يعمله السحر ، أو أكثر فيعطى حكمه تسوية بين المتماثلين أو المتقاربين . لكن يقال : الساحر إنما يكفر لوصف السحر وهو أمر خاص ودليله خاص ، وهذا ليس بساحر . وإنما يؤثر عمله ما يؤثره فيعطي حكمه إلا فيما اختص به من الكفر وعدم قبول التوبة . انتهى ملخصاً .
وبه يظهر مطابقة الحديث للترجمة . وهو يدل على تحريم النميمة ، وهو مجمع عليه قال ابن حزم رحمه الله : اتفقوا على تحريم الغيبة والنميمة في غير النصيحة الواجبة . وفيه دليل على أنها من الكبائر .
”Ibnu ’Abdil-Barr menyebutkan dari Yahya bin Abi Katsir, dia berkata : ”Para pengadu domba dan pendusta membuat kerusakan dalam satu saat yang tidak dapat dicapai oleh tukang sihir selama setahun”. Abul-Khaththab berkata dalam kitab ’Uyuunul-Masaaail : ”Termasuk sihir adalah berkeliling dengan namimah dan berbuat kerusakan di antara manusia”. Ia juga berkata dalam kitab Al-Furu’ : ”Ini permasalahannya adalah, bahwa orang itu bermaksud menyakiti dengan ucapannya dan perbuatannya dengan cara makar dan tipu muslihat, dan itu menyerupai sihir. Ini dapat diketahui secara adat kebiasaan, bahwa perbuatan itu berpengaruh dan membuahkan sesuatu serupa dengan apa yang dihasilkan oleh sihir, atau bahkan lebih banyak. Maka hukumnya pun serupa dengan sihir, karena di antara keduanya terdapat kesamaan yang saling berdekatan”. Akan tetapi dikatakan bahwa tukang sihir adalah kafir karena kriteria sihirnya. Ia adalah sesuatu yang khusus dan dalil yang dimilikinya pun khusus; sedangkan yang ini (yaitu namimah) tidak seperti pelaku sihir. Akan tetapi keduanya ada kesamaan dalam pengaruh. Maka hukum keduanya pun harus disamakan, kecuali dalam kekafiran yang khusus pada sihir dan tidak diterimanya taubat. Selesai dengan peringkasan.
Dengan ini jelaslah relevansi hadits ini dengan bab di atas, dan hadits itu menunjukkan haramnya namimah. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama. Ibnu Hazm rahimahullah berkata : “Mereka sepakat atas haramnya ghibah dan namimah di luar nasihat yang wajib. Hal ini juga menunjukkan bahwa namimah termasuk perbuatan dosa besar” [selesai perkataan Asy-Syaikh ’Abdurrahman bin Hasan – Fathul-Majid, hal 283; ta’liq : Ibnu Baaz; Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, Cairo].
Para ulama berbeda pendapat tentang ghibah dan namimah; apakah keduanya sama atau berbeda ?
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata :
وأن بينهما عموما وخصوصا وجهيا وذلك لأن النميمة نقل حال الشخص لغيره على جهة الإفساد بغير رضاه سواء كان بعلمه أم بغير علمه والغيبة ذكره في غيبته بما لا يرضيه فامتازت النميمة بقصد الافساد ولا يشترط ذلك في الغيبة وامتازت الغيبة بكونها في غيبة المقول فيه واشتركتا فيما عدا ذلك ومن العلماء من يشترط في الغيبة أن يكون المقول فيه غائبا والله أعلم
”Bahwasannya di antara keduanya terdapat perbedaan, dan di antara keduanya terdapat sisi keumuman dan kekhususan. Karena namimah adalah menukil keadaan seseorang untuk disampaikan kepada yang lain dengan tujuan membuat kerusakan tanpa keridlaannya, baik ia tahu atau tidak tahu. Sedangkan ghibah adalah menyebut tentang seseorang tanpa kehadiran orang yang disebut dengan sesuatu yang tidak diridlainya. Maka namimah itu terbedakan dengan adanya tujuan untuk merusak, dan ini tidak disyaratkan dalam ghibah. Dan ghibah sendiri terbedakan dengan ketidakhadiran orang yang dibicarakan. Keduanya memiliki sisi kesamaan dalam hal yang selain itu. Di antara ulama ada yang mensyaratkan tentang ghibah, keharusan orang yang dibicarakan tidak ada di tempat. Wallaahu a’lam” [Fathul-Bari, 10/473; Daarul-Ma’rifah, Beirut].
Menyebarkan Rahasia
Menyebarkan rahasia adalah satu kejujuran yang sangat tercela dan merupakan bukti pengkhianatan dari pelakunya. Ia merupakan satu sikap khianat terhadap amanah. Allah ta’ala telah mengabadikan satu contoh dalam Al-Qur’an :
وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ
”Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" [QS. At-Tahrim : 3].
Ayat di atas berisi terkandung satu teguran bagi Ummul-Mukminin Hafshah binti ’Umar bin Al-Khaththab ketika ia membocorkan rahasia Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang seharusnya ia simpan. Ia melakukannya karena rasa cemburu dengan madunya (istri beliau shallallaahu ’alaihi wasallam yang lain). Setelah mendapat teguran dari Allah dan Rasul-Nya melalui ayat tersebut, maka ia adalah salah satu wanita yang paling cepat sadar akan kesalahannya, bertaubat, dan kembali kepada kebenaran.
Para ulama berbeda pendapat mengenai ”rahasia” yang dimaksud dalam ayat. Ada dua pendapat masyhur dalam hal ini :
Pertama, maksudnya adalah pengharaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam terhadap madu.
عن عبيد بن عمير قال سمعت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم كان يمكث عند زينب ابنة جحش، ويثرب عندها عسلا فتواصيت أنا وحفصة أن أيتنا دخل عليها النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم فلتقل: إني لأجد منك ريح مغافير، أكلت مغافير. فدخل على إحداهما فقالت له ذلك، فقال: "لا بأس شربت عسلا عند زينب ابنة جحش ولن أعود له". فنزلت {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ} إلى {تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ} لعائشة وحفصة {وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا} لقوله بل شربت عسلا.
Dari ’Ubaid bin ’Umair berkata : Aku mendengar ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wa ’alaa aalihi wasallam tinggal di tempat Zainab binti Jahsy dan beliau meminum madu di sana. Maka aku dan Hafshah bersepakat bahwa siapa saja di antara kami yang Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam masuk kepadanya, hendaknya ia berkata : ”Sesungguhnya aku mencium bau maghaafir (sesuatu yang kurang sedap baunya)”. Lalu Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam masuk kepada salah satu dari keduanya, ia pun mengatakan hal itu kepada Nabi. Beliau menjawab : ”Tidak mengapa, aku telah minum madu di tempat Zainab binti Jahsy. Aku tidak akan meminumnya lagi”. Maka turunlah ayat : ”Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu” sampai pada ayat : ”Jika kamu berdua bertobat kepada Allah” (QS. At-Tahrim : 1 - 4) – dimana ayat ini turun kepada ’Aisyah dan Hafshah. Adapun ayat : ”Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa” – turun karena perkataan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Akan tetapi aku meminum madu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari 11/293 – dinukil melalui perantaraan Ash-Shahiihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul karya Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, hal. 217; Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 4/1408, Cairo].
Kedua, maksudnya pengharaman terhadap Mariyyah Al-Qibthiyyah. Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya menyebut riwayat sebagai berikut :
عن ابن عباس قال: قلت لعمر بن الخطاب: من المرأتان ؟ قال: عائشة وحفصة. وكان بدء الحديث في شأن أم إبراهيم مارية القبطية أصابها النبي صلى الله عليه وسلم في بيت حفصة في نوبتها, فوجدت حفصة: فقالت: يا نبي الله لقد جئت إليّ شيئاً ما جئت إلى أحد من أزواجك في يومي وفي دوري وعلى فراشي قال: «ألا ترضين أن أحرمها فلا أقربها» قالت: بلى فحرمها وقال لها «لا تذكري ذلك لأحد»
Dari Ibnu ’Abbas ia berkata : Aku bertanya kepada ’Umar bin Al-Khaththab : ’Siapa dua wanita yang dimaksudkan dalam ayat ?’. Ia menjawab : ’Aisyah dan Hafshah’. Kejadian itu terjadi berkaitan dengan perkara Ummu Ibrahim Mariyah Al-Qibthiyyah yang digauli Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam di rumah Hafshah, sedangkan hari itu merupakan hari giliran Hafshah. Dan ternyata Hafshah pun melihatnya. Maka ia pun berkata : ”Wahai Nabi Allah, sungguh engkau telah mendatangkan kepadaku sesuatu yang tidak pernah engkau datangkan kepada seorang pun dari para istrimu, di hari (giliran)-ku dan di atas tempat tidurku”. Lalu beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Tidakkah engkau ridlai, kalau aku haramkan dia dan aku berjanji untuk tidak mendekatinya lagi”. Hafshah berkata : ”Tentu”. Kemudian beliau shallallaahu ’alaihi wasallam mengharamkannya (yaitu mengharamkan Mariyyah Al-Qibthiyyah untuk diri beliau). Dan beliau berkata kepada Hafshah : ”Janganlah engkau ceritakan hal ini kepada siapapun” [Tafsir Ibnu Katsir hal. 560 - Free Program from http://www.islamspirit.com/. Lihat pula beberapa riwayat yang terkait asbaabun-nuzuul ayat dalam kitab Ash-Shahiihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul, hal. 217-218].
Ada beberapa hadits yang menunjukkan bahwa para shahabat adalah orang yang sangat menjaga rahasia :
عن أنس قال أتى علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا العب مع الغلمان قال فسلم علينا فبعثني إلى حاجة فأبطأت على أمي فلما جئت قالت ما حبسك قلت بعثني رسول الله صلى الله عليه وسلم لحاجة قالت ما حاجته قلت انها سر قالت لا تحدثن بسر رسول الله صلى الله عليه وسلم أحدا قال أنس والله لو حدثت به أحدا لحدثتك يا ثابت
Dari Anas ia berkata : Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mendatangiku ketika itu aku sedang bermain-main bersama beberapa orang anak laki-laki, kemudian beliau memberi salam kepada kami. Lalu beliau menyuruhku untuk satu keperluan hingga aku terlambat pulang ke rumah. Dan ketika aku pulang menemui ibuku, ia bertanya : ”Apa yang menyebabkan engkau pulang terlambat ?”. Maka aku pun menjawab : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menyuruhku untuk satu keperluan”. Ia bertanya : ”Apa Apa keperluannya ?”. Aku menjawab : ”Ini rahasia”. Ibuku pun berkata : ”Jangan sekali-kali engkau ceritakan rahasia Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam kepada seorangpun”. Anas berkata : ”Demi Allah, seandainya aku menceritakannya kepada seseorang, niscaya aku menceritakannya kepadamu wahai Tsabit !” [HR. Al-Bukhari no. 6289 dan Muslim no. 2482].
Namun, ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa sebagian shahabat menyebutkan satu rahasia dari beliau setelah beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat. Diantaranya :
عن أنس بن مالك أن النبي صلى الله عليه وسلم ومعاذ رديفه على الرحل قال يا معاذ بن جبل قال لبيك يا رسول الله وسعديك قال يا معاذ قال لبيك يا رسول الله وسعديك ثلاثا قال ما من أحد يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله صدقا من قلبه إلا حرمه الله على النار قال يا رسول الله أفلا أخبر به الناس فيستبشروا قال إذا يتكلوا وأخبر بها معاذ عند موته تأثما
Dari Anas bin Malik : Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda kepada Mu’adz ketika ia dibonceng oleh beliau di atas kendaraan : ”Wahai Mu’adz !”. Mu’adz berkata : ”Labbaika ya Rasulallah wa sa’daika!”. Beliau berkata lagi : ”Wahai Mu’adz !”. Mu’adz berkata : ”Labbaika ya Rasulallah wa sa’daika!”. Setelah tiga kali, beliau shallallaahu ’alaihi wasallam melanjutkan : ”Barangsiapa yang bersaksi dengan tulus sepenuh hati bahwa tidak ada tuhan yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah dan Muhammad utusan Allah, maka Allah akan mengharamkannya dari api neraka”. Mu’adz bertanya : ”Wahai Rasulullah, bolehkah saya beritahukan hal ini kepada manusia agar mereka merasa gembira ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”(Apabila engkau beritahukan hal ini kepada mereka), niscaya akan menyandarkan diri (pada hal ini saja)”. Maka Mu’adz menyampaikan hadits ini menjelang kematiannya karena takut berdoa (jika tidak disampaikan)” [HR. Al-Bukhari no. 128 dan Muslim no. 30].
Al-Hafidh Ibnu Hajar memberikan satu penjelasan yang sangat bagus dalam mengkompromikan dua hal tersebut, yaitu ketika beliau mengomentari hadits Anas (Shahih Al-Bukhari no. 6289) :
قال بعض العلماء : كأن هذا السر كان يختص بنساء النبي صلى الله عليه وسلم وإلا فلو كان من العلم ما وسع أنسا كتمانه. وقال بن بطال الذي عليه أهل العلم أن السر لا يباح به إذا كان على صاحبه منه مضرة وأكثرهم يقول انه إذا مات لا يلزم من كتمانه ما كان يلزم في حياته إلا أن يكون عليه فيه غضاضة قلت الذي يظهر انقسام ذلك بعد الموت إلى ما يباح وقد يستحب ذكره ولو كرهه صاحب السر كأن يكون فيه تزكية له من كرامة أو منقبة أو نحو ذلك وإلى ما يكره مطلقا وقد يحرم وهو الذي أشار إليه بن بطال وقد يجب كأن يكون فيه ما يجب ذكره كحق عليه كان يعذر بترك القيام به فيرجى بعده إذا ذكر لمن يقوم به عنه ان يفعل ذلك
”Sebagian ulama mengatakan : ’Sepertinya rahasia itu khusus berkaitan dengan istri-istri Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam. Kalau tidak, andaikan itu tentang ilmu, tidak pantas bagi Anas untuk menyembunyikannya’. Ibnu Baththal mengatakan : ’Yang dipegangi oleh ahli ilmu adalah bahwa menceritakan rahasia itu tidak diperbolehkan jika menimbulkan kemudlaratan bagi orangnya. Mayoritas mereka mengatakan : Apabila dia telah meninggal, maka tidak harus menyembunyikannya sebagaimana keharusan menyembunyikan ketika masih hidup, kecuali jika rahasia itu di dalamnya ada perkara-perkara yang mengandung kerendahan’. Aku (Ibnu Hajar) katakan : Yang lebih jelas (dan tepat) adalah memperinci perkara tersebut, yaitu :
1. Perkara yang diperbolehkan dan terkadang disukai penyebutannya walaupun si pemilik rahasia tidak menyukainya. Seperti misal, jika rahasia itu mengandung pujian kepadanya karena kemuliaan atau perbuatannya baik atau yang semisal dengan itu.
2. Perkara yang dibenci secara mutlak dan mungkin diharamkan, dan inilah yang diisyaratkan oleh Ibnu Baththal.
3. Bahkan bisa jadi diwajibkan apabila dalam rahasia itu ada sesuatu yang wajib disebutkan. Misalnya hak yang harus dipenuhinya, tetapi ia terhalang (dengan sesuatu) sehingga tidak menunaikannya. Kemudian setelah ia meninggal, ada orang yang mau menunaikan hak itu apabila rahasia itu diceritakan” [Fathul-Bari, 11/82].
Jadi, jika rahasia itu mengandung satu pujian, kebaikan, ilmu, atau hak yang harus ditunaikan; maka boleh – dan bahkan bisa menjadi wajib – untuk disampaikan setelah meninggalnya si pemilik rahasia. Namun jika rahasia itu berkaitan dengan aib, hubungan pribadi suami istri, atau hal-hal yang rendah yang tidak membawa maslahat jika disampaikan – atau bahkan membawa kemudlaratan - , maka rahasia tersebut tidak boleh untuk disampaikan. Wallaahu a’lam.
Demikianlah sedikit uraian yang membahas kejujuran dari ”sisi yang lain”. Semoga ada manfaatnya. Segala ilmu dan kebaikan hanyalah berasal dari Allah ’azza wa jalla.

Wanita Dalam Sejarah Hidup Nabi Musa

Kita kembali ke ribuan tahun ke belakang, membuka lembaran sejarah mereka yang sepanjang zaman jadi teladan. Kita ingin belajar dari sejarah, bukan hanya belajar sejarah. Kita ingin mengambil fakta dari sejarah bukan hanya mengumpulkan data. Kita tak ingin salah melangkah ke depan, dan itulah salah satu fungsi sejarah, belajar dari kekhilafan lalu agar tak salah melangkah di masa depan, atau belajar dari kegemilangannya agar lulus sebagai pemenang. Tidak syak lagi, kalau wanita, selalu dan selamanya memiliki peran penting dalam peradaban setiap bangsa atau ummat. Tidak berlebihan kiranya jika ada sebagian orang yang mengatakan bahwa wanita adalah “Tiang Negara”, tidak berlebihan pula jika sebagian yang lain mengatakan wanita sebagai “Madrasah pertama bagi anak-anaknya”, dan seterusnya-dan seterusnya berbagai ungkapan dilontarkan tentang wanita.

Sejarah tak luput mencatat, bagaimana Musa dan para wanita yang berjasa dalam hidupnya. Musa AS dilahirkan saat kondisi sedang pelik. Rasa takut firaun akan tahtanya membuatnya bertindak tiran dan sewenang-wenang di muka bumi. Setiap bayi laki-laki yang lahir ke dunia patut di sembelih, adapun bayi perempuan dibiarkannya hidup.

Sosok pertama seorang wanita dalam hidup Musa adalah Ibu nya. Lihatlah bagaimana keadaannya tatkala Musa lahir ke dunia? Sang Ibu bimbang hatinya, apa yang harus dilakukan, sedangkan firaun dan bala tentaranya pasti akan segera menjamah dan merampas setiap anak lelaki dari tangan ibu-ibu mereka.
Saat sang ibu mendekap erat Musa kecil dalam pangkuannya, dan bimbang semakin menjadi-jadi, maka Allah sudah merencanakan sesuatu untuk Musa. Tiba-tiba, sang ibu jadi bulat tekadnya untuk menghanyutkan sang buah hati ke sungai dengan memasukannya ke dalam wadah, kemudian menitipkannya kepada laju arus sungai.

Sesaat setelah Musa di biarkan mengambang bersama arus sungai, sang ibu hatinya menjadi kosong, penuh rasa penyesalan. Kenapa dia percaya kepada suara hati nya yang muncul begitu saja itu? Bukankah membiarkannya mengambang di sungai jauh lebih bahaya ketimbang membiarkannya didekap? Boleh jadi ia tenggelam atau dimangsa buaya sungai yang buas! Hampir saja ibu Musa tak dapat menahan dirinya, hampir saja dia berteriak dan ingin mengatakan segala apa yang ada di hatinya yang boleh jadi semua rahasianya ‘kan terbongkar seketika, namun Allah meneguhkan hatinya, agar ia menjadi seorang mu’minah (yang percaya terhadap janji Allah).

“Ikutilah jejaknya!”(QS. Al-Qoshos:11) suruh Ibu Musa terhadap anak perempuannya (Saudari Musa). Ini dia, saudara perempuan Musa, wanita kedua dalam kisah hidup Musa. Dengan amanah, dia mengikuti jejak musa sampai penyusuran jejaknya itu akhirnya mengantarkan ia ke istana firaun, dan ia dapati saudara laki-lakinya tengah berada di pangkuan istri sang penguasa tiran, Firaun. Bagaimana bisa? Jawabannya hanya satu, sungai telah memainkan perannya dengan baik, sungai tidak khianat dengan suruhan Allah yang Maha berkuasa. Jika mau, boleh saja sungai menelan bayi mungil itu, namun ternyata Allah telah menyuruhnya dengan tugas khusus, yaitu mengantar bayi kecil ke sisi wanita mu’minah lainnya (Istri Firaun).
Istri Firaun, wanita ketiga dalam hidup Musa, telah memainkan perannya, Allah menakdirnya ‘tuk menjadi penyelamat Musa kecil ketika kilatan pedang hampir saja memutus lehernya. Istri firaun berkata “Jadikanlah ia sebagai buah hatiku dan dirimu! Jangan lah engkau bunuh, mudah-mudahan anak ini kelak bisa bermanfaat bagi kita, kita jadikan saja sebagai anak…”. (QS. Al-Qoshos: 9)
“Mereka membuat makar, Allah pun membuat makar, dan Allahlah yang paling baik makarnya.” (Ali-Imron: 54). Firaun ingin agar kekuasaannya langgeng, dengan membunuh setiap bayi laki-laki dari masyarakat Bani Israil, sehingga populasi lelaki mereka berkurang dan dengan demikian kekuasaan akan tetap berada ditangannya. Firaun punya keinginan, tapi Allah punya kehendak lain. Apa yang ditakutinya berupa keruntuhan kekuasaan justru tak lama lagi akan terwujud, bayi kecil yang kini berada di bawah asuhan istrinya inilah yang kelak akan menjadi musuhnya.

Mulailah istri firaun mencarikan seseorang yang dapat menyusuinya. Tiap kali didatangkan seorang yang hendak menyusuinya, tiap itu pula Musa kecil dengan isyarat keengganannya menolak sang penyusu, sehingga kemudian saudari perempuan Musa yang menyaksikan peristiwa di istana megah firaun itu berkata “Mau kah ku tunjukkan kalian kepada seseorang yang dapat menyusuinya?”.(Al-Qoshos: 12)
Demikianlah akhirnya Allah mengembalikan musa ke haribaan ibunya, sehingga hati sang ibu kembali menjadi tenang. Hari-hari berlalu, Musa tumbuh di istana musuhnya sendiri, firaun, namun sang durhaka dan durjana firaun tidak menyadarinya kalau bahaya yang ditakutinya sebenarnya setiap hari selalu mengancam.
Kini Musa telah dewasa, Allah telah memberikan kepadanya pengetahuan dan hikmah. Allah pun telah punya rencana lain untuk Musa, hidupnya yang berkelimpahan di istana dan kenyamanan di dalamnya, sesaat dan sesaat lagi akan berubah total.

Pada suatu saat dalam sejarah hidupnya, Musa memasuki sebuah kota yang sedang lengang, tak nampak aktivitas penduduknya, kemudian ia mendapati di kota tersebut, dua orang tengah berselisih, yang satu dari kaumnya (Bani Israil) yang lainnya adalah anak buah firaun. Maka orang yang dari kaumnya itu meminta bantuan kepada Musa, seketika Musa memukul anak buah firaun hingga ia tergeletak tak berdaya bahkan berhenti detak jantungnya. Musa kaget bukan buatan atas apa yang telah dilakukannya, padahal tak ada maksud sedikit pun untuk membunuh orang tersebut.

“Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri, maka ampunilah diriku…”(Al-Qoshos:16) kata Musa bermunajat memohon ampun kepada Allah atas kesalahan yang telah diperbuatnya.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, Musa dihadapkan kembali pada persoalan yang sama, orang dari kaumnya yang kemarin berselisih meminta pertolongan kembali kepada musa, mengesalkan memang, karena selalu saja orang dari Bani Israel itu berbuat ulah sebagaimana cucu-cucunya saat ini. Musa berkata kepada orang dari kaumnya itu “Engkau sungguh orang yang nyata-nyata sesat”.(Al-Qoshos: 18)
Maka ketika Musa hendak memukul orang yang menjadi musuh mereka berdua, dia (musuhnya) berkata “Apakah engkau bermaksud membunuhku sebagaimana kemarin engkau membunuh seseorang? Engkau hanya bermaksud menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di Negeri ini (Mesir), dan engkau tidak bermaksud menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian”.(Al-Qoshos: 19) Musa menjadi terdiam ketika mendengar kata-katanya, marahnya terhadap pemuda yang hendak ia pukul ditahannya, hingga berlalu lah pemuda tersebut dari hadapannya.
Rupanya berita pembunuhan itu sudah menyebar ke seantero Mesir, Nama Musa dibicarakan dari mulut ke mulut, dan bahkan ternyata namanya sudah terdengar gaungnya di istana kerajaan firaun, karena beberapa saat setelah musa hendak memukul orang tadi, datanglah seorang laki-laki bergegas dari ujung kota seraya berkata “Wahai Musa! Sesungguhnya para pembesar Negeri sedang berunding tentang engkau untuk membunuhmu, maka keluarlah dari kota ini, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu”.(QS. Al-Qoshos: 20)

Keluarlah akhirnya musa dari kota tersebut (kota Memphis), tanpa bekal, dan tanpa seseorang yang menunjuki jalan, karena tuntutan tiba-tiba yang membuatnya tidak sempat mempersiapkan apapun. Langkah kakinya menyisir gurun, menapak jejak, akhirnya mengantarkan Musa ke sebuah negeri di antara negeri Syam (Irak, Iran,…) dan Hijaz, yaitu kota Madyan. Kita tidak tahu, seberapa lama musa berjalan, kita pun tidak tahu seberapa banyak bahaya yang mengancamnya selama perjalanan, Al-Quran menjelaskan cerita secara singkat, karena tujuan dari Kisah-kisah Al-Quran itu adalah Mengambil Ibrah atau pelajaran dan nasihat di balik kisah Nabi Musa ini, bukan sekadar hafalan data-data sejarah.

Mulailah satu fase kehidupan baru Bagi Musa, kehidupan yang berbeda 180 derajat dari kehidupan sebelumnya yang penuh dengan kemegahan Istana ayah angkatnya, Firaun. Sekarang, Musa ada di negeri Orang, Negeri Madyan. Matanya memandang jauh ke depan, dan ia dapati sekumpulan orang tengah berkerumun ‘tuk memberi minum ternak mereka. Tiba-tiba saja Musa mengarahkan perhatiannya pada dua orang perempuan yang berdiri jauh dari kumpulan orang tersebut, sembari menahan hewan ternak keduanya agar jangan melaju kearah desakan-desakan kerumunan tersebut.

Kemudian Musa mendekati keduanya sembari berkata “Apakah Maksud Kalian berdua dengan berbuat begitu?…”(QS. Al-Qoshos: 23), kedua perempuan itu menjawab “Kami tidak bisa memberi minum ternak-ternak kami sebelum orang-orang itu memulangkan ternak mereka (setelah selesai dari memberi minumnya), sedangkan ayah kami adalah seorang yang telah lanjut usianya”. (QS. Al-Qoshos: 23) Seakan-akan jawaban dari keduanya menunjukkan kalau keberadaan mereka berdua di tengah desakan adalah perkara yang kurang pantas bagi wanita, oleh karena itu keduanya berdiri jauh dari kerumunan dan desak-desakan orang, sambil kemudian berkata “Ayah kami adalah seorang yang telah lanjut usia”, maksudnya, kalaulah tidak karena ayah kami sudah berumur, maka tentunya kami tidak akan berdiri di sini sekarang.

Maka kemudian Musa membantu keduanya dalam memberi minum ternak mereka berdua, setelah selesai, tanpa banyak kata, pulanglah kedua perempuan itu, tak ada obrolan sedikit pun antara musa dan keduanya, pun begitu pula musa tidak meminta upah dari keduanya. Mulailah Musa mencari tempat berteduh, setelah mendapatkannya, ia bernaung di bawah tempat teduh itu, dan tidak sedikit pun meminta-minta walaupun banyak orang yang lalu-lalang di hadapannya. Musa berdoa “Ya Allah aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang engkau turunkan kepadaku.(QS. Al-Qoshos: 24)

Beberapa saat kemudian, tanpa disangka-sangka datanglah kepada Musa salah satu dari kedua perempuan itu. Sambil berjalan dengan malu-malu dia berkata “Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas kebaikanmu memberi minum ternak kami…”.(QS. Al-Qoshos: 25)
Kebaikan benar-benar datang kepada Musa tanpa harus menunggu berhari-hari, hitungannya hanya menit saja, tibalah pertolongan Allah kepadanya. Setelah Musa sampai ke rumah kedua perempuan itu, bertemulah Musa dengan Ayah keduanya, Sedangkan kedua perempuan tersebut berada di samping ayahnya. Ia (perempuan tersebut) melihat ada sebuah kesempatan baginya dan bagi saudarinya untuk istirahat dari lelah dan penatnya pekerjaan mengembala kambing, oleh karenanya salah seorang dari kedua perempuan berkata “…Wahai Ayah, jadikanlah ia sebagai pekerja kita, sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja pada kita adalah orang yang kuat dan dapat di percaya”.(QS. Al-Qoshos: 26) Keduanya telah menyaksikan sendiri kejujuran orang asing ini (Musa), kemaskulinan (kelaki-lakiannya), dan kebaikan akhlaqnya dengan tidak meminta upah sedikit pun sesaat setelah Musa membantu mereka berdua, oleh karenanya jadilah dalam pandangan mereka berdua Musa sebagai sebaik-baik pemuda.

Apa yang dirasakan kedua perempuan itu, dirasakan pula oleh ayah keduanya, memang benar, orang asing ini (Musa) selain butuh tempat berlindung, pun dapat diperbantukan untuk pekerjaannya menggembala kambing, dan pada saat yang sama pula, orang tua tersebut memiliki dua anak perempuan yang salah satu dari keduanya sudah dirasa cukup untuk menikah, dan juga agar keberadaan Musa di rumahnya tidak mengundang desas desus dan bisik-bisik tetangga, oleh karenanya, menikahkan salah satu dari keduanya dengan ketentuan bekerja beberapa tahun adalah solusi jitu dan pas. Berkatalah orang tua tersebut “Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Insya Allah engkau mendapatiku termasuk orang yang baik.(QS. Al-Qoshos: 27)

Musa menerima perjanjian itu, ia berkata “…Itu perjanjian antara aku dan engkau, yang mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku lagi, dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan”.(Al-Qoshos: 28)
Tinggallah Musa di negeri asing bersama seorang istri yang mendampinginya, Inilah takdir Allah bagi Nabi Musa AS dalam satu episode sejarah kehidupannya, Musa dan wanita-wanita berjasa dalam hidupnya, Ibunya, Kakak perempuannya, Istri Firaun, dan Istrinya yang solehah.
*******

Pelajaran yang bisa diambil dari satu episode dalam kehidupan Nabi Musa ini:

1. “Boleh jadi Kita tidak menginginkan sesuatu, padahal sesuatu itu ternyata baik bagi kita”. Ini adalah gambaran dari fase kehidupan Musa, kalaulah karena tidak karena sebab Musa memukul anak buah firaun, tidaklah mungkin ia kan meninggalkan Mesir secara langsung dan tiba-tiba. Sungguh ini adalah takdir Allah agar sempurna pembinaan Nabi Musa, dan persiapannya di kemudian hari tuk menghadapi kecongkakan firaun. Allah jauhkan dia dari kemewahan Istana firaun, dan kemudian menempatkannya di tengah lingkungan gurun yang udaranya belum tercemari, akhlak-akhlak penduduknya masih terjaga.

2. Andai Musa terus tinggal di Istana Firaun sampai ia mendapat perintah menghadapinya, maka itu akan menjadi hal yang cukup berat baginya, karena musa hidup dari suapan firaun, tinggal di istananya. Maka dengan mudah firaun akan mencelanya, dan menuduhnya tak tahu diuntung. Kehidupan Mandiri adalah cara tuk mengantisipasi agar hal tersebut tidak terjadi, walau akhirnya firaun mengejeknya juga dengan cara itu, padahal musa sudah mandiri dan tidak sepenuhnya hidup dari suapan firaun, apalagi jika tidak demikian, tentunya ini akan menjadi aib tersendiri bagi Musa.

3. Ada kemiripan antara kisah Nabi Musa dan kisah Nabi Yusuf, pertama, Musa di lempar oleh ibunya ke sungai dengan harapan agar selamat dari cengkraman tangan jahat Firaun, adapun Yusuf, saudara-saudaranya lah yang melemparnya ke sumur karena kedengkian mereka, kedua, keduanya sama-sama hidup di lingkungan istana semasa kecil, namun dalam kisah Yusuf yang paling berperan terhadap pendidikannya dan pengembangan dirinya adalah raja dari istana yang ia tinggali sebagaimana dijelaskan di surat Yusuf ayat 21, adapun dalam kisah Musa yang berperan adalah Istri dari raja Firaun sebagaimana tersebut dalam surat Al-Qosos ayat 9.

Ketiga, keduanya tinggal dalam lingkungan keberhalaan. Pada zaman Nabi Yusuf keberhalaan dan kerusakan moral sudah mencapai puncaknya, pun begitu pula pada zaman Nabi Musa, namun walaupun demikian, Allah telah menjaga kehidupan keduanya dari keterlibatan dengan penyembahan berhala dan kerusakan moral yang merajalela.

Keempat, Setiap fase dari kehidupan dua Nabi ini selalu mengantarkan keduanya pada kondisi yang berbeda bahkan perubahan drastis amat sangat terlihat dari sejarah hidup keduanya. Yusuf hidup dengan nyaman di istana raja Mesir, kedekatan Yusuf dengannya layaknya seorang anak dengan ayahnya, semua kenikmatan hidup ia rasakan di dalamnya, pun begitu pula dengan Nabi Musa, dia termasuk anak angkat firaun, dibesarkan di istananya dan sudah barang tentu sempat mencicipi aneka kenikmatan hidup di dalamnya. Namun ternyata, keduanya mesti kehilangan semua kenikmatan hidup itu.
Kehidupan mereka berdua tiba-tiba saja berpindah menuju kesengsaraan, kerasnya hidup, ujian dan cobaan. Yusuf, dari kehidupannya yang penuh kenikmatan, tiba-tiba saja harus mendekam di balik jeruji penjara setelah lontaran tuduhan tak pantas ditujukan padanya oleh seorang perempuan, istri pembesar Mesir, Zulaikha. Adapun Musa, kehilangan semuanya sesaat setelah tindakannya yang berakibat pada terbunuhnya anak buah firaun.

Kelima, wanita memiliki peran dalam kehidupan keduanya, hanya saja dalam kisah Nabi Yusuf, peran tersebut berkebalikan dengan peran wanita dalam kehidupan Nabi Musa. Atas takdir Allah perempuan dalam kehidupan Nabi Yusuf menjadi sumber ujian dan cobaan baginya, adapun dalam kehidupan Nabi Musa, bermula dari Ibu, Saudara perempuan, Istri Firaun, sampai Istrinya, semuanya adalah Nikmat Allah yang diberikan kepadanya.

4. Kisah Nabi dengan dua orang perempuan yang ia temui di negeri Madyan ini memberikan gambaran pada kita tentang Nilai-nilai Islam dan akhlak-akhlak yang semestinya dipegang teguh oleh muslimah di manapun dan kapan pun ia berada, beberapa di antaranya adalah:

• Semestinya bagi seorang wanita, ketika ia hendak meninggalkan rumahnya dan menuju tempat lain, baik terjun ke medan kerja, atau sekadar bepergian, berdua lebih baik dari pada sendiri. Kita lihat dalam Kisah tersebut, dua orang perempuan kakak beradik, keluar menuju medan kerja, walaupun boleh jadi orang tuanya yang sudah lanjut usia sangat membutuhkan salah satu dari keduanya untuk hanya sekadar mengambilkan minum, menyuapi makan atau yang lainnya, namun kita lihat bagaimana keduanya keluar bersama-sama agar dapat saling membantu satu sama lain, sehingga tidak membutuhkan bantuan dari orang asing, lebih khusus lagi bahwa karakter dasar pembentukan wanita yang tidak sekuat laki-laki menjadi sebab akan butuhnya seseorang yang menemani dan membantu dalam beberapa pekerjaannya.

• Masing-masing dari kedua perempuan dalam Kisah Musa ini layaknya kamera pengintai bagi yang lainnya, ketika yang satu bekerja, maka yang lain mengawasinya, agar hal-hal yang tidak diinginkan dapat dihindari, karena keberadaan seorang wanita di tengah-tengah kerumunan orang, apalagi jika kerumunan orang tersebut didominasi oleh kaum Adam, adalah hal yang riskan baginya kalau-kalau terjadi hal-hal tercela yang tidak pantas dari orang asing yang ditemuinya.

• Kita lihat bagaimana keduanya tidak mau berdesak-desakan, dan ini dijelaskan oleh kata-kata mereka berdua “Kami tidak bisa memberi minum ternak-ternak kami sebelum orang-orang itu memulangkan ternak mereka (setelah selesai dari memberi minumnya)….”. Seperti telah dijelaskan, bahwa desak-desakan bagi seorang wanita adalah hal yang membuka celah terjadinya sesuatu yang tidak mengenakkan hati, kecuali jika berdesakan di tengah kerumunan sesama wanita, namun lebih utama dijauhi. Hal yang membuat saya miris adalah ketika kebanyakan mahasiswi kita di Kairo, ikut berdesak-desakan di Bus, karena memang di sini transportasi agak sulit, bukan karena kekurangan unit kendaraan/angkutan, namun karena padatnya populasi penduduk. Wanita berdiri di dekat pintu masuk bus sambil kakinya yang sebelah mengambang di udara akan Anda dapati di sini, dan yang berbuat seperti itu rata-rata mahasiswi Indonesia, oleh karena itu tingkat kriminal pemuda Mesir terhadap mahasiswi Indonesia cukup masuk catatan, pun begitu pula terhadap ras Melayu yang lainnya seperti Malaysia, Thailand, dan Singapore.

• Kedua perempuan dalam kisah Nabi Musa ini tidak keluar dengan bersolek dan berhias yang berlebihan, tidak pula berjalan tanpa adab dan rasa malu, melainkan seperti yang digambarkan dalam ayat “Berjalan dengan malu-malu”, seakan-akan rasa malu adalah jalan yang dilewatinya tuk sedikit mendekat menuju Musa.

5. Dari ayat yang berisi perjanjian Musa dan Orang tua, ayah kedua perempuan itu, kita dapati kecerdasan dan kebijakan orang tua tersebut, yakni keputusannya tuk menikahkan salah seorang anak perempuannya dengan Musa, karena memang dia pun membutuhkan seseorang tuk menggantikannya mengurus gembalaan, dan agar kedua anak perempuannya pun dapat istirahat dari lelahnya menggembala. Kalaulah Orang tua tersebut tidak mengambil keputusan menikahkan salah satu putrinya dengan Musa, maka beberapa kesulitan yang mungkin menimpanya adalah sebagai berikut:
• Orang asing ada di rumahnya, sedangkan dia memiliki dua putri, tentunya hal ini akan memancing desas desus yang mencoreng aib keluarga.

• Karena Musa adalah orang asing, boleh jadi ia akan meminta upahnya, karena itu memang haknya, dan ini pun akan membuatnya sulit ‘tuk memenuhi. Tapi karena Musa sudah menjadi menantunya, rasanya kurang pantas jika masih meminta upah terhadap mertuanya.

• Musa akan terus menjadi orang asing di rumahnya karena tidak terikat dengan ikatan apapun, namun ketika sang orang tua menikahkan dengan salah satu putrinya, maka keberadaannya di rumah itu adalah keberadaan yang sah lagi halal, yaitu sebagai seorang suami dari salah satu putri orang tua tersebut, kalau tidak demikian, apa statusnya ketika berkumpul dengan dua orang perempuan yang asing baginya???

6. Tidak seorang Nabi pun melainkan ia pernah menggembala Kambing, Nabi Muhammad, Musa, Isa, dan lain sebagainya. Terdapat beberapa akhlaq yang didapatkan dari hasil menggembala kambing ini, di antaranya:

• Sabar: Pekerjaan penggembala adalah pekerjaan dari matahari terbit hingga terbenam, karena kelambanan hewan ternak dalam mengunyah makanannya, maka sabar adalah sebuah tuntutan akhlaq yang mau tidak mau mesti dipenuhi oleh penggembala.

• Tawadhu (Rendah Hati): Ciri khas penggembala hewan ternak (kambing, domba, dll) adalah pelayanannya terhadap hewan tersebut, mulai dari mengurusi kelahirannya, penjagaannya yang boleh jadi menuntutnya ‘tuk tidur di dekat hewan-hewan tersebut, dan bahkan sesekali terkena kencingnya. Ketika pekerjaan ini terus berlanjut dan berulang-ulang, hal itu akan semakin menjauhkannya dari besar kepala atau sombong.

• Keberanian (Syaja’ah): Ciri khas lainnya dari pekerjaan menggembala hewan ternak ini adalah bahaya
yang kerap kali mengancam dari binatang buas sebangsa serigala yang setiap waktu dapat memangsa hewan ternaknya. Maka seorang penggembala harus memiliki keberanian lebih ‘tuk menghadang hewan buas ini.

• Kasih sayang dan Belas kasih: Tuntutan pekerjaan penggembala kambing adalah, mengobati hewan ternaknya ketika sakit, atau terluka karena gigitan hewan buas. Semua ini membutuhkan kasih sayang dan belas kasih terhadap hewan, memperlakukannya sebagaimana perlakuannya terhadap manusia. Siapa saja yang mengasihi hewan dan berbuat lembut padanya, sudah barang tentu akan memperlakukan manusia dengan sikap yang lebih lembut dan penuh kasih sayang.

• Cinta pekerjaan hasil keringat sendiri: Diriwayatkan Bukhari dari Miqdad R.A. dari Rasulullah saw, Beliau berkata, “Tidak ada makanan yang paling baik bagi seseorang selain makanan yang ia dapatkan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud A.S. makan dari hasil kerja tangannya sendiri” (HR. Muslim). Tidak diragukan lagi bahwa dengan bersandar pada usaha halal ‘kan membuat seseorang meraih kebebasan sempurna dan berkuasa untuk terang-terangan dalam melantangkan kebenaran.
Wallohu ‘alam bis shawab

Senin, 09 Februari 2015

Proses ijab Qobu sudah bersanding



 apa hukum proses ijab Qobul seperti di gambar?

Wong awam@ adanya seorang calon istri di samping calon suami saat proses ijab qobul.
Sering X aku liat proses pembacaan ijab qobul seperti gambar di atas.

ijab qabul yg dilihat itu siapa pelakunya dan apa yg diucapkannya, jadi gak cukup bermodalkan gambar foto seperti di atas. jadi harus dijelaskan itu siapa orgnya, dan apa yg diucapkannya. misalnya itu cuman akting maka ijab qabulnya tidak sah.

ga masalah pak, yang penting tidak melakukan hal" yang melanggar syari'at... 

bagaimana dengan hadist “Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius: 
(1) nikah, 
(2) talak, dan 
(3) rujuk” 

 #bila cuma akting tapi semua syaratnya terpenuhi apa bisa dianggap sah?

umumnya orang akting ya yang jadi walinya bukan wali beneran, nama mempelai juga bukan nama sungguhan, makanya kemungkinan besar tidak sah karena tidak terpenuhi rukunnya. Tapi jika memang yang jadi walinya dan pengantinnya sungguhan ya tetap sah nikahnya, meskipun biasanya yang seperti itu bukan akting

Tentang bersandingnya mempelai, itu masuk dalam bab ikhtilath yang diharamkan jika terjadi khalwah (berduaan saja) atau terjadi fitnah atau keharaman lain semisal terbukanya aurat dan persentuhan ghairu mahrom.
 

Kalau cuman berjejeran begitu ya tidak ada keharaman, seperti berjejernya orang di bus kota atau ruang tunggu rumah sakit, kecuali ada terbuka aurat atau persentuhan yang diharamkan.
Jika pun terjadi keharaman, tidak mempengaruhi sahnya nikah sepanjang semua rukun dipenuhi.


Mempelai putri ikut hadir di majlis aqad hukumnya harom bila timbul fitnah,bila tdk timbul fitnah maka tdk harom :

البجيرمي على المنهج الجزء الثالث صحـ 324

وَلَيْسَ الصَّوْتُ مِنْهَا فَلَا يَحْرُمُ سَمَاعُهُ مَا لَمْ يَخَفْ مِنْهُ فِتْنَةً وَكَذَا لَوْ الْتَذَّ بِهِ عَلَى مَا بَحَثَهُ الزَّرْكَشِيُّ وَمِثْلُهَا فِي ذَلِكَ الْأَمْرَدُ ا هـ وَقَالَ ع ش قَوْلُهُ وَكَذَا لَوْ الْتَذَّ بِهِ أَيْ فَيَجُوزُ لِأَنَّ اللَّذَّةَ لَيْسَتْ بِاخْتِيَارٍ مِنْهُ اهـ وَفِي شَرْحِ الرَّوْضِ خِلَافُهُ وَعِبَارَتُهُ أَمَّا النَّظَرُ وَالْإِصْغَاءُ لِصَوْتِهَا عِنْدَ خَوْفِ الْفِتْنَةِ أَيْ الدَّاعِي إلَى جِمَاعٍ أَوْ خَلْوَةٍ أَوْ نَحْوِهِمَا فَحَرَامٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَوْرَةً بِالْإِجْمَاعِ ثُمَّ قَالَ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَيَلْتَحِقُ بِالْإِصْغَاءِ لِصَوْتِهَا عِنْدَ خَوْفِ الْفِتْنَةِ التَّلَذُّذُ بِهِ وَإِنْ لَمْ يَخَفْهَا اهـ وَاعْتَمَدَهُ شَيْخُنَا الْعَزِيزِيُّ وَشَيْخُنَا ح ف وَالظَّاهِرُ أَنَّ كَلَامَ ع ش سَهْوٌ مِنْهُ أَنَّهُ فَهِمَ أَنَّ التَّشْبِيهَ فِي كَلَامِ م ر رَاجِعٌ لِلنَّفْيِ مَعَ أَنَّهُ رَاجِعٌ لِلْمَنْفِيِّ لِأَنَّ الزَّرْكَشِيَّ مُصَرِّحٌ بِالْحُرْمَةِ عِنْدَ التَّلَذُّذِ كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ سِيَاقِ كَلَامِهِ فَكَيْفَ يَقُولُ ع ش أَيْ فَيَجُوزُ

حاشية الجمل الجزء الرابع صحـ 124

وَضَابِطُ الْخَلْوَةِ اجْتِمَاعٌ لَا تُؤْمَنُ مَعَهُ الرِّيبَةُ عَادَةً بِخِلَافِ مَا لَوْ قُطِعَ بِانْتِفَائِهَا عَادَةً فَلَا يُعَدُّ خَلْوَةً ا هـ . ع ش عَلَى م ر مِنْ كِتَابِ الْعِدَدِ

إعانة الطالبين الجزء الأول صحـ 313

وَمِنْهُ الْوُقُوْفُ لَيْلَةَ عَرَفَةَ أَوِ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَالْاِجْتِمَاعُ لَيَالِيَ الْخُتُوْمِ آخِرَ رَمَضَانَ وَنَصْبُ الْمَنَابِرِ وَالْخُطَبُ عَلَيْهَا فَيُكْرَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ اخْتِلَاطُ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ بِأَنْ تَتَضَامَّ أَجْسَامُهُمْفَإِنَّهُ حَرَامٌ وَفِسْقٌ

المجموع شرح المهذب الجزء الرابع صحـ 350

قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى (وَلَا تَجِبُ الْجُمُعَةُ عَلَى صَبِيٍّ وَلَا مَجْنُونٍ لِأَنَّهُ لَا تَجِبُ عَلَيْهِمَا سَائِرُ الصَّلَوَاتِ فَالْجُمُعَةُ أَوْلَى وَلَا تَجِبُ عَلَى الْمَرْأَةِ لِمَا رَوَى جَابِرٌ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ { مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَعَلَيْهِ الْجُمُعَةُ إلَّا عَلَى امْرَأَةٍ أَوْ مُسَافِرٍ أَوْ عَبْدٍ أَوْ مَرِيضٍ } وَلِأَنَّهَا تَخْتَلِطُ بِالرَّجُلِ وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ )

( الشَّرْحُ ) –إِلَى أَنْ قَالَ- وَقَوْلُهُ وَلِأَنَّهَا تَخْتَلِطُ بِالرِّجَالِ وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ لَيْسَ كَمَا قَالَ فَإِنَّهَا لَا يَلْزَمُ مِنْ حُضُورِهَا الْجُمُعَةَ الِاخْتِلَاطُ , بَلْ تَكُونُ وَرَاءَهُمْ . وَقَدْ نَقَلَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَغَيْرُهُ الْإِجْمَاعَ عَلَى أَنَّهَا لَوْ حَضَرَتْ وَصَلَّتْ الْجُمُعَةَ جَازَ , وَقَدْ ثَبَتَتْ الْأَحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ الْمُسْتَفِيضَةُ أَنَّ النِّسَاءَ كُنَّ يُصَلِّينَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فِي مَسْجِدِهِ خَلْفَ الرِّجَالِ وَلِأَنَّ اخْتِلَاطَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ إذَا لَمْ يَكُنْ خَلْوَةً لَيْسَ بِحَرَامٍ

إعانة الطالبين الجزء الثالث صحـ305

قَالَ ابْنُ الصَّلَاحِ وَلَيْسَ الْمَعْنَى بِخَوْفِ الْفِتْنَةِ غَلَبَةَ الظَّنِّ بِوُقُوْعِهَا بَلْ يَكْفِي أَنْ لَا يَكُوْنَ ذٰلِكَ نَادِرًا

إحياء علوم الدين الجزء الثاني صحـ 160

وَتَحْصِيْلُ مَظِنَّةِ الْمَعْصِيَةِ مَعْصِيَةٌ وَنَعْنِي بِالْمَظِنَّةِ مَا يَتَعَرَّضُ الْإِنْسَانُ لِوُقُوْعِ الْمَعْصِيَةِ غَالِباً بِحَيْثُ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْاِنْكِفَافُ عَنْهَا

Yg di maksud Timbul fitnah itu gimana y?  

Dan yg dimaksud dg fitnah di atas adalah zina dan pendahuluannya seperti memandang, khulwah, bersentuhan, dan condongnya hati yg mengarah pada hal2 yg dilarang, dsb.

ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻱ ﺍﻟﻔﻘﻬﻴﺔ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ﺻﺤـ 203 :

ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﺎﻟﻔﺘﻨﺔ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﻭﻣﻘﺪﻣﺎﺗﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻈﺮ ﻭﺍﻟﺨﻠﻮﺓ ﻭﺍﻟﻠﻤﺲ ﻭﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ .

ﺗﻮﺷﻴﺢ ﻋﻠﻰ ﺍﺑﻦ ﻗﺎﺳﻢ ﺻﺤـ 197 :

ﺍﻟﻔﺘﻨﺔ ﻫﻲ ﻣﻴﻞ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﻭﺩﻋﺎﺅﻫﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺠﻤﺎﻉ ﺃﻭ ﻣﻘﺪﻣﺎﺗﻪ ﻭﺍﻟﺸﻬﻮﺓ ﻫﻮ ﺃﻥ ﻳﻠﺘﺬ ﺑﺎﻟﻨﻈﺮ .

ﺳﻨﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺍﻭﺩ - ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ - ﺑﺎﺏ ﻣﺎ ﻳﺆﻣﺮ ﺑﻪ ﻣﻦ ﻏﺾ ﺍﻟﺒﺼﺮ :

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺭﻱ : ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻆ ﻣﻘﺪﻣﺎﺕ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻤﻨﻲ ﻭﺍﻟﺘﺨﻄﻲ ﻭﺍﻟﺘﻜﻠﻢ ﻷﺟﻠﻪ ﻭﺍﻟﻨﻈﺮ ﻭﺍﻟﻠﻤﺲ ﻭﺍﻟﺘﺨﻠﻲ


Semoga bermanfaat