Nama
lengkapnya adalah Abdullah bin Qais. Beliau sempat ikut hijrah ke
Abessina, kemudian datang ke Madinah setelah perang Khaibar. Khalifah
Utsman bin Affan mengangkatnya sebagai penguasa di Kufah. Beliau ini
termasuk arbitrator dalam peristiwa arbitrasi Shiffin.
Salah seorang sahabat Rasulullah yang telah beliau do’akan dengan
permohonan kepada Allah ampunan dan agar di hari kiamat dimasukkan
kedalam tempat yang mulia adalah Abu Musa Al-Asy’ariy, sebagaimana do’a
Rasulullah : ”Allahumaghfir li-’Abdillah bin Qais zanbahu, wa adkhilhu
yauma al-qiyamati madkhalan kariimaa”.
Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Qais bin Sulaim bin Hadhar
bin Harb bin Aamir, dan terus sampai nasabnya pada Asy’ari bin Adad.
Nabi memanggilnya dengan “Abdullah bin Qais” seperti dalam hadist yang
diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
mengatakan kepadanya:
”ya Abdullah bin Qais, inginkah kamu aku ajarkan satu kalimat dari
perbendaharaan surga?” yaitu (la hawla wala quwwata illa billah)”. Dan
juga pada hadist do’a Rasulullah yang telah disebutkan diatas tadi.
Sedangkan julukan “Abu Musa” diambil dari nama salah salah satu anaknya.
Awal Masuk Islam Dan Kehidupannya Bersama Rasulullah.
Sebelum bertemu dengan Rasulullah di Mekkah ada kebimbangan pada dirinya
untuk mencari rezeki dan bekerja dipasar-pasar dan musim-musim yang ada
di Makkah, tetapi dengan kebimbangan inilah salah satu sebab masuknya
ia ke dalam Islam, yaitu tatkala ia meninggalkan tanah leluhurnya Yaman,
menuju Makkah dan mendengar bahwa di negeri ini ada seorang Rasul yang
mengajak dan menghimbau kepada tauhid dan kepada Allah dengan sesuatu
yang bisa diterima akal serta dengan akhlak yang mulia.
Maka ia berkenalan dengan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam
dan lalu masuk Islam dengan aktif mengikuti pelajaran- pelajaran dari
beliau menambah hidayah dan keyakinan. Ia masuk Islam diawal masa
kenabian dan termasuk dalam golongan “Assabiquuna ila-l-Islam”, dengan
dalil hijrahnya ia bersama-sama para muhajirin ke Habasyah setelah
adanya tekanan dan kekerasan serta siksaan yang yang dilakukan
orang–orang musyrik terhadap mereka. Kemudian selang beberapa waktu ia
kembali ke negeri asalnya menyampaikan kalimat Allah subhanahu wa
ta’ala, sehingga banyak dari kaumnya yang masuk Islam.
Pada waktu ia mendengar bahwa Rasulullah hijrah ke Madinah, maka
beliau menemui Rasulullah untuk bergabung bersama membangun suatu
masyarakat baru yang Islami dan daulah Islamiyah. Rasulullah menyebut
kaum yang dipimpin Abu Musa ini dengan nama “Al-Asy’ariyiin”. Mulai dari
hari itu ia terus berpartisipasi dan berkecimpung bersama para mu’min
dan muslimin menjadi sahabat dan murid Nabi dalam mengemban risalah
Tuhan hingga akhir hayatnya.
Abu Musa dalam masa hidup setelah Islamnya memiliki sifat-sifat
mulia. Ia adalah seorang pejuang yang gagah berani dan pemanah yang
tangguh bila dihadapkan pada hal-hal yang darurat. Dan ia juga seorang
faqih bijaksana yang memiliki otak brilian yang mampu dalam memecahkan
beberapa macam problema serta memberikan cahaya penerang dalam masalah
fatwa-fatwa dan pengadilan, sehingga ia disebut sebagai salah satu dari
empat hakim ummat, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As-Sya’biy,
”Qodhotu hazihi al-ummah arba’atun : Umar, Ali, Zaid bin Tsabit wa Abu
Musa”.
Dalam medan jihad, Abullah bin Qais memiliki rasa tanggung jawab yang
besar dengan berlomba-lomba dalam kemulian, ia berani menaruhkan
nyawanya sehingga ia digelari oleh Rasulullah sebagai “pemimpin
prajurit-prajurit berkuda” sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ibnu
Sa’ad dari Na’im bin Yahya At-Tamimiy, bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam pernah bersabda, ”Saidu al-fawarisi, Abu Musa”.
Beliau pun telah mengikuti beberapa peperangan bersama Rasulullah
dalam menghadapi orang-orang musyrik, diantaranya perang Tabuk. Dan
setelah perang ini Nabi mengutusnya ke Yaman sebagai da’i dan mu’allim
serta wali, juga diutus untuk mengajarkan Al-Quran bersama Mu’adz bin
Jabal pada daerah yang berbeda, namun jaraknya tidak jauh sehingga
antara keduanya tetap terjalin hubungan komunikasi.
Hal ini dilakukan Rasulullah ketika datang kepadanya utusan raja
Hamir dari Yaman (Sepertinya Himyar; Aman). Lalu beliau memilih dari
sahabat-sahabatnya yang dapat dipercaya dan memiliki pengetahuan agama
yang matang, maka diutuslah mereka berdua dan Malik bin ‘Ubadah dan
beberapa sahabat lainnya. Ini merupakan suatu perhatian yang besar dari
Rasulullah terhadap ahli Yaman.
Ibnu Hajar Al-’Asqalany mengatakan bahwa diutusnya Abu Musa ke Yaman
dikarenakan kepintaran dan pemahamannya yang dalam terhadap Islam. Pada
tahun ke 10 hijriyah, Abu Musa kembali dari Yaman menemui Nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wasallam untuk melaksanakan haji, yang disebut dengan
haji wada’ (haji perpisahan). Rasulullah telah memberikan wewenang
kepadanya untuk memberikan fatwa hingga wafatnya beliau bahkan hingga
masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhuma.
Ini semua menunjukkan akan kedalaman ilmu pengetahuannya dan ketaatannya
kepada khalifah.
Ketika Rasulullah meninggal, yaitu bertepatan setelah tiga hari
dibunuhnya “Al-Kadzdzab” ‘Abhalah ibnu Ka’ab Al-’Ansiy, seorang dukun
yang mengaku sebagai nabi di Yaman. Hal ini merupakan cobaan yang besar
bagi Abu Musa yang ketika itu berada di sana, setelah pulangnya dari
haji wada’.
Kehidupan Abu Musa Setelah Wafatnya Nabi.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ia ditetapkan
untuk menjadi wali di Yaman. Dan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab
radhiyallahu ‘anhu, Abu Musa telah berhasil mengatur administrasi
wilayah Bashrah, juga berhasil didalam memimpin pasukan militernya.
Merupakan suatu rahmat yang besar dari Allah terhadapnya dengan
pertolongan-pertolongan-Nya melalui tangannya, sehingga ia mampu
menaklukkan beberapa kota dan negeri, dan telah dimenangkan Allah dalam
memerangi pemimpin-pemimpin “daulah Al-Farisiyah” dengan kecerdikkan dan
ketajaman pemikirannya.
Pada akhir tahun 23 hijrah Amirul mu’minin Umar bin Khattab
radhiyallahu ‘anhu meninggal terbunuh sebagai syahid, dan Abu Musa
ketika itu sedang berada di Bashrah mengajar dan berjuang menyampaikan
dakwah kepada Allah , namun walaupun demikian beliau telah mengetahuinya
melalui ru’yah yang merupakan karamah yang telah Allah berikan
kepadanya, sebagaimana yang telah dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad di
Thabaqat dengan sanadnya dari Abu musa (lih. Hayatu As- Shohabah juz; 3
hal; 666).
Setelah dibai’atnya khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, beliau
menbetapkan Abu Musa sebagai wali di Bashrah selama enam tahun, setelah
lepas dari amanat ini banyak sekali cobaan-cobaan fitnah dan tantangan
yang ia hadapi dalam menyampaikan syariat dan risalah Ilahi hingga masa
kekhalifahan Ali radhiyallahu ‘anhu dan berakhir pada akhir hayatnya
yaitu pada masa pemerintahan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu.
Budi Pekerti Dan Sifat-Sifatnya Yang Mulia
Beberapa kelebihan budi pekerti dan sifat-sifatnya yang mulia yang
ada pada diri Abu Musa sudah diakui oleh Rasulullah sendiri hingga
beliau mendo’akannya dan mengajarkan kepadanya perbendaharaan surga. Ini
semua jelas karena budi pekerti dan sifat-sifatnya yang mulia, mulai
masa hidupnya bersama dengan para khulafa ar-rasyidiin hingga wafatnya.
Beliau amat terkenal dengan kedalamannya terhadap ilmu agama, seorang
ahli ibadah yang wara’, memiliki sifat pemalu, ahli zuhud di dunia,
kuat dalam pendirian dan sifat-sifat mulia yang lain yang disandangnya.
Adz-Dzahabiy mengatakan, ”Abu Musa adalah seorang qari’ yang memiliki
suara yang indah dan seorang terkemuka di Bashrah didalam membaca dan
memahami Al-Quran.”
Disamping sebagai seorang yang memiliki ‘izzah yang besar dalam
menuntut ilmu, baik dari Rasulullah maupun dari sahabat-sahabat, beliau
juga mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya itu kepada orang lain,
mengamalkan sabda Rasulullah , ”Khairukum man ta’allama Al-Qurana wa
‘allamahu” (H.R. Bukhari).
Dengan segala kemampuannya beliau mengajarkan Al-Quran dan memberikan
penjelasan kepada ummat di setiap daerah yang didatanginya, dibantu
dengan bacaan dan suaranya yang indah ketika membaca Al-Quran, dapat
menarik perhatian masyarakat sekitarnya hingga berkumpul
mengelilinginya. Dikarenakan banyaknya penuntut ilmu yang hadir, maka ia
membagi mereka menjadi beberapa kelompok halaqah pengajian ilmu
pengetahuan agama, seperti yang pernah ia lakukan di masjid Bashrah. Abu
Musa juga memiliki perhatian yang besar dalam pengajian sunnah dan
riwayat-riwayatnya, serta sangat berpegang teguh terhadap sunnah Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana ia telah sampaikan nasehat
kepada anak-anak dan keluarganya ketika ajal mendatanginya.
Wafatnya
Para ulama berbeda pendapat terhadap tahun wafatnya Abu musa
radhiyallahu ‘anhu. Kebanyakan dari perkataan mereka, tidak lebih dari
tahun empat puluhan dari tahun hijrah, diantaranya pendapat Ibnu
Al-Atsir mengatakan, ”Abu Musa meninggal di Kufah, dan dikatakan di
Makkah pada tahun 42 hijrah, dan dikatakan pada tahun 44 hijrah, pada
waktu itu beliau berumur 63 tahun.” Sebagaimana Adz-Dzahaby juga
membenarkan bahwa beliau wafat pada bulan zulhijjah tahun 44 hijrah,
Allahu A’lam.
Sebelum wafatnya beliau masih sempat memberikan peringatan dan
nasehat buat anak-anak dan keluarganya agar selalu beriltizam terhadap
sunnah Nabi . Dan merupakan suatu kemuliaan dari Allah terhadap
keluarganya dengan menjadikan banyak dari anak-anak, cucu-cucu sampai
pada keturunan-keturunannya menjadi ulama, qadhi dan perawi hadist, yang
merupakan berkah dari do’a Rasulullah yang diterimanya dan berkah
keikhlasannya.
Demikianlah perjalanan dari kehidupan seorang sahabat Rasulullah yang
ahli ibadat, wara’, mujahid dan faqih, semoga kita semua dapat
mengambil ibrah dari semua itu dan semoga Allah memberi hidayah kepada
kita dalam melangkah tuk mencapai ridha-Nya serta mewafatkan kita dalam
keadaan Iman dan Islam. Amin.
“Rabbana-ghfir lana wa li-ikhwanina allaziina sabaquuna bil-iimaan
wala taj’al fi- quluubina ghillan lil-laziina a-manu Rabbana innaka
Raufu-r- Rahiim”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar