Kenapa Imam Syafii Digelari Pembela Sunnah (Naashirus Sunnah) ?
Para sejarawan mengatakan bahwa Imam Al-Syafi’i adalah satu-satunya
Imam Madzhab yang menyebrakan madzhabnya sendiri. Yaitu ia menyebarkan
madzhab sendiri dengan perjalanan-perjalanan yang ia lakukan untuk
menuntut ilmu.
Sampai pada satu daereh, beliau memulai studinya
dan juga mengajarkan. Terlihat ketika beliau belajar di Hijaz kepada
Imam Malik (179 H), lalu mulai menggantikan posisi Imam Malik untuk
menjadi pengajar Fiqih di Masjid Nabawi.
Tidak lama berselang,
muncul keinginannya untuk mempelajari fiqih Ahl Al-Iraq, yaitu fiqih
madzhab-nya Imam Abu Hanifah (150 H). Sampai di Iraq beliau menghabiskan
waktunya untuk mempelajari Fiqih Hanafi dari “bapak”[1]-nya, yaitu Imam
Muhammad bin Hasan (189 H) yang merupakan murid langsung Imam Abu
Hanifah.
Di Baghdad, sang Imam bukan hanya menuntut ilmu dari
kedua sahabat Imam Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan juga Ya’kub Abu
Yusuf (184 H). Beliau juga menyebarkan pendapatnya pribadi dan
menuliskannya dengan mendiktekannya kepada salah seorang muridnya di
Baghdad, yaitu Ibnu Shobah Al-Za’faroni (259 H).
Setelah Baghdad,
beliau mulai lagi rihlah (perjalanan) menuntut ilmu ke Mesir guna
mempelajari Fiqih-nya Imam Al-Laits bin Sa’d (175 H), yang merupakan
sahabat Imam Malik bin Anas. Di Mesir, beliau juga menyebarkan
madzhabnya yang kemudian muridnya Al-Rabi’ bin Sulaiman (270 H) menjadi
penulis bagi kitabnya Imam Syafi’i.
Nah, ketika di Baghdad
itulah Imam Syafi’i banyak berdiskusi dengan para ulama madzhab Hanafi,
termasuk bapaknya yaitu Imam Muhammad bin Hasan Al-Syaibani perihal
kehujahan hadits Ahad. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu orang di
setiap tingkatannya.
Imam Syafi’i Nashiru Sunnah (Pembela Sunnah)
Di sinilah kemudian beliau mendapatkan gelar Nashiru Al-Sunnah (Pembela
Sunnah). Apa sebab sehingga Imam Al-Syafi’i digelari sebagai Pembela
Sunnah?
Kita harus lihat kembali apa yang dilakukan oleh para
ulama madzhab Imam Abu Hanifah perihal hadits ahad untuk dijadikan
sebagai landasan dalil bagi mereka. Sudah masyhur bahwa madzhab Imam Abu
Hanifah sangat ketat sekali menerima sebuah hadits dalam
masalah-masalah fiqih madzhab mereka.
Mereka tidak menerima
hadits kecuali jika itu diriwayatkan oleh orang banyak, artinya hadits
itu haruslah mutawatir. Tidak diriwayatkan hanya satu orang, dengan
asumsi bahwa perawi itu bisa saja bohong melihat kondisi sosial dan
politik ketika itu.
Kalau pun ada hadits ahad, mereka hanya
menerima jika itu diriwayatkan oleh para ulama ulama Iraq yang masyhur
dan dipercaya (Tsiqah), yaitu guru-guru mereka, seperti Ibrahin
Al-Nakho’i, Hammad bin Sulaiman, atau juga Alqamah.
Karena
kriteria yang ketat inilah membuat perbendaharaan hadits kaum muslim
ketika itu sangat dikit sekali, sehingga wajar saja akhirnya banyak yang
menggunakan ro’yu (logika) dalam memutuskan sebuah hukum perkara, dan
itu yang dilakukan oleh madzhab Imam Abu Hanifah.
Nah, ketika
Imam Syafi’i datang ke Baghdad, beliau mendebati dan membantah semua
argument para ulama madzhab Imam Abu Hanifah perihal penolakan mereka
terhadap hadits Ahad.
Dan argument-argumen Imam Syafi’i ini
termaktub dalam kitab ushul-nya, yaitu kitab Al-Risalah. Setidaknya ada 4
argumen sang Imam perihal pembelaannya terhadap kehujahan hadits Ahad
di depan Jemaah Imam Abu Hanifah:
Dalam dakwahnya, Nabi saw
mengutus sahabat beliau untuk menyebarkan Islam ke pelosok Jazirah yang
jumlahnya tidak sampai derajat tawatur[2] bahkan hanya satu orang
utusan. Artinya hadits yang disampaikan oleh utusan sahabat itu adalah
hadits Ahad. Kalau sedanianya harus dengan hadits mutawatir, pastilah
Nabi saw akan mengirim lebih banyak lagi. Tapi Nabi hanya mengirim dalam
jumlah yang tidak banyak, bahkan hanya satu orang seperti Muadz yang
diutus ke Yaman.
Dalam sejarahnya, Nabi saw memutuskan perkara
peradilan pidana dalam hal qishash itu hanya dengan kesaksian 2 orang.
Dan 2 orang bukanlah jumlah tawatur, akan tetapi Nabi saw menerima
kesaksian mereka.
Dalam haditsnya, Nabi saw memerintahkan bagi
siapa yang mendengar hadits darinya untuk disampaikan kepada yang lain
walaupun hanya satu orang. Dan beliau memuji mereka yang melakukan hal
serupa. Kalau memang hadits ahad itu tidak bisa dijadikan dalil,
pastilah Nabi saw mensyaratkan orang banyak untuk menyamoaikan hadits,
karena pastinya banyak hadits-hadits hukum yang disampaikan beliau. Tapi
Nabi saw tidak mensyaratkan itu.
Setelah Nabi saw wafat, para
sahabt ridhwanullah ‘alaihim juga meriwayatkan hadits dan
menyampaikannya ke pelosok negeri dengan jalur seorang diri. Kalau
seandainya harus dengan jumlah banyak, pastilah mereka mensyaratkan itu,
tapi nyatanya tidak.
Ini adalah di antara Hujjah Imam Syafi’i
yang beliau tuliskan dalam kitabnya Al-Risalah (hal. 401), sebagai
bentuk pembelaan terhadap hadits Nabi saw sehingga tidak terabaikan.
Al-Risalah Kitab Ushul dan Mushthalah Hadits
Bahkan bukan hanya perihal ihtijaj (menjadikan argument) dengan hadits
Ahad saja. Beliau juga menuliskan bagaimana sebuah hadits ahad itu
diterima dan dikatakan sah sebagai hadits sehingga bisa dijadikan
sandaran dalil.
Yang kalau dalam ilmu musthalah hadits sekarang
dikatakan sebagai kriteria penerimaan hadits shahih. Maka tidak heran
tidak sedikit ulama yang mengatakan bahwa kitabnya, Al-Risalah ini juga
bisa disebut sebagai kitab musthalah hadits, karena di dalamnya mencakup
banyak permasalah materi musthlaha hadits, terutama dalam kriteria
menerima hadits tersebut.
Berkat upaya beliau inilah, sehingga
muslim kembali punya perbendaharaan yang banyak terhadap hadits. Mereka
tidak lagi harus menimbang apakah hadits itu diriwayatkan oleh banyak
atau sedikit. Yang penting itu diriwayatkan oleg tsiqah dari tsiqah
juga, tidak peduli berapa jumlahnya.
Kalau hanya hadits mutawatir
yang diterima, pastilah umat muslim sangat sulit sekali mencari
pegangan yang bisa dijadikan sandaran dalam ibadah-badaha mereka. Karena
bagaimanapun hampir semua ibadah orang muslim itu sandarannya adalah
hadits ahad, melihat bahwa hadits mutawatir memang sangat sedikit sekali
jumlahnya.
Itu dia kenapa Imam Syafi’i mendapatkan gelar Nashiru Sunnah.
Jadi wajar saja kalau Imam Ahmad bin Hanbal (241 H) sering mendoakan
Imam Syafi’i dan memujinya. Salah satu pujian Imam Ahmad yang masyhur
ialah:
كان الشافعي كالشمس للدنيا وكالعافية للناس
“Imam
Syafi’I itu seperti matahri bagi dunia, dan seperti kesehatan bagi
manusia (semua orang membutuhkannya)” (Tarikh Baghdad 2/66)
Wallahu a’lam
[1] Beberapa ulama menyebut kalau Imam Muhammad bin Hasan adalah ayah
angkat Imam Al-Syafi’i. karena ketika di Baghdad, semua kebutuhan Imam
Al-Syafi’i ditanggung oleh Imam Muhammad bin Hasan, dari mulai tempat
tinggal sampai kitab-kitab madzhab ulama. Bahkan kepergiannya ke Mesir
itu juga dibiayai oleh Imam Muhammad bin Hasan, yang mana beliau memang
sangat berkecukupan karena posisinya sebagai penasehat Abbasiah.
[2] Jumlah perawi sampai hadits itu dikatakan sebagai hadits mutawatir
ialah minimal 10 orang. Walaupun ada juga ulama hadits yang tidak
membatasi jumlah minimal, yang terpenting ialah diriwayatkan oleh orang
banyak yang tidak mungkin ada kebohongan atau pemalsuan di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar