Kamis, 10 April 2014

T A L Q I N


10 November 2011 pukul 13:33
  Disunnahkan melakukan talqin setelah mayit dikuburkan dengan sempurna. Al-Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab dan dalam kitab al-Adkar menuliskan tata cara melakukan talqin terhadap mayit yang telah dikuburkan[1]. Yaitu dengan mengatakan:

يَا عَبْدَ اللهِ يَا ابْنَ أَمَةِ اللهِ  -ثَلاَثَ مَرَّاتٍ- اُذْكُرِ العَهْدَ الَّذِيْ خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَبِالقُرْءَانِ إِمَامًا.

“Wahai hamba Allah, wahai anak seorang perempuan hamba Allah -dengan disebut nama mayit dan nama ibunya, jika tidak diketahui nama ibunya maka dinisbahkan ke Hawwa’- (diucapkan sebanyak tiga kali), ingatlah perjanjian yang engkau yakini di dunia sampai engkau meninggal dunia; yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa engkau menerima dengan sepenuh hati Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu dan al-Qur’an sebagai pemandu dan pembimbingmu”.

            Jika mayit tersebut seorang perempuan maka permulaan kalimat talqin adalah dengan mengucapkan “Ya Amatallah ibnata Amatillah...”. Artinya, “Wahai perempuan hamba Allah, anak seorang perempuan hamba Allah...”, kemudian disebutkan nama mayit tersebut dan nama ibunya, jika tidak diketahui nama ibunya maka dinisbahkan kepada Hawwa’. Kalimat ini diucapkan sebanyak tiga kali. Setelah itu kemudian membacakan kalimat di atas dengan mengganti lafazh “Udzkur” menjadi “Udzkuri”, mengganti lafazh “Kharajta” menjadi “Kharajti”, menganti lafazh “Annaka” menjadi “Annaki”, dan mengganti lafazh “Radlita” menjadi “Radliti”.

            Hadits yang menjelaskan anjuran talqin terhadap mayit adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Hafizh ath-Thabarani. Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab at-Talkhish al-Habir menuliskan sebagai berikut:

وَرَدَ بِهِ الْخَبَرُ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ. الطَّبَرَانِيُّ عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ: إِذَا أَنَا مِتُّ فَاصْنَعُوْا بِيْ كَمَا أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا، أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَ: "إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمْ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لْيَقُلْ: يَا فُلاَنُ ابْنَ فُلاَنَةٍ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلاَ يُجِيْبُ، ثُمَّ يَقُوْلُ يَا فُلاَنُ ابْنَ فُلاَنَةٍ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِيْ قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُوْلُ: يَا فُلاَنُ ابْنَ فُلاَنَةٍ، فَإِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشِدْنَا يَرْحَمُكَ اللهُ، وَلكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ، فَلْيَقُلْ: اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَبِالقُرْءَانِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ وَيَقُوْلُ: انْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا عِنْدَ مَنْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، قَالَ: فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ ؟ قَالَ: "يَنْسِبُهُ إِلَى أُمِّهِ حَوَّاء، يَا فُلاَنُ ابْنَ حَوَّاء"، وَإِسْنَادُهُ صَالِحٌ، وَقَدْ قَوَّاهُ الضِّيَاءُ فِيْ أَحْكَامِهِ.

“Talqin mayit setelah dikuburkan terdapat dalam hadits Nabi. Ath-Thabarani meriwayatkan dari Abu Umamah: Jika aku meninggal, lakukanlah kepadaku apa yang Rasulullah perintahkan untuk kita lakukan terhadap orang-orang yang meninggal di antara kita. Rasulullah memerintahkan kita, beliau berkata: Jika salah seorang saudara kalian meninggal lalu kalian timbunkan tanah di atas kuburnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian berdiri di dekat kepalanya, lalu mengatakan: Wahai Fulan anak Fulanah, sungguh dia mendengar tetapi tidak bisa menjawab. Kemudian hendaklah ia mengatakan lagi: Wahai Fulan anak Fulanah, sungguh dia akan bergerak dan duduk. Kemudian hendaklah ia mengatakan lagi: Wahai Fulan anak Fulanah, sungguh dia akan mengatakan: Berilah kami petunjuk, semoga anda dirahmati oleh Allah, tetapi kalian tidak melihat itu semua. Kemudian hendaklah ia mengatakan:

اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَبِالقُرْءَانِ إِمَامًا.

Maka Malaikat Munkar dan Nakir, masing-masing akan memegang tangan temannya mengajaknya pergi dan mengatakan: Marilah kita pergi, untuk apa kita duduk di dekat orang yang sudah diajarkan hujjahnya. Abu Umamah berkata: Salah seorang bertanya kepada Nabi: Wahai Rasulullah, Jika ia tidak mengetahui ibunya? Rasulullah menjawab: “Hendaklah ia nasabkan kepada ibunya; Hawwa', Wahai Fulan ibn Hawwa’”. Sanad hadits ini Shalih dan al-Hafizh adl-Dliya' menganggapnya kuat dalam kitab Ahkam-nya”[2].

Penjelasan yang sama tentang talqin seperti yang telah dituliskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar ini, dituliskan pula oleh al-Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin[3].

Talqin ini diperlukan karena setelah dikuburkan mayit akan menghadapi pertanyaan dua Malaikat; Munkar dan Nakir. Al-Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam kitab Sunan, juga al-Imam al-Baihaqi meriwayatkannya dengan sanad yang hasan dari sahabat ‘Utsman ibn 'Affan, bahwa ia berkata: “Setiap Rasulullah selesai menguburkan mayit, beliau berdiri di dekatnya kemudian mengatakan:

اِسْتَغْفِرُوْا لأَخِيْكُمْ، وَاسْأَلُوْا اللهَ لَهُ التَّـثْبِيْتَ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ (رواه أبو داود والبيهقيّ)

“Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian, dan mintakan kepada Allah agar dikuatkan karena dia sekarang ditanya oleh Munkar dan Nakir”. (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)

         Dalam hadits di atas telah disebutkan bahwa Malaikat Munkar dan Nakir, masing-masing akan memegang tangan satu sama lainnya untuk mengajak sama-sama pergi. Kemudian salah satunya mengatakan: Marilah kita pergi, untuk apa kita duduk di dekat orang yang sudah diajarkan hujjahnya. Dengan demikian faedah dari talqin adalah agar mayit akan terbebas dari pertanyaan dua Malaikat; Munkar dan Nakir dan diselamatkan dari siksa kubur.[4]  

            Talqin ini disunnahkan bagi mayit yang sudah baligh. Al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar, menuliskan:

وَأَمَّا تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ، فَقَدْ قَالَ جَمَاعَةٌ كَثِيْرُوْنَ مِنْ أَصْحَابِنَا بِاسْتِحْبَابِهِ، وَمِمَّنْ نَصَّ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ: الْقَاضِي حُسَيْنٌ فِيْ تَعْلِيْقِهِ، وَصَاحِبُهُ أَبُوْ سَعْدٍ الْمُتَوَلِّي فِيْ كِتَابِهِ "اَلتِّـتِمَّةُ"، وَالشَّيْخُ الإِمَامُ الزَّاهِدُ أَبُوْ الْفَتْحِ نَصْرُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ نَصْرٍ الْمَقْدِسِيُّ، وَالإِمَامُ أَبُوْ القَاسِمِ الرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُمْ، وَنَقَلَهُ الْقَاضِي حُسَيْنٌ عَنِ الأَصْحَابِ" ثُمَّ قَالَ: "وَسُئِلَ الشَّيْخُ الإِمَامُ أَبُوْ عَمْرِو بْنُ الصَّلاَحِ رَحِمَهُ اللهُ عَنْ هذَا التَّلْقِيْنِ، فَقَالَ فِيْ فَتَاوِيْهِ: التَّلْقِيْنُ هُوَ الَّذِيْ نَخْتَارُهُ وَنَعْمَلُ بِهِ، وَذَكَرَهُ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا الْخُرَاسَانِيِّيْنَ .

“Adapun mengenai talqin mayyit setelah dimakamkan, sekelompok besar dari Ashhab asy-Syafi’i (tokoh-tokoh besar madzhab Syafi’i) menyatakan bahwa hal itu sunnah hukumnya. Mereka yang menegaskan kesunnahan tersebut, di antaranya adalah: al-Qadli Husein dalam Ta'liq-nya, muridnya; Abu Sa'd al-Mutawalli dalam kitabnya at-Titimmah, Syekh al-Imam az-Zahid Abu al-Fath Nashr ibn Ibrahim ibn Nashr al-Maqdisi, al-Imam Abu al-Qasim ar-Rafi'i dan lainnya, al-Qadli Husein menukil kesunnahan ini dari para Ashhab asy-Syafi'i”. Kemudian an-Nawawi mengatakan: “Al-Imam Abu 'Amr Ibn ash-Shalah pernah ditanya tentang talqin ini, dan beliau menjawab dalam kumpulan fatwanya: Talqin ini yang kita pilih dan kita amalkan, dan telah diterangkan oleh Ashhab asy-Syafi'i yang ada di Khurasan”[5].

            Bahkan Ibn Taimiyah dalam al-Fatawa menyebutkan bahwa talqin mayit setelah dikuburkan hukumnya boleh, dan beberapa sahabat Rasulullah telah memerintahkan untuk dilakukan talqin tersebut, seperti sahabat Abu Umamah. Demikian pula dengan murid Ibn Taimiyah; Ibn al-Qayyim juga menyebutkan hal yang sama dalam kitabnya ar-Ruh.



[1]  al-Majmu’ Syrah al-Muhadzdzab, j. 5, h. 266-267. Lihat pula al-Adzkar, h. 162
[2] at-Talkhish al-Habir, j. 2, h. 135
[3]  Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 10, h. 368
[4] Ini adalah rahmat yang Allah berikan kepada orang yang ditalqin tersebut, seperti halnya orang yang diberikan oleh Allah karunia mati syahid karena dibunuh secara zhalim atau karena kerobohan bangunan atau karena kebakaran dan semacamnya. Orang semacam ini tidak akan dikenai siksa kubur atau siksa akhirat meskipun ia pada masa hidupnya banyak melakukan maksiat dan dosa besar kepada Allah.
[5]  al-Adzkar, h. 162-163
Suka · ·

Tidak ada komentar:

Posting Komentar