Jumat, 11 April 2014

Kisah - kisah

Umar menghukum anaknya hingga wafat

Sebagai seorang Khalifah, Umar bin Khattab terkenal sangat tegas dan tidak memberikan toleransi terhadap segala bentuk pelanggaran. Dia menghukum semua pelaku pelanggaran tanpa pandang bulu, termasuk putranya sendiri, Abdurrahman.

Abdurrahman merupakan salah satu putra Umar yang tinggal di Mesir. Dia telah melakukan pelanggaran dengan meminum khamr bersama dengan temannya hingga mabuk.

Abdurrahman kemudian menghadap ke Gubernur Mesir waktu itu, Amr bin Ash, meminta agar dihukum atas perbuatan yang telah dilakukannya. Amr bin Ash pun menghukum Abdurahman dan temannya dengan hukuman cambuk.

Tetapi, Amr bin Ash ternyata memberikan perlakuan yang berbeda. Jika teman Abdurrahman dihukum di hadapan umum, maka si putra Khalifah ini dihukum di ruang tengah rumahnya.

Umar bin Khattab pun mendengar kabar itu. Dia kemudian mengirim surat kepada Amr bin Ash agar memerintahkan Abdurrahman kembali ke Madinah dengan membungkuk, dengan maksud agar si anak dapat merasakan bagaimana menempuh perjalanan dengan kondisi yang sulit.

Amr bin Ash kemudian melaksanakan isi surat itu dan mengirim kembali surat balasan yang berisi permohonan maaf karena telah menghukum Abdurrahman tidak di hadapan umum. Umar tidak mau menerima cara itu.

Mendapat perintah itu, Abdurrahman kemudian kembali ke Madinah sesuai perintah, yaitu dengan berjalan membungkuk. Dia begitu kelelahan ketika sampai di Madinah.

Tanpa memperhatikan kondisi putranya, Umar bin Khattab langsung menyuruh algojo untuk melaksanakan hukuman cambuk kepada putranya. Seorang sahabat sepuh, Abdurrahman bin Auf pun mengingatkan agar Umar tak melakukan hal itu.

"Wahai Amirul Mukminin, Abdurrahman telah menjalani hukumannya di Mesir. Apakah perlu diulangi lagi?" kata Abdurrahman bin Auf.

Umar pun tidak mau menghiraukan perkataan Abdurrahman bin Auf. Dia meminta Algojo segera melaksanakan penghukuman itu.
Menghukum anaknya sampe meninggal

Kemudian, Umar mengingatkan kepada seluruh kaum muslim akan hadis Rasulullah tentang kewajiban menegakkan hukum, "Sesungguhnya umat sebelum kamu telah dibinasakan oleh Allah karena apabila di antara mereka ada orang besar bersalah, dibiarkannya, tetapi jika orang kecil yang bersalah, dia dijatuhi hukuman seberat-beratnya."

Abdurrahman lalu dicambuk berkali-kali di hadapan Umar. Dia pun meronta-ronta meminta tolong agar ayahnya mengurangi hukuman itu, tetapi Umar sama sekali tidak menghiraukan.

Bahkan, teriakan Abdurrahman semakin menjadi, dan mengatakan, "Ayah membunuh saya." Sekali lagi, Umar tidak menghiraukan perkataan anaknya.

Hukuman itu terus dijalankan sampai Abdurrahman dalam kondisi sangat kritis. Melihat hal itu, Umar hanya berkata, "Jika kau bertemu Rasulullah SAW, beritahukan bahwa ayahmu melaksanakan hukuman."

Akhirnya, Abdurrahman pun meninggal dalam hukuman. Umar sama sekali tidak menunjukkan kesedihan.

Usai hukuman terhadap Abdurrahman dijalankan, Umar melakukan pelacakan terhadap siapa saja penyebar khamr. Tidak hanya peminum, bahkan sampai penjual khamr pun mendapat hukuman yang berat.
(Disarikan dari buku 'Kisah Keadilan Para Pemimpin Islam' Nasiruddin)

Umar menangis karena rakyatnya kelaparan


 Saat menjabat sebagai Khalifah, Umar bin Khattab pernah menghadapi cobaan yang cukup berat. Saat itu, umat Islam dilanda paceklik karena masuk dalam tahun abu.

Di tahun itu, semua bahan makanan sulit didapat. Hasil pertanian sebagian besar tidak dapat dikonsumsi, sehingga menyebabkan umat Islam menderita kelaparan.

Suatu malam, Khalifah Umar bin Khattab mengajak seorang sahabat bernama Aslam menjalankan kebiasaannya menyisir kota. Dia hendak memastikan tidak ada warganya yang tidur dalam keadaan lapar.

Sampai pada satu tempat, Umar dan Aslam berhenti. Dia mendengar tangisan seorang anak perempuan yang cukup keras. Umar kemudian memutuskan untuk mendekati sumber suara itu, yang berasal dari sebuah tenda kumuh.

Setelah dekat, Umar mendapati seorang wanita tua terduduk di depan perapian sambil mengaduk panci menggunakan sendok kayu. Umar kemudian menyapa ibu tua itu dengan mengucap salam.

Si ibu tua itu menoleh kepada Umar dan membalas salam tersebut. Tetapi, si ibu kemudian melanjutkan kegiatannya.

"Siapakah yang menangis di dalam?" tanya Umar kepada ibu tua.

"Dia anakku," jawab ibu tua itu.

"Mengapa dia menangis? Apakah dia sakit?" tanya Umar lagi.

"Tidak. Dia kelaparan," jawab si ibu.

Umar dan Aslam kemudian tertegun. Setelah beberapa lama, keduanya merasa heran melihat si ibu tua tak juga selesai memasak.

Untuk mengatasi rasa herannya, Umar kemudian bertanya, "Apa yang kau masak itu? Kenapa tidak matang juga?"

Si ibu kemudian menoleh, "Silakan, kau lihat sendiri."

Umar dan Aslam kemudian menengok isi panci itu. Mereka seketika terkaget menjumpai isi panci yang tidak lain berupa air dan batu.

"Apakah kau memasak batu?" tanya Umar dengan sangat kaget. Si ibu menjawab dengan menganggukkan kepala.

"Untuk apa kau masak batu itu?" tanya Umar lagi.

"Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku yang sedang kelaparan. Semua ini adalah dosa Khalifah Umar bin Khattab. Dia tidak mau memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sejak pagi aku dan anakku belum makan sejak pagi. Makanya kusuruh anakku berpuasa dan berharap ada rezeki ketika berbuka. Tapi, hingga saat ini pun rezeki yang kuharap belum juga datang. Kumasak batu ini untuk membohongi anakku sampai dia tertidur," kata ibu tua itu.

"Sungguh tak pantas jika Umar menjadi pemimpin. Dia telah menelantarkan kami," sambung si ibu.

Mendengar perkataan itu, Aslam berniat menegur si ibu dengan mengingatkan bahwa yang ada di hadapannya adalah sang Khalifah. Namun, Umar kemudian menahan Aslam, dan segera mengajaknya kembali ke Madinah sambil meneteskan air mata.

Sesampai di Madinah, tanpa beristirahat, Umar langsung mengambil sekarung gandum. Dipikulnya karung gandum itu untuk diserahkan kepada sang ibu.

Melihat Umar dalam kondisi letih, Aslam segera meminta agar gandum itu diangkatnya. "Sebaiknya aku saja yang membawa gandum itu, ya Amirul Mukminin," kata dia.

Dengan nada keras, Umar menjawab, "Aslam, jangan kau jerumuskan aku ke dalam neraka. Kau bisa menggantikanku mengangkat karung gandum ini, tetapi apakah kau mau memikul beban di pundakku ini kelak di Hari Pembalasan?"

Aslam pun tertegun mendengar jawaban itu. Dia tetap mendampingi Khalifah mengantarkan sekarung gandum itu kepada si ibu tua.
 ----------------------------------------------------------------

 Umar menolak kenaikan gaji


Umar bin Khattab merupakan sahabat yang menjadi pemimpin umat Islam usai meninggalnya Rasulullah Muhammad SAW. Dia ditunjuk oleh Khalifah sebelumnya, Abu Bakar As Shiddiq untuk menggantikannya.

Dalam menjalankan tugasnya, Umar terkenal sangat disiplin dan benar-benar mencontoh perilaku Rasulullah. Dia sama sekali tidak ingin melakukan hal yang menyimpang dari ajaran Rasulullah, baik sebagai pribadi maupun sebagai seorang khalifah.

Saat menjabat sebagai Khalifah, Umar sama sekali tidak pernah meminta kenaikan gaji. Dia pun tidak memanfaatkan uang dari Baitul Maal yang berada di bawah kekuasaannya, kecuali hanya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, serta untuk bekal haji dan umroh.

Pernah suatu ketika, Ali bin Abi Thalib memiliki usulan untuk menaikkan gaji Khalifah. Ini lantaran melihat kondisi setiap kali menerima tamu negara, Umar tidak pernah berpakaian yang mewah.

Ide itu diusulkan ke dewan sahabat dan mendapat dukungan, salah satunya dari Usman bin Affan. Tetapi, usulan itu sulit diwujudkan lantaran jika Umar akan marah jika mendengar secara langsung.

Akhirnya, dewan sahabat memutuskan untuk meminta putri Umar bin Khattab yang juga merupakan salah satu istri Rasulullah, Hafsah, untuk menyampaikan usulan itu ke ayahnya. Hafsah pun menyampaikan usulan itu kepada Umar.

Perkataan Hafsah membuat muka Umar merah padam. Dia kemudian bertanya siapa yang mengusulkan kenaikan gaji itu, tetapi Hafsah tidak menjawab.

"Kalau aku tahu siapa nama-nama di balik pikiran kotor itu, akan aku datangi mereka satu per satu dan kutampar mereka dengan tanganku," kata Umar.
--------------------------------------------------------------------------------------------

Nabi di ludai wanita Tua


 Rasulullah Muhammad SAW sering mendapat hinaan dari orang-orang yang belum mau memeluk Islam. Berbagai bentuk hinaan diterima Rasulullah, mulai dari perkataan sampai tindakan, seperti diludahi.

Tetapi, Rasulullah menanggapi berbagai hinaan tanpa pernah sekalipun dengan marah. Beliau bahkan menganggap hinaan itu sebagai hiburan.

Ada seorang wanita tua yang sangat berani mencerca Rasulullah. Setiap kali Rasulullah lewat depan rumahnya, wanita tua itu selalu meludahkan air liurnya di hadapan Rasulullah.

Suatu hari, Rasulullah tidak mendapati wanita tua itu meludah saat lewat di depan rumahnya. Hal itu membuat Rasulullah keheranan.

Akhirnya, Rasulullah bertanya kepada seseorang, "Hai fulan, tahukah kamu, di mana wanita pemilik rumah ini, yang selalu meludahiku setiap aku lewat depan rumahnya?"

Orang itu menjawab dengan acuh, "Apa kau tidak tahu bahwa perempuan itu sudah beberapa hari terbaring sakit?"

Mendengar jawaban itu, Rasulullah mengangguk-anggukkan kepala dan melanjutkan perjalanan menuju masjid. Setelah selesai, Rasulullah memutuskan untuk menjenguk wanita tua itu.

Mengetahui Rasulullah menjenguknya, wanita tua itu kemudian meneteskan air mata. Dia kemudian bertanya mengapa Rasulullah mau menjenguknya.

"Wahai Muhammad, mengapa engkau menjengukku, padahal aku selalu meludahimu setiap hari?" tanya wanita tua itu.

Rasulullah kemudian menjawab, "Aku yakin, engkau meludahiku karena belum tahu tentang kebenaranku. JIka engkau sudah mengetahuinya, aku yakin engkau tak akan lagi melakukannya."

Jawaban Rasulullah membuat dada wanita tua itu sesak dan sedikit kesulitan bernapas. Si wanita kemudian mencoba mengatur napas dan menenangkan diri.

Setelah dalam keadaan tenang, wanita tua itu kemudian berbicara, "Wahai Muhammad, mulai saat ini aku bersaksi mengikuti agamamu." Wanita tua itu kemudian mengucapkan kalimat syahadat di hadapan Rasulullah.
-------------------------------------------------------------------------------------------

Nabi marah kepada Umar bin Zaid karena ceroboh

Marah adalah sifat yang sama sekali tidak pernah dimiliki oleh Rasulullah Muhammad SAW. Pribadi Rasulullah adalah pribadi yang sabar dalam menghadapi apapun.

Meskipun demikian, bukan berarti Rasulullah tidak pernah marah. Rasul pun marah terhadap hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam

Suatu ketika, Rasulullah benar-benar marah kepada Usamah bin Zaid. Ini karena Usamah telah membunuh Mirdas bin Nuhaik dalam insiden setelah penaklukan benteng Khaibar.

Kala itu, kaum muslimin terlibat pertempuran dengan kelompok musyrikin. Seorang musyrik, Mirdas bin Nuhaik, berhasil membunuh beberapa prajurit muslim.

Usamah kemudian memburu Mirdas hingga dia terjepit. Dalam kondisi seperti itu, Mirdas kemudian mengucapkan kalimat syahadat.

Tetapi, Usamah ragu dengan keimanan Mirdas. Sehingga Usamah tetap saja membunuh Mirdas yang jelas telah memeluk Islam.

Mendengar kabar itu, Rasulullah marah. "Kenapa tidak kau belah saja hati orang itu sehingga kau tahu apakah hatinya mengucapkan kalimat syahadat atau tidak?" kata Rasulullah kepada Usamah dengan wajah memerah karena marah.

Usamah kemudian meminta Rasulullah memohonkan ampun kepada Allah SWT. Rasulullah pun menampik hal itu.

"Usamah! Bagaimana engkau akan mempertanggungjawabkan tindakanmu membunuh seseorang yang telah mengucapkan kalimat syahadat pada hari kiamat kelak?" kata Rasulullah sampai dua kali.

Hal itu membuat Usamah merasa kelu. Dia merasa belum memeluk Islam dan ingin memperdalam pemahaman akan ajaran agama itu.
 Kisah Umar bin Khattab menghukum putranya hingga mati
Kisah Umar bin Khattab tolak kenaikan gaji sebagai khalifah
Kisah Rasulullah marah pada Usamah bin Zaid karena ceroboh
Kisah Rasulullah diludahi seorang wanita tua


" Kisah Kejujuran Imam asy-Syafi'i rahimahullah yang luar biasa "

Kisah Kejujuran Imam asy-Syafi'i rahimahullah yang luar biasa.

Imam asy-Syafi'i rahimahullah sebelum berangkat belajar ke Madinah belajar kepada Imam Malik rahimahullah, beliau berkata Ibu nya : "Wahai ibu, berilah saya nasehat.!"

Ibunya berkata : "Wahai anak ku, berjanjilah kepada ku untuk tidak berdusta."

Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata : "Saya berjanji kepada Allah lalu kepada mu untuk tidak berdusta."

Beliau waktu usia nya masih kecil, dibekali oleh ibu nya uang 400 dirham.

Beliau menaiki hewan tunggangan nya dan keluar bersama rombongan menuju Madinah, Imam asy-Syafi menyimpan uang itu didalam sebuah kantong yang ia jahit disela - sela bajunya. Ditengah - tengah perjalanan ada rampok yang merampas seluruh harta rombongan tersebut, tatkala sampai dihadapan Imam asy-Syafi'i yang masih kecil, para perampok itu bertanya : "Apakah kamu membawa uang?"

Imam asy-Syafi'i yang masih kecil ini menjawab : "IYA"

Perampok : "Berapa?"

Imam Asy-Syafi'i : "Saya membawa uang 400 dirham."

Para perampok tersebut tertawa sambil mengejek beliau dan berkata : "Pergilah, apakah kamu hendak mengolok - olok kami? Pergilah sana. Apakah orang seperti mu membawa uang sebanyak empat ratus dirham?" (kata para perampok dengan tidak percaya).

Kemudian asy-Syafi'i berhenti disamping rombongan kafilah yang dirampok.

para pemimpin rampok berkata kepada anak buah nya : "Apakah kalian telah mengambil semuanya?"

Mereka (anak buah) menjawab : "Ya"

Pemimpin rampok : "Apakah kalian tidak meninggalkan seorang pun?"

Mereka (anak buah) menjawab : "Tidak, kecuali seorang anak kecil yang mengaku telah membawa uang sebanyak 400 dirham, namun anak tersebut gila atau hanya ingin mengolok - olok kita, sehingga kami pun menyuruhnya pergi."

Pemimpin rampok berkata : "Bawa anak itu kemari."

Mereka pun membawa Syafi'i kecil.
Kemudian pemimpin rampok itu bertanya kepada beliau : "Apakah kamu membawa uang, wahai anak kecil?"

Syafi'i kecil menjawab : "Ya"

Pemimpin Rampok berkata : "Berapa uang yang kamu bawa?"

Syafi'i kecil: "Empat ratus dirham."

Pemimpin perampok itu bertanya lagi, "Dimana uang itu?"

Lalu Syafi'i kecil mengeluarkan uang tersebut dari balik pakian nya dan menyerahkan nya kepada pemimpin kawanan perampok tersebut.

Pemimpin rampok itu menuangkan uang - uang tersebut kepangkuan nya, lalu ia memandangi syafi'i kecil dengan keheranan dan berkata : "Kenapa kamu jujur kepada ku ketika aku tadi bertanya kepada mu, dan kamu tidak berdusta kepadaku, padahal kamu tahu bahwa uang mu akan hilang?"

Syafi'i kecil pun menjawab : "Saya jujur kepada mu karena saya telah berjanji kepada ibu ku untuk tidak berdusta kepada siapa pun."

Mendengar penuturan Syafi'i kecil itu, tiba - tiba tangan pemimpin rampok itu berhenti memain - mainkan uang 400 dirham tersebut, karena hatinya telah bergetar karena hidayah dari Allah.

Lalu pemimpin rampok itu berkata sambil mengembalikan uang tersebut kepada Syafi'i kecil : "Ambillah uang mu, kamu takut untuk mengkhianati janji mu kepada ibu mu, sedangkan aku tidak takut berkhianat kepada janji Allah Subhanhu wa ta'ala? Pergilah, wahai anak kecil dalam keadaan aman dan tenang, karena aku telah bertaubat kepada Zat yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang melalui kedua tangan mu dengan taubat ini dan aku tidak akan pernah mendurhakai-Nya lagi selamanya."

Kemudian pemimpin kawanan perampok itu memandang anak buahnya dan berkata dalam firman Allah:

إنّ الله يامركم أن تؤدّوا الأمانات إلى أهلها
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerima nya..." [An-Nisa ayat 58]

Lalu anak buahnya berkata sambil membawa harta dan berbagai perhiasan rombongan kafilah yang mereka rampok tadi dan mengembalikan nya, dan mereka berkata kepada pemimpin mereka "Wahai tuan kami, anda telah bertaubat dengan Zat Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang, sedangkan anda adalah pemimpin kami. Oleh karena itu kami lebih pantas untuk bertaubat daripada anda."

Akhirnya mereka semua bertaubat kepada Allah, lewat kejujuran Imam asy-Syafi'i kecil.

[Diringkas dan disadur dari buku Biografi Imam Syafi'i hal 17-20, Abdul Aziz asy-Syinawi. Judul aslinya Al-Aimmah Al-Arba'ah Hayatuhum Mawaqifuhum Ara'ahum Qadhiyusy Syariah al-Imam asy-Syafi'i]

===[SUBHANALLAH]===


Kasih Sayang Rasulullah kepada Orang Sakit


*Dari buku Keajaiban Cinta Rasul

Tak ada manusia yang dapat hidup seorang diri. Setiap manusia pasti membutuhkan manusia lain. Islam tak hanya mengajarkan habluminallah, tetapi juga habluminannas. Salah satu bentuk habluminannas ini adalah mengunjungi orang yang sedang sakit.
Rasulullah Saw. telah mencontohkan hal ini. Dalam salah satu hadis, beliau menetapkan bahwa menjenguk orang sakit adalah kewajiban seorang muslim terhadap muslim yang lain. Menjenguk orang yang sakit ini bertujuan untuk memberikan rasa kasih sayang dan cinta kepada si sakit dan keluarganya, serta turut merasakan kesusahan mereka sehingga mengurangi kesusahan di hati mereka.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, sahabat Abdullah bin Umar r.a. menuturkan bahwa Sa’ad bin Ubadah sedang sakit. Lalu Rasulullah dan beberapa sahabat mengunjunginya. Ketika beliau masuk dan menemui keluarga Sa’ad bin Ubadah r.a., beliau bertanya,
“Apakah ia sudah sembuh?” Keluarganya menjawab, “Belum, wahai Rasulullah.” Rasulullah pun menangis mendengarnya.
Pada kesempatan lain, Rasulullah Saw. mengunjungi Ummu Ala, seorang shahabiyah yang sedang sakit. Beliau bersabda, “Bergembiralah, wahai Ummu Ala, sebab Allah akan menghapus dosa-dosa seorang muslim dengan sakit seperti api yang menghapus kotoran emas dan perak.” (HR Abu Dawud)

Rasulullah tak sekadar mengunjungi orang yang sakit, tetapi juga mendoakan kesembuhan bagi si sakit. “Hilangkanlah penyakitnya, wahai Rabb manusia. Sembuhkanlah. Engkaulah Maha Penyembuh. Tiada kesembuhan selain kesembuhan darimu. Kesembuhan yang tidak mendatangkan penyakit lagi.” (HR Bukhari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar