Peristiwa Fathu Makkah terjadi pada tahun delapan Hijriyah.
Dengan peristiwa ini, Allah menyelamatkan kota Makkah dari belenggu
kesyirikan dan kedhaliman, menjadi kota bernafaskan Islam, dengan ruh
tauhid dan sunnah. Dengan peristiwa ini, Allah mengubah kota Makkah yang
dulunya menjadi lambang kesombongan dan keangkuhan menjadi kota yang
merupakan lambang keimanan dan kepasrahan kepada Allah ta’ala.
Untuk menjaga misi kerahasiaan ini, Rasulullah mengutus satuan
pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu Khasyab dan
Dzul Marwah pada awal bulan Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar ada
anggapan bahwa beliau hendak menuju ke tempat tersebut. Sementara itu,
ada seorang shahabat Muhajirin, Hatib bin Abi Balta’ah menulis surat
untuk dikirimkan ke orang Quraisy. Isi suratnya mengabarkan akan
keberangkatan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menuju Makkah untuk
melakukan serangan mendadak. Surat ini beliau titipkan kepada seorang
wanita dengan upah tertentu dan langsung disimpan di gelungannya. Namun,
Allah Dzat Yang Maha Melihat mewahyukan kepada NabiNya tentang apa yang
dilakukan Hatib. Beliau-pun mengutus Ali dan Al Miqdad untuk mengejar
wanita yang membawa surat tersebut.
Setelah Ali berhasil menyusul wanita tersebut, beliau langsung
meminta suratnya. Namun, wanita itu berbohong dan mengatakan bahwa
dirinya tidak membawa surat apapun. Ali memeriksa hewan tunggangannya,
namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
tidak bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau kami akan
menelanjangimu.”
Setelah tahu kesungguhan Ali radhiyallahu ‘anhu, wanita itupun menyerahkan suratnya kepada Ali bin Abi Thalib.
Sesampainya di Madinah, Ali langsung menyerahkan surat tersebut
kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dalam surat tersebut tertulis
nama Hatib bin Abi Balta’ah. Dengan bijak Nabi shallallahu ‘alahi wa
sallam menanyakan alasan Hatib. Hatib bin Abi Balta’ah pun menjawab:
“Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang
yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku tidak murtad dan tidak
mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku
bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak.
Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara
orang-orang yang bersama Anda memiliki kerabat yang bisa melindungi
mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi
kerabatku di sana.”
Dengan serta merta Umar bin Al Khattab menawarkan diri,
“Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta bersikap munafik.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dengan bijak menjawab,
“Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang
pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya
ampuni.”
Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, “Allah dan rasulNya lebih mengetahui.”
Demikianlah maksud hati Hatib. Beliau berharap dengan membocorkan
rahasia tersebut bisa menarik simpati orang Quraisy terhadap dirinya,
sehingga mereka merasa berhutang budi terhadap Hatib. Dengan keadaan
ini, beliau berharap orang Quraisy mau melindungi anak dan istrinya di
Makkah. Meskipun demikian, perbuatan ini dianggap sebagai bentuk
penghianatan dan dianggap sebagai bentuk loyal terhadap orang kafir
karena dunia. Tentang kisah shahabat Hatib radhiyallahu ‘anhu ini
diabadikan oleh Allah dalam firmanNya,”
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan
musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka
mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah….”
(Qs. Al Mumtahanah: 1)
Satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah Hatib bin Abi
Balta’ah radhiyallahu ‘anhu adalah bahwa sesungguhnya orang yang
memberikan loyalitas terhadap orang kafir sampai menyebabkan ancaman
bahaya terhadap Islam, pelakunya tidaklah divonis kafir, selama
loyalitas ini tidak menyebabkan kecintaan karena agamanya. Pada ayat di
atas, Allah menyebut orang yang melakukan tindakan semacam ini dengan
panggilan, “Hai orang-orang yang beriman……” Ini menunjukkan bahwa status
mereka belum kafir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar