Suatu hari, Muadz bin Jabal diboncengi
keledai yang dikendarai Rasulullah SAW. Di atas keledai, Rasulullah SAW
bersabda, “Wahai Muadz, tahukah engkau hal apa yang patut engkau penuhi
terhadap Allah dan satu hal lain yang pasti akan Allah penuhi terhadapmu?”
Muadz
terdiam lalu menjawab, “Allah SWT dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui, Ya
Rasul.”
Kemudian
Rasulullah menjawab, “Bahwasannya satu hal yang patut engkau penuhi terhadap
Allah ialah bahwa engkau berjanji sepenuh hati bahwa engkau tidak akan
menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun (syirik). Dan satu hal yang pasti Allah
tunaikan hak-Nya untukmu ialah bahwa Dia takkan pernah menyiksa para hamba-Nya
yang tidak pernah melakukan syirik.”
Muadz
tercengang. Dengan penuh semangat ia menjawab, “Ya Rasul, dapatkah saya
sampaikan ini kepada orang-orang?”
Rasulullah
SAW pun menjawab, “Tahanlah. Aku khawatir orang-orang akan lengah sehingga
mereka terlalu berharap keluasan rahmat Allah, kemudian malas beribadah.” (HR
Bukhari)
Sabda
Nabi SAW mengingatkan kita kembali perihal hak dan kewajiban yang semestinya
kita penuhi baik sebagai makhluk sekaligus hamba Allah SWT. Karena status kita
sebagai hamba, maka sedari proses penciptaannya pun Allah telah berikrar, “Tidaklah
Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah padaku.“ (QS adz-Dzariyat:
56)
Begitu
tinggi esensi peribadatan kepada Allah selaku Khalik dan kita yang hanya
sebagai makhluk. Tentiu saja beribadah kepada-Nya harus dilandasi dengan ilmu
dan tauhid (pengesaan Allah).
Dalam
surah lain, menjadi jelas bahwa Allah juga ‘menegur’ kita untuk tidak masuk ke
dalam jurang syirik. “Dan janganlah kamu menjadikan sesembahan (tuhan) yang
lain selain Allah maka kamu akan dicela dan terhina.” (QS al-Isra: 22)
Pesan ini
bergandengan dengan perintah untuk taat pada orangtua, anjuran bersedekah,
tidak mubazir, tidak terlalu pelit dan berlebihan, larangan membunuh anak
karena takut miskin, larangan zina, larangan membunuh sesama, larangan memakan
harta anak yatim dengan jalan yang batil, memenuhi takaran (timbangan) dengan
adil, dan ditutup dengan larangan untuk tidak mengikuti apa-apa yang tidak kita
ketahui (taklid buta).
Syirik
dan taklid buta menjadi sejajar manakala syirik dilakukan karena manusia
mengikuti tanpa ilmu dan tanpa dalil terhadap sesuatu yang dilakukan oleh orang
lain.
Sabda
Rasulullah SAW di atas ditutup dengan anjuran kepada Muadz untuk tidak langsung
menyampaikan sabda itu kepada khalayak karena khawatir orang-orang terlalu
bergantung pada keluasan rahmat Allah.
Sehingga
mereka malas berusaha karena tahu bahwa Allah akan mengganjar mereka dengan
‘bebas siksa’ ketika mereka cukup dengan ‘tidak syirik’. Ini akan membuka
peluang kemalasan dalam meningkatkan kualitas ibadah.
Oleh
karenanya, Muadz baru menyampaikan sabda berharga ini di detik-detik
kewafatannya. Sehingga orang-orang sezamannya tidak ada yang tahu. Sebuah pesan
rahasia, penyelamat dari segala siksa untuk semua manusia. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar