Minggu, 27 April 2014

Seks ISLAM

Seks ISLAM - Hubungan Suami Istri Dihitung Pahala

Hubungan Suami Istri Dihitung Pahala

hubungan yang dihitung pahala
setelah membaca artikel Cara Bersetubuh dan posisi seks Menurut Islam, berikut ini akan diulas tentang bagaimana hukumnya dalam berhubungan suami istri.
Ada beberapa hadis-hadis dan pendapat para ulama yang berisi panduan dari Rasulullah SAW , para sahabat dan para ulama tentang hubungan suami istri. Berikut ini beberapa di antaranya.
Ada hadis yang menjelaskan bahwa dalam hubungan suami istri hendaknya dilakukan dengan pendahuluan terlebih dahulu, atau dalam bahasa sekarang istilahnya adalah 'foreplay'.
Sabda Rasulullah SAW:
"Janganlah antara kamu melakukan hubungan badan dengan isterinya seperti binatang. Sebaiknya mereka melakukan dua perkara terlebih dulu." Sahabat bertanya, apa dua perkara itu? Rasulullah menjawab "kecupan dan kata-kata mesra” (Hadis riwayat Dailami).
Dalam hadis tersebut nampak bahwa ada hal tentang seks yang tidak difahami oleh sahabat, sehingga kemudian mereka bertanya lalu Rasulullah SAW menjelaskan. Dari hadis ini dapat diambil pelajaran bahwa menjadi tanggung jawab bagi seorang pemimpin dan guru untuk menerangkan sesuatu yang kurang difahami dalam soal hubungan kelamin / seks, dan hal ini bukanlah sesuatu yang memalukan.


Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari meriwayatkan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ :
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ كِلَانَا جُنُبٌ وَكَانَ يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ صحيح البخاري (1/ 499)
Dari Aisyah berkata, "Aku dan Nabi SAW pernah mandi bersama dari satu wadah. Ketika itu kami berdua sedang junub. Baginda juga pernah memerintahkan aku memakaikan kain, lalu beliau mencumbuiku sedangkan aku sedang haid.”
Dari hadis ini juga menjadi jelas bahwa bercumbu antara suami istri diperbolehkan dalam keadaan istri sedang haid.
Para sahabat juga pernah membicarakan tentang hubungan seks suami isteri bila terdapat keadaan memerlukan, seperti riwayat di bawah ini: 
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ فَقَالَ:
إِنِّي مَصِصْتُ عَنْ امْرَأَتِي مِنْ ثَدْيِهَا لَبَنًا فَذَهَبَ فِي بَطْنِي فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا أُرَاهَا إِلَّا قَدْ حَرُمَتْ عَلَيْكَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ انْظُرْ مَاذَا تُفْتِي بِهِ الرَّجُلَ فَقَالَ أَبُو مُوسَى فَمَاذَا تَقُولُ أَنْتَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ لَا رَضَاعَةَ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ مَا كَانَ هَذَا الْحَبْرُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ
Dari Malik dari Yahya bin Sa'id berkata, "Seorang lelaki bertanya kepada Abu Musa Al Asy'ari; "Aku pernah menghisap payudara isteriku hingga air susunya masuk ke dalam perutku. Abu Musa menjawab; Menurutku isterimu setatusnya telah berubah menjadi mahrammu." Abdullah bin Mas'ud pun berkata; "Lihatlah (Bagaimana) kamu boleh berfatwa begini kepada lelaki ini?!" Abu Musa bertanya; "Bagaimana pendapatmu dalam hal ini?" Abdullah bin Mas'ud berkata; "Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali bila masih pada masa penyusuan. (sebelum bayi berumur 2 tahun sahaja)" Kemudian Abu Musa berkata; "Janganlah kamu semua menanyakan suatu perkara kepadaku selagi orang alim ini (Ibnu Mas'ud) masih berada bersama."

Dari perbincangan para sahabat tersebut menjadi jelas bagaimana tentang perkara bercumbu suami istri yang menyebabkan air susu istri tertelan oleh suami.
Fatwa Imam Malik, yang juga pernah memberikan kuliah sebagai berikut:
وَقَالَ ) الْإِمَامُ ( مَالِكُ ) بْنُ أَنَسٍ ( لَا بَأْسَ بِالنَّخْرِ عِنْدَ الْجِمَاعِ كشاف القناع عن متن الإقناع (17/ 409)
"Imam Malik berkata; Tidak mengapa desahan/mengerang panjang ketika berjimak (berhubungan suami istri) " (Kassyaf Al-Qina’'An Matni Al-Iqna, vol.18 ms 409)
Perkara ini barangkali tidak ada di dalam hadis, namun demikian Imam Malik merasa perlu menjelaskannya kembali supaya tidak terjadi kebingungan di kalangan murid dan pengikutnya.
Imam Abu Hanifah (Hanafi). As-Syarbini dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj mengambil riwayat dialog antara Abu Hanifah dengan muridnya Abu Yusuf;
سَأَلَ أَبُو يُوسُفَ أَبَا حَنِيفَةَ عَنْ مَسِّ الرَّجُلِ فَرْجَ زَوْجَتِهِ وَعَكْسِهِ ، فَقَالَ : لَا بَأْسَ بِهِ ، وَأَرْجُو أَنْ يَعْظُمَ أَجْرُهُمَا مغني المحتاج (12/ 68)
"Abu Yusuf bertanya kepada Abu Hanifah tentang seorang lelaki yang saling sentuh menyentuh (untuk merangsang) kemaluan dengan isterinya. Abu Hanifah menjawab; Tidak mengapa, dan aku berharap pahala keduanya besar." (Mughni Al-Muhtaj, vol.12 ms 68)
Sehebat-hebat Imam Hanafi, Imam Mazhab yang pertama, sebelum kedatangan Imam Malik dan Imam Syafie pun membincangkan soal seks dan menjadi catatan hingga sampai kepada kita. Peliknya ada seorang di akhir zaman menolak perbincangan ini.
Penjelasan dari Imam At-Thabari, meriwayatkan;
عن ليث قال: تذاكرنا عند مجاهد الرجل يلاعب امرأته وهي حائض، قال: اطعن بذكرك حيث شئت فيما بين الفخذين والأليتين والسرة، ما لم يكن في الدبر أو الحيض تفسير الطبري (4/ 380)
"Dari Laits beliau berkata; kami berbincang dekat Mujahid tentang seorang lelaki yang mencumbu isterinya ketika haid. Mujahid berkata; "Tusukkan zakarmu di manapun yang engkau hendak di celah dua paha, dua punggung dan pusat. Selagi tidak di dubur atau di faraj ketika haid” (tasfir At-Thobari, vol; 4 ms 380)
Dari kisah-kisah di atas, nampak bahwa salah satu tugas ulama/guru/pemimpin adalah menjelaskan penerapan seks dalam Islam kepada para pengikutnya.
Hubungan seks antara suami istri dalam Islam selain membawa kesenangan bagi kedua suami istri, juga dihitung kegiatan yang berpahala. Penjelasannya dapat dilihat pada hadis berikut:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!.” Mendengar sabda Rasulullah itu para shahabat keheranan dan bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? “Jawab para shahabat : “Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim, Ahmad dan Nasa’i).
Redaksi lain yang lebih panjang tentang hadis ini:
Dari Abu Dzar r.a. berkata, bahwasanya sahabat-sahabat Rasulullah saw. berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah saw., orang-orang kaya telah pergi membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.” Rasulullah saw. bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan untukmu sesuatu yang dapat disedekahkan? Yaitu, setiap kali tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh pada kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan hubungan intim kalian (dengan isteri) adalah sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya dan dia mendapatkan pahala?” Rasulullah saw. menjawab, “Bagaimana pendapat kalian jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, apakah ia berdosa? Demikian juga jika melampiaskannya pada yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Jadi dengan demikian rupanya seks yang halal dalam Islam itu bukan hanya membawa kesenangan dunia, namun juga akan menjadi pahala yang diperhitungkan sebagai kesenangan di akhirat kelak.

Istri hormat kepada suami

Cukup terkenal hadis yang menyebutkan bahwa kalau Allah memerintahkan orang untuk sujud, maka Rasulullah akan perintahkan seorang istri untuk sujud pada suaminya.
seorang istri yang baik selalu menghormati suaminya, berikut kisah yang menguatkan hal tersebut:
Seekor unta mendekati Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu ia merunduk sebagai ungkapan sujud kepada beliau, maka para sahabat berkata, “Rasulullah, hewan dan tumbuhan sujud kepadamu, semestinya kamilah yang lebih berhak untuk sujud kepadamu.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sembahlah Rabb kalian, muliakanlah saudara kalian, kalau aku memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seseorang tentulah aku perintahkan istri bersujud kepada suaminya.”

Bermesraan suami istri di bulan ramadhan

Nasihat dari Ibnu Abbas tentang pergaulan suami istri di bulan Ramadhan (bulan puasa):
“Dari Said bin Jubeir bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Ibnu Abbas: ‘Aku menikahi seorang putri anak paman saya, ia seorang yang cantik. Saya membawanya pada bulan Ramdhan. Maka bolehkah bagi saya menciumnya?’ maka Ibnu Abbas menjawab: “Apakah engkau bisa menahan hawa nafsu?’ dia menjawab: ‘Ya,’
Ibnu Abbas berkata: “Ciumlah!”
Laki-laki itu betanya lagi: ‘Bolehkah saya bercumbu dengannya?’
Ibnu Abbas bertanya: ‘Bisakah engkau meredam nafsumu?’
Laki-laki itu menjawab: ‘Ya.’
Ibnu Abbas berkata: ‘Bercumbulah.”
Laki-laki itu bertanya lagi: ‘Bolehkah tangan saya memegang kemaluannya?’
Ibnu Abbas bertanya: ‘Bisakah engkau meredam nafsumu?’
Laki-laki itu menjawab: ‘Ya.’
Ibnu Abbas berkata: ‘Peganglah.”

trus bagaimana Melayani hasrat suami amalan yang besar?

Taat dan selalu berbakti pada suami merupakan kewajiban seorang istri, selama bukan untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Bahkan ketaatan istri pada suami serta mengakui hak suami pahalanya disamakan dengan jihad di jalan Allah. Namun sayang, hanya sedikit dari para wanita yang melakukannya.
Ada beberapa perkara yang jika dikerjakan maka akan membawa seorang wanita untuk memasuki surga, seperti hadis berikut: Nabi SAW bersabda yang bermaksud:
"Apabila seorang isteri telah mendirikan sholat lima waktu dan berpuasa bulan Ramadhan dan memelihara kehormatannya dan mentaati suaminya, maka diucapkan kepadanya: Masuklah Surga dari pintu surga mana saja yang kamu kehendaki." (Riwayat Ahmad dan Thabrani)
Memelihara kehormatan ini artinya menjaga kemaluan, menjauhkan diri dari berhubungan seks dengan selain suaminya. 
Suami merupakan surga dan neraka seorang istri. Apabila istri taat pada suami, maka surga yang ia dapatkan, tetapi jika mengabaikan hak suami, tidak taat padanya, maka hal itu dapat menjatuhkannya ke dalam neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah dalam sebuah haditsnya,
“Perhatikanlah bagaimana hubunganmu dengannya, karena suamimu merupakan surgamu dan nerakamu.” (Riwayat Ibnu Abi Syaiban, an-Nasai, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi, dari bibinya Husain bin Mihshan ra, Adz-Dhahabi)

Mentaati suami ini maksudnya adalah mematuhi segala perintah suami dalam keadaan apapun. Salah satu hal yang perlu ditaati oleh istri adalah ajakan dari suami untuk berhubungan seks. Istri wajib melayani suami dengan baik, termasuk masalah berjima’. Istri tak boleh menolak, kecuali jika ia sakit atau memiliki udzur yang membuat tak bisa melakukan kewajiban tersebut.
Sabda Rasulullah SAW, “Apabila seorang suami mengajak istri ke tempat tidur (untuk berjima’), dan istri menolak (sehingga membuat suaminya murka), maka si istri akan dilaknat oleh malaikat hingga (waktu) subuh.” (Diriwayatkan Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’I, ad-Darimi dan al-Baihaqi, dari Abu Hurairah ra)
Dalam haditsnya yang lain Rasulullah bersabda, “Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang wanita tidak akan bisa menunaikan hak Allah sebelum ia menunaikan hak suaminya. Andaikan suami meminta dirinya padahal ia sedang berada di atas punggung unta, maka ia (istri) tetap tidak boleh menolak.” (Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban dari Abdullah bin Abi Aufa ra) 


Istri hendaknya ikut saja kepada suami ketika sang suami mengajaknya untuk berhubungan seks. Sebaiknya berpikir positif saja bahwa sang suami terangsang karena sesuatu hal sehingga suami perlu untuk menyalurkan hasratnya kepada istrinya. Hal ini dicontohkan oleh Nabi menurut kisah berikut: 
Dari Jabir, sesungguhnya Nabi saw pernah melihat wanita, lalu beliau masuk ke tempat Zainab, lalu beliau tumpahkan keinginan beliau kepadanya, lalu keluar dan bersabda, “Wanita, kalau menghadap, ia menghadap dalam rupa setan. Bila seseorang di antara kamu melihat seorang wanita yang menarik, hendaklah ia datangi istrinya, karena pada diri istrinya ada hal yang sama dengan yang ada pada wanita itu.” (HR Tirmidzi)
Dari hadis tersebut tentunya bukan berarti Nabi itu orang yang tidak tahan dengan wanita. Beliau itu adalah orang yang paling tahan terhadap hawa nafsu, namun demikian beliau melakukan hal tersebut sebagai contoh kepada para umatnya, yaitu untuk para suami jika terangsang oleh wanita lain, maka hendaknya hasrat seks tersebut disalurkan kepada istrinya. Jadi para suami tidak usah malu jika tiba-tiba mesti pulang 'mendatangi' istrinya.
Bagi para istri juga, jika tiba-tiba sang suami ingin menyalurkan hasratnya, hendaknya disambut dengan baik, karena hal ini adalah melaksanakan sunnah Rasul. Pada zaman dulu ketika orang masih soleh-solehah, sulit lelaki terangsang di luar rumah karena para wanita sangat menjaga aurat, namun pada zaman yang sudah rusak ini sangat mudah bagi lelaki untuk terangsang secara seksual mengingat banyak sekali wanita yang tidak menjaga auratnya di muka umum, sedangkan tidak mungkin juga kaum lelaki tinggal saja di rumah. Selain dari pertemuan langsung, rangsangan juga dapat melalui televisi, koran, website, facebook, dan sebagainya. Jadi bagi para istri jangan kaget kalau suami sehabis membaca koran langsung mengajak masuk kamar
Bentuk ketaatan seorang istri pada suami itu antara lain sebagai berikut :
Selalu menjaga kehormatan diri dan suami serta harta suami. Sebagaiman Allah firmankan dalam an-Nisa’ : 34: “Maka wanita-wanita yang baik itu ialah yang mentaati (suaminya) dan menjaga (hal-hal) yang tersembunyi dengan cara yang dipeliharakan oleh Allah.” 
Sabda Rasulullah SAW dalam haditsnya, “Tidaklah mau aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang paling baik dijadikan bekal seseorang? Wanita yang baik (shalihah), yang jika dilihat (suami) ia menyenangkan, jika diperintah (suami) ia mentaatinya, dan jika (suami) meninggalkannya ia menjaga dirinya dan harta suaminya.” (Riwayat Abu Daud dan an-Nasa’I).
Istri juga tidak boleh berpuasa sunnah kecuali dengan izin suaminya, apabila suaminya berada di rumahnya (tidak safar). Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW, “Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sedangkan suaminya ada (tidak safar) kecuali dengan izinnya. Tidak boleh ia mengizinkan seseorang memasuki rumahnya kecuali dengan izinnya. Apabila ia menginfakkan harta dari usaha suaminya tanpa perintahnya, maka separuh ganjarannya adalah untuk suaminya.” 
Seorang istri harus melaksanakan hak suami, mengatur rumah dan mendidik anak.
Jika istri berkewajiban mematuhi suami dalam melampiaskan syahwatnya, maka lebih wajib lagi baginya untuk taat pada suami dalam urusan yang lebih penting dari itu, seperti masalah pendidikan anak dan kebaikan.
Pekerjaan ini adalah tugas yang sesuai dengan fitrah, bahkan merupakan tugas pokok yang wajib dilaksanakan dan diupayakan dalam rangka membentuk usrah (keluarga) bahagia dan mempersiapkan generasi yang baik.
Seorang istri berkewajiban pula untuk selalu menjaga kemuliaan dan perasaan suami, baik dalam penampilan, tidak menuntut suami dengan hal yang tak mampu, tidak melawan suami atau melakukan hal yang tidak disukainya, dan tidak merendahkannya ataupun menjelekkan keluarga suami. Sebab hal itu bisa membuatnya tidak ridho.
Maka benarlah apa yang dilakukan para sahabat Rasulullah SAW, apabila menyerahkan wanita kepada suaminya, mereka memerintahkan agar melayani suami, menjaga haknya dan mendidik anak-anak. Tunduk pada suami mereka dengan penuh kerelaan, mendengar dan taat pada suami dengan cara yang baik. Tidak mengeluh hingga suami tak menyukainya serta tidak mengkhianatinya. Para sahabat ini membekali putri mereka dengan nasehat sebagai dasar-dasar kehidupan suami istri yang penuh kebahagiaan.
Demikianlah, seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangganya, bagi istri juga bagi anak-anaknya. Karena Allah telah menjadikannya sebagai pemimpin, Allah memberikan keutamaan yang lebih besar pada laki-laki atas wanita, karena dialah yang berkewajiban memberi nafkah pada istrinya. Masing-masing dari suami atau istri memiliki hak dan kewajiban. Namun suami mempunyai kelebihan atas istrinya. Hingga setelah wali atau orangtua sang istri menyerahkan kepada suaminya, maka kewajiban taat kepada suami menjadi hak tertinggi yang harus dipenuhinya, setelah kewajiban taatnya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW.
Perlu diketahui, Islam hanya membatasi ketaatan tersebut dalam hal-hal yang ma’ruf sesuai petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti yang dipahami generasi salafush shalih. Jika perintah suami bertentangan dengan hal di atas, tidak ada kewajiban bagi seorang istri untuk menaatinya, namun istri berkewajiban memberi nasihat pada suami dengan lemah lembut dan kasih sayang

Kewajiban Suami Terhadap Istri

Ada beberapa ayat/hadis yang menunjukkan bahwa suami itu adalah pemimpin dalam keluarganya, yang tentu saja perlu memenuhi keperluan-keperluan istrinya termasuk dalam perkara hubungan suami istri.
Dari Sulaiman bin Amr bin Al Ahwash berkata; Telah menceritakan kepadaku Bapakku bahwa dia melaksanakan haji wada' bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau bertahmid dan memuji Allah, beliau memberi pengingatan dan nasehat. Beliau menuturkan cerita dalam haditsnya, lantas bersabda: "Ketahuilah, berbuat baiklah terhadap wanita, karena mereka adalah tawanan kalian. Kalian tidak berhak atas mereka lebih dari itu, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika mereka melakukannya, jauhilah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Jika kemudian mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Ketahuilah; kalian memiliki hak atas istri kalian dan istri kalian memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas istri kalian ialah dia tidak boleh memasukkan orang yang kalian benci ke tempat tidur kalian. Tidak boleh memasukan seseorang yang kalian benci ke dalam rumah kalian. Ketahuilah; hak istri kalian atas kalian ialah kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan (kepada) mereka." (H.R. At-Tirmidzi)  
Dalam hadis tersebut disebut beberapa hal:
Berbuat baiklah terhadap wanita (istri). Kebaikan suami pada istrinya tentunya adalah termasuk dalam memenuhi hasrat istri Tentang 'janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya', maksudnya seorang suami jangan menyusahkan istrinya yang sudah taat kepadanya. Salah satu kesusahan istri adalah hasratnya yang belum tertunaikan.
Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa berbuat baik pada istri adalah perbuatan yang utama, termasuk di dalamnya memenuhi kebutuhan batin sang istri. 
Perbandingan kewajiban suami dan istri dalam memenuhi hasrat pasangannya:
Secara ringkas, seorang istri memenuhi keinginan suaminya sebagai seorang pengikut yang taat kepada suaminya, sedangkan seorang suami memenuhi keperluan istrinya adalah dalam posisi sebagai seorang pemimpin yang bijaksana dan berkasih sayang.
Seorang istri dalam memenuhi hasrat suami, pertimbangannya relatif sederhana:
  1. ketaatannya pada Allah terutama fardhu 'ain
  2. ketaatannya pada suami
Jadi selama tidak bertentangan dengan perkara fardhu 'ain, seorang istri langsung menunaikan kewajibannya tersebut. 
Sedangkan seorang suami dalam memenuhi hasrat istrinya, pertimbangannya lebih banyak:
  1. ketaatannya pada Allah terutama fardhu 'ain
  2. posisi sebagai pemimpin & pendidik keluarga
  3. kewajibannya terhadap masyarakat terutama fardhu kifayah
Jadi dengan demikian seorang suami tidak dapat serta-merta memenuhi hasrat istrinya, karena ada pertimbangan lain.
Misalkan sang suami ada kewajiban di luar rumah yang mendesak dalam perkara fardhu kifayah, sehingga tidak dapat segera mengurus istrinya. Dapat juga terjadi istri perlu dididik dengan didiamkan dulu sementara jika ada masalah syariat yang perlu diselesaikan dengan cara didiamkan. 
Ringkasan
  • Bagi istri: wajib segera memenuhi kebutuhan fitrah suaminya.
  • Bagi suami: dalam kondisi ringan, yang terbaik bagi suami adalah untuk segera memenuhi kebutuhan fitrah istrinya tersebut.
demikian artikel tentang hubungan Suami Istri dalam Seks Islam
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,
الشُّهَدَاءُ سَبْعَةٌ سِوَى الْقَتْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ : الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ ، وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ ، وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ، وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ ، وَالْحَرِقُ شَهِيدٌ ، وَالَّذِي يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ ، وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيد .
“Syuhada’ (orang-orang mati syahid) yang selain terbunuh di jalan Allah itu ada tujuh: Korban wabah tha’un adalah syahid, mati tenggelam adalah syahid, penderita penyakit lambung (semacam liver) adalah syahid, mati karena penyakit perut adalah syahid, korban kebakaran adalah syahid, yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid, dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan adalah syahid.” (HR. Malik, Ahmad, Abu Dawud, dan al-nasai, juga Ibnu Majah. Berkata Syu’aib Al Arnauth: hadits shahih).
Ibnu Baththal berkata, “Adapun wanita yang meninggal bijum’in (karena melahirkan),” di dalamnya terdapat dua pendapat: Pertama, wanita yang meninggal karena melahirkan sedangkan anaknya yang berada di perutnya telah sempurna penciptaannya. Dikatakan juga: Apabila dia meninggal ketika nifas maka dia syahid, baik dia telah mengeluarkan anaknya lalu meninggal atau dia meninggal sementara anaknya masih berada di perutnya.
Kedua, adalah wanita yang meninggal masih perawan, sebelum ia mulai menstruasi tersentuh laki-laki. Dan pendapat pertama lebih masyhur secara bahasa.
Imam al-Qurthubi berkata dalam Al-Mufhim: Adapun ‘wanita yang meninggal bijum’in (karena melahirkan),’ dikatakan: dengan didhammahkan Jim dan dikasrahkannya, yaitu wanita yang meninggal dalam kondisi hamil, sementara anaknya masih ada di perutnya. Dikatakan: Dia adalah wanita yang meninggal dalam nifasnya dan karena nifas. Dikatakan juga: Yaitu wanita yang meninggal masih perawan dan belum dipecahkan keperawanannya. Dikatakan juga: Perawan yang belum dinikahi. Sedangkan pendapat pertama yang lebih baik dan lebih jelas. Wallahu Ta’ala a’lam.
Imam al-Nawawi berkata, “Adapun ‘wanita yang meninggal bijum’in (karena melahirkan),’ -dengan mendhammahkan jim, menfathahkan dan menkasrahkannya, sedangkan dengan  dhummah yang lebih masyhur- dikatakan: Wanita yang meninggal dalam kondisi hamil bersama anaknya yang masih di perutnya. Dikatakan juga: Dia adalah wanita perawan, sedangkan yang shahih adalah yang pertama.”
Dan tidak diragukan lagi bahwa wanita yang bersabar dan berharap pahala saat mengalami sakitnya melahirkan akan mendapat pahala. Dan sesungguhnya besarnya pahala sesuai dengan besarnya kesabaran . .
Ibnu Hajar berkata, “Adapun ‘wanita yang meninggal bijum’in (karena melahirkan),’ –dengan mndhammahkan jim dan mensukunkan mim, terkadang huruf jim difathahkan dan dikasrahkan-, adalah wanita-wanita yang nifas; Dan dikatakan: Wanita yang anaknya meninggal di perutnya lalu ibunya ikut meninggal karena sebab itu… dikatakan: Wanita yang meninggal masih perawan. Dan pendapat pertama yang paling masyhur.”
Dan tidak diragukan lagi bahwa wanita yang bersabar dan berharap pahala saat mengalami sakitnya melahirkan akan mendapat pahala. Dan sesungguhnya besarnya pahala sesuai dengan besarnya kesabaran sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Al-Zumar: 10) Wallahu Ta’ala A’lam. . . .
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2010/10/15/10955/benarkah-ibu-yang-meninggal-saat-melahirkan-diampuni-segala-dosanya/#sthash.3VmChZuA.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar