Kalau membaca sejarahnya, setelah Nabi saw wafat, kita pasti akan mendapati para sahabat Nabi saw sangat menjaga sekali agar tidak ada yang namanya pemalsuan hadits. Dari itu setiap kali mereka mendengar ada orang yang mengaku mempunyai riwayat hadits dari Nabi saw, mereka tidak langsung mempercayainya.
Kalau Nabi masih hidup, dengan mudah sekali para sahabat meminta kepastian dan meurujuk kepada Nabi saw tentang kabar yang mereka dengar. Tapi ketika Nabi saw sudah wafat, kepada siapa mereka meminta kepastian itu?
Itu wajar saja, karena selepas kepergian Nabi saw, banyak pembenci Islam yang masuk Islam bukan untuk Islam, tapi untuk mencederai ajaran Islam itu sendiri. Dan salah satu jalan pencederaan syariah itu ialah melalui jalur pemalsuan hadits. Untuk itu mereka para sahabat sangat ketat sekali menerima hadits.
Di samping itu juga mereka khawatir, kalau tidak teliti benar dalam menerima, mereka bisa salah menisbatkan kalimat tersebut kepada Nabi saw, padahal sejatinya Nabi tidak mengucapkan itu, yang mana Nabi saw telah mengancam pelakunya dengan neraka.
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“siapa yang berbohong atasku, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka” (Muttafaq ‘alayh)
Ini yang banyak direkam oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka ketika menceritakan kondisi setelah wafatnya Nabi saw dari sisi periwayatn hadits dan perkembangan tasyri’ Islam (pensyariatan hukum islam). Salah satu diantara mereka yang detail menceritakan itu ialah Sheikh Muhammad al-Khudhori Bik dalam kitabnya Tarikh Tasyri’ Al-Islami.
Birokrasi Penerimaan Hadits
Singkatnya, para sahabat tidak berani asal menerima perkataan orang yang mengaku bahwa ia mendengar hadits dari Nabi saw, kecuali setelah melalui beberapa birokrasi yang mereka terapkan.
Khalifah pertama contohnya, Sayyidina Abu Bakr yang mensyaratkan harus ada saksi. Jadi, jika ada yang datang lalu mengatakan “qola Rasulullah: ….” (Rasulullah saw bersabda: ….. ), tidak sampai selesai, sayyidina Abu Bakr telah memberhentikannya sambil menanyakan 2 pertanyaan ini:
“Man sami’a ma’aka hadza?” (siapa lagi selain kamu yang mendengar ini?)
“Man Syahida laka fi hadza?” (siapa yang jadi saksimu di hadits ini?)
Jadi untuk sayyidina Abu bakr, birokrasi utama dalam periwayatan hadits itu ketat, yaitu harus ada saksi atau ada orang lain yang sama-sama mendengar. Jadi kalau hanya satu orang yang berkata, itu hanya pengakuan dan belum bisa diterima.
Itu yang dilakukan oleh sayyidina Abu Bakr, berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sayyidina Ali bin Abi Thalib di Kufah. Beliau sadar jarak jauhnya dengan pusat wayhu (madinah), dan ketika itu tidak banyak jumlah sahabat yang imigrasi ke Kufah dari Madinah. Beliau tidak mensyaratkan saksi, karena itu cukup suli sekali, tapi beliau mensyaratkan adanya yamin atau sumpah.
Jadi, siapapun yang mengatakan “qola Rasulullah: ….” (Rasulullah saw bersabda: ….. ), ia tidak langsung diterima kecuali setelah ia bersumpah bahwa ia telah benar punya riwayat hadits itu. Sebenarnya ini juga yang menjadi poin atau sumbu perbedaan antara ijtihadnya ulama Madinah (basis madzhab Maliki) dan Ulama Iraq (basis madzhab Hanafi).
Bisa jadi hadits yang diterima di Madinah tapi tidak di Kufah, namun bisa juga sebaliknya, di Kufah diterima, namun di Madinah malah tidak.
Sayyidina Umar Menolak Hadits
Contoh yang masyhur ialah apa yang dilakukan oleh sayyidina Umar bin Khaththab yang mana beliau mengikuti jejak sayyidina Abu Bakr dalam penerimaan hadits. Ketika itu beliau mengatakan bahwa wanita yang ditalak tiga (bainunah kubra) itu masih tetap punya hak nafaqah dan tempat tingggal dari suaminya, dengan dalil ayat 1 surat Al-Talaq.
Dalam ayat disebutkan secara tegas bahwa seorang suami tidak boleh mengeluarkan istrinya kecuali jika si istri melakukan perzinahan. Artinya walaupun sudah di talak 3, wanita tetap diberikan tempat tinggal, dan pemberian tempat tinggal tidak mungkin kecuali didalamnya juga termasuk nafkah. Seperti wanita-wanita lain yang ditalak 1 atau 2 (talak raj’i).
Jadi, menurut sayyidina Umar, wanita yang ditalak 3 (talak bain) itu tetap punya hak tempat tinggal dan nafkah. Akan tetapi kemudian, fatwa sayyidina Umar ini ditentang oleh salah seorang wanita yang bernama Fatimah binti Qois.
Beliau menyanggah fatwa sayyidina Umar dan mengatakan bahwa wanita yang ditalak 3 itu tidak punya hak nafkah dan juga tempat tinggal, dengan dalil bahwa ia (Fatimah binti qois) itu pernah melapor ke Nabi bahwa suaminya menceraikannya 3 kali dan Nabi saw tidak memberikannya hak nafkah serta hak tempat tinggal. Dan hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 27344).
Akan tetapi sayyidina Umar membantah kesaksian wanita tersebut sambil berkata:
لَا نَدَعُ كِتَابَ رَبِّنَا، وَسُنَّةَ نَبِيِّنَا، بِقَوْلِ امْرَأَةٍ، لَا أَدْرِي أَصَدَقَتْ، أَمْ كَذَبَتْ
“kami tidak akan meninggalkan quran dan sunnah Nabi dengan (mengambil) perkataan seorang wanita yang kita tidak tahu, yang bisa saja ia ingat bisa juga ia lupa.” (Musnad Ishaq bin Rohawaih, no. 2366)
Perkataan sayyidina Umar ini menjadi salah satu bukti ketatnya birokrasi penerimaan hadits ketika itu, sebagaimana kekhawatiran mereka akan kesalahan menisbatkan sebuah perkataan atau hadits kepada Nabi saw yang bisa saja keliru. Ini banyak direkam oleh para ulama sejarah dan ushul. (al-Fushul fi al-Ushul 3/103)
Penisbatan Ijtihad Fiqih
Dan kehati-hatian dan kekhawatiran para sahabat dalam penisbatan qaul atau perkataan kepada Nabi saw, yang akhirnya membuat mereka sangat ketat karena takut salah dan akhirnya jatuh kepada ancaman neraka dari nabi saw tersebut merambat kepada fatwa-fatwa dan ijtihad mereka dalam masalah hukum (fiqih).
Ya. Ketika mereka berijtihad dalam sebuah masalah yang memang tidak ada hadits atau ada hadits namun mereka tidak menerimanya, mereka berijtihad dan hasil ijtihadnya tersebut mereka katakan sebagai hasil ijtihadnya, dan itu pendapatnya.
Mereka sama sekali tidak mengatakan “ini adalah pendapat yang Allah dan Rasul-Nya inginkan!”. Tidak juga mereka katakan: “ini adalah pendapat yang benar menurut Allah dan rasul-Nya!”. Walaupun mereka orang-orang terdekat dengan Nabi saw, orang yang paling paham dengan al-Quran dan Sunnah, mereka tidak sampai hati menisbatkan hasil ijtihad mereka kepada Allah swt dan rasul-Nya.
Kenapa?
Khawatir kalau apa yang mereka ijtihadkan itu bukanlah sebuah kebenenaran yang Allah swt dan Rasul-Nya inginkan. Mereka hanya emnjalankan tugas ijtihad, tapi tidak bertugas untuk mengaku-ngaku bahwa ijtihadnya yang paling benar. Karena itu mereka tidak mengatakan: “ini pendapat yang sesuai Kitab dan Sunnah!”.
Tapi justru dengan tegas mereka, para sahabat mengatakan bahwa hasil ijtihadnya itu adalah pendapatnya sendiri. Kalimat yang masyhur seperti ini:
“ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”
Kehati-hatian mereka membuat mereka menjadi sangat tawadhu’ sekali. Perkataan sahabat yang seperti ini banyak ditulis oleh ulama dalam kitab-kitab mereka, termasuk sheikh al-Islam Ibnu Taimiyah (728 H), dalam banyak halaman di kitab beliau Majmu’ al-Fatawa, salah satunya di Bab 10, hal. 450:
وقد قال أبو بكر وابن مسعود وغيرهما من الصحابة فيما يفتون فيه باجتهادهم: إن يكن صوابا فمن الله وإن يكن خطأ فهو مني ومن الشيطان والله ورسوله بريئان منه
“dan Abu Bakr serta Ibnu Mas’ud serta sahabat lainnya telah berkata dalam setiap fatwa yang merekaijtihadkan: ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”
Jadi, tidak gampang mengatakan: “ini yang benar sesuai quran dan sunnah!”. Sebagaimana juga para sahabat mengajarkan itu. Karena bisa saja ijtihadnya itu salah, akhirnya ia menisbatkan pendapat yang salah kepada Allah dan Nabi saw. Naudzubillah.
Ijtihad Ulama Madzhab
Dan cara hati-hati serta tawadhu’ inilah yang kemudian diteruskan budayanya oleh para ulama setelahnya, termasuk para imam madzhab dan ulama dalam setiap ijtihad yang mereka lakukan.
Kalau kita buka kitab-kitab madzhab, kita akan dapati bahwa ulama mereka tidak pernah mengatakan: “inilah pendapat yang benar/rojih menurut kitab dan sunnah.”. tidak seperti itu! Mereka justru menisbatkan fatwa mereka ke imam mereka sendiri atau ke madzhab mereka.
Dalam hal ini, para fuqaha’ punya kalimat masyhur sekali untuk menunjukkan penisbatan pendapat tersebut kepada madzhab mereka, yakni bahwa ini adalah fatwa kami atau hasil ijtihad kami. Salah satunya dan ini yang paling sering, yaitu kata ‘Indana [عندنا] (menurut kami). Mereka tidak mengatakan: ‘inda al-Quran wa sunnah [عند القران والسنة] (menurut Quran dan Sunnah)
Madzhab Hanafi
وَأَمَّا الصَّبِيُّ وَالْمَجْنُونُ إذَا قَتَلَ مُوَرِّثَهُ لَمْ يُحْرَمْ الْمِيرَاثَ عِنْدَنَا
“dan adapun jika orang gila atau anak kecil membunuh pewarisnya, ia tidak diharamkan mendapat warisan menurut kami”. (al-Mabsuth 30/48)
Madzhab Maliki
وَالْعِيدُ مَأْخُوذٌ مِنَ الْعَوْدِ لِتَكَرُّرِهِ فِي كُلِّ سَنَةٍ وَهُوَ عِنْدَنَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ
“dan ‘Ied (sholat Ied) itu diambil dari kata al-‘aud (kembali) karena sering terulang/kembali setiap tahun, dan sholat ini menurut kami hukumnya sunnah muakkad” (al-Dzakhiroh 2/417)
Madzhab Al-Syafi’i
في نجاسة الآدمي بالموت: قد ذكرنا أن الأصح عندنا أنه لا ينجس
“dalam kenajisan manusia karena meninggal: sebagaimana yang telah kami sebutkan, bahwa yang benar menurut kami adalah ia tidak najis” (Al-Majmu’ 2/563)
Madzhab Al-Hanabilah
تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي مَالِ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ، بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا.
“wajib (mengeluarkan) zakat dari harta anak kecil dan orang gila tanpa ada yang menyelisih, menurut kami” (Al-Inshaf ¾)
Ya. Mereka mengikuti apa yang dilakukan oleh para sahabat dan guru-guru mereka dali ulama salaf yang memang seperti itu. Bukan karena mereka tidak berhukum dengan al-Quran dan Sunnah. Bukan! Justru mereka lah para ulama yang Allah berikan kefahaman komrehensif terhadap al-Quran dan Sunnah.
Mereka tentu sangat mengerti tentang itu semua. Mereka melakukan itu karena memang khawatir akhirnya mereka berbohong atas Quran dan sunnah. Karena itu lebih selamat (dan memang begitu seharusnya) mereka menisbatkan fatwa dan ijtihadnya kepada dirinya sendiri, sambil bersyukur kalau ijtihadnya benar, itu adalah dari Allah swt bukan dirinya sendiri.
jadi, itu dia kenapa para ulama menisbatkan ijtihad dan fatwa mereka kepada diri mereka sendiri, mereka mengatakan: "Ini pendapat yang benar menurut kami!". Dan sama sekali tidak mengatakan: "ini pendapat yang benar menurut al-Quran dan Sunnah!". khawatir itu penisbatan yang jadi dusta atas nama al-Quran dan Sunnah.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar