Sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam :
عَنْ الْأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ أَنَّهُ قَالَ أَشْهَدُ عَلَى أَبِي
هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا يَقْعُدُ
قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمْ
الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ
السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Artinya :
Dari Al Aghorr Abi Muslim, ia berkata ; Aku menyaksikan Abu Huroiroh
dan Abu Sa’id Al Khudzri, keduanya menyaksikan bahwa Nabi shollallohu
‘alaihi wasallam bersabda : “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil
berdzikir kepada Alloh melainkan para malaikat mengelilingi mereka,
rahmat tercurah pada mereka, ketenangan turun atas mereka, dan Alloh
memuji mereka dihadapan makhluk yang ada di sisi-Nya. (HR. Muslim sanad
Sahih )
Dicatat Ulang Oleh Von Edison Alouisci
09/09/2013 09:14|
WAHABI: “Sering kita dapati sebagian ustadz atau kiyai yang mengatakan,
“Tahlilan kok dilarang?, tahlilan kan artinya Laa ilaah illallahh?”.
Tentunya tidak seorang muslimpun yang melarang tahlilan, bahkan yang
melarang tahlilan adalah orang yang tidak diragukan kekafirannya. Akan
tetapi yang dimaksud dengan istilah
“Tahlilan” di sini adalah acara yang dikenal oleh masyarakat yaitu acara
kumpul-kumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan
sang mayit agar dirahmati oleh Allah.
Lebih aneh lagi jika ada yang melarang tahlilan langsung dikatakan “Dasar wahabi”..!!!
Seakan-akan pelarangan melakukan acara tahlilan adalah bid’ah yang dicetus oleh kaum wahabi !!?”
SUNNI: “Kenyataan di lapangan, yang sangat ngotot memerangi Tahlilan
adalah kaum Wahabi, bukan selain Wahabi. Terus mau apalagi?”
WAHABI: “Sementara para pelaku acara tahlilan mengaku-ngaku bahwa mereka
bermadzhab syafi’i !!!. Ternyata para ulama besar dari madzhab
Syafi’iyah telah mengingkari acara tahlilan, dan menganggap acara
tersebut sebagai bid’ah yang mungkar, atau minimal bid’ah yang makruh.
Kalau begitu para ulama syafi’yah seperti Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam
An-Nawawi dan yang lainnya adalah wahabi??!!”
SUNNI: “Sudah
kami katakan berulang kali, bahwa para ulama Syafi’iyah hanya
memakruhkan selamatan/kenduri kematian. Dan makruhnya masih makruh
tanzih, bukan tahrim. Para ulama Salaf, dan madzahibul arba’ah (madzhab
empat), tidak ada yang mengharamkan kenduri kematian dan Tahlilan. Jadi
mereka sepakat tidak mengharamkan.
Imam al-Syafi’i dan Imam
al-Nawawi, dengan pendapatnya tersebut bukan Wahabi. Beliau berdua
sepakat membagi bid’ah menjadi dua, hasanah dan sayyi’ah, bertabaruk,
bertawasul dan beristighatsah dan lain-lain yang dikafirkan dan
disyirikkan oleh kaum Wahabi.
Anda perlu mempelajari teori
bermadzhab. Agar mengerti hakikat bermadzhab, dan tidak dengan mudah
menyalahkan orang karena tidak konsisten dalam bermadzhab. Sehingga
tulisan Anda menjadi bahan tertawaan kalangan berilmu.”
WAHABI: “Ijmak Ulama bahwa Nabi, para sahabat, dan para imam madzhab tidak pernah tahlilan.
Tentu sangat tidak diragukan bahwa acara tahlilan –sebagaimana acara
maulid Nabi dan bid’ah-bid’ah yang lainnya- tidaklah pernah dilakukan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga para sahabatnya,
tidak juga para tabi’in, dan bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4
imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad
rahimahumullah).”
SUNNI: “Anda mengatakan hal tersebut sebagai
ijma’, pertanyaan kami, kitab apa yang menjadi dasar rujukan Anda???
Jelasnya, Nabi SAW, sahabat dan ulama Salaf telah berijma’ tidak
mengharamkan kenduri kematian dan Tahlilan, bahkan sebagian menganjurkan
sebagaimana kami tulis dalam catatan sebelumnya.”
WAHABI:
“Istri Nabi SAW yang sangat beliau cintai Khodijah radhiallahu ‘anhaa
juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama sekali tidak
beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000
bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan. Demikian juga kerabat-kerabat
beliau yang beliau cintai meninggal di masa hidup beliau, seperti paman
beliau Hamzah bin Abdil Muthholib, sepupu beliau Ja’far bin Abi
Thoolib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat beliau yang meninggal di
medan pertempuran, tidak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
SUNNI: “Anda selalu
berdalil dengan teori tarku, Nabi SAW tidak mengerjakan ini dan itu.
Sekarang kami bertanya kepada Anda, apakah Nabi SAW pernah melarang
kenduri kematian dan Tahlilan, hari ke 3, 7, 40, 100, 1000??? Kalau Nabi
SAW tidak melarang, bukankah larangan Anda juga termasuk bid’ah????”
WAHABI: “Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam Asy-Syaafi’i rahimahumallahu)
فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
“Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada hari disempurnakan
Agama kepada Nabi, yaitu masa Nabi dan para sahabat-pen) bukan merupakan
perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara
agama.”(Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)”
SUNNI: “Lebih indah lagi adalah sabda Rasulullah SAW yang membenarkan bid’ah hasanah:
قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ
سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ
مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى
الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ
شَىْءٌ ».
“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memulai dalam
Islam perbuatan yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala
orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa terkurangi sedikitpun dari
pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai dalam Islam perbuatan yang
buruk, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakan
sesudahnya tanpa terkurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka.” (HR
Muslim).
Hadits di atas menjadi Dalil Bid’ah Hasanah, sebagaimana
seringkali kami jelaskan dengan mengutip pernyataan al-Imam al-Nawawi
dalam Syarh Shahih Muslim.
Kalau Anda menggugat kami sebagai pengikut Imam al-Syafii, harus Anda ketahui bahwa Imam al-Syafii berkata:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً
أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي
الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ
مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).
“Bid’ah
(muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi
al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah
(tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi
al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”.
(Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Anda juga harus tahu,
bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama yang paling Anda kagumi melebihi
seluruh ulama salaf, para sahabat dan tabi’in, juga mengakui bid’ah
hasanah, dan berkata :
وَمِنْ هُنَا يُعْرَفُ ضَلاَلُ مَنِ ابْتَدَعَ
طَرِيْقًا أَوِ اعْتِقَادًا زَعَمَ أَنَّ اْلاِيْمَانَ لاَ يَتِمُّ اِلاَّ
بِهِ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّ الرَّسُوْلَ صلى الله عليه وسلم لَمْ
يَذْكُرْهُ، وَمَا خَالَفَ النُّصُوْصَ فَهُوَ بِدْعَةٌ بِاتِّفَاقِ
الْمُسْلِمِيْنَ، وَمَا لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهُ خَالَفَهَا فَقَدْ لاَ
يُسَمَّى بِدْعَةً، قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ البِدْعَةُ
بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ خَالَفَتْ كِتَابًا وَسُنَّةً وَإِجْمَاعًا وَأَثَرًا
عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَهَذِهِ
بِدْعَةُ ضَلاَلَةٍ وَبِدْعَةٌ لَمْ تُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
فَهَذِهِ قَدْ تَكُوْنُ حَسَنَةً لِقَوْلِ عُمَرَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ
هَذِهِ هَذَا الْكَلاَمُ أَوْ نَحْوُهُ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ
بِاِسْنَادِهِ الصَّحِيْحِ فِي الْمَدْخَلِ. (الشيخ ابن تيمية، مجموع
الفتاوى ۲٠/١٦٣).
“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang
membuat-buat cara atau keyakinan baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan
tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia
mengetahui bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang
menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin.
Sedangkan pandangan yang tidak diketahui menyalahinya, terkadang tidak
dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’i RA berkata, “Bid’ah itu ada dua.
Pertama, bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan atsar
sebagian sahabat Rasulullah SAW. Ini disebut bid’ah dhalalah. Kedua,
bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut bid’ah
hasanah, berdasarkan perkataan Umar, “Inilah sebaik-baik bid’ah”.
Pernyataan al-Syafi’i ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab
al-Madkhal dengan sanad yang shahih.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Majmu’
al-Fatawa, juz 20, hal. 163).
WAHABI: “Bagaimana bisa suatu
perkara yang jangankan merupakan perkara agama, bahkan tidak dikenal
sama sekali di zaman para sahabat, kemudian lantas sekarang menjadi
bagian dari agama !!!”
SUNNI: “Guru-guru Anda kaum Wahabi telah
sepakat dan berijma’ bolehnya menggelar hari nasional Kerajaan Saudi
Arabia, dan menggelar acara Usbu’ Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
an-Najdi (pekan pendiri Wahabi), setiap tahun yang digelar di Riyadh.
Tolong Anda tanyakan kepada guru-guru Anda yang masih hidup. Apa bedanya
hal tersebut dengan Tahlilan, Maulid Nabi SAW, Haul dan lain-lain???””
WAHABI: “B. Yang Sunnah adalah meringankan beban keluarga mayat bukan malah memberatkan
Yang lebih tragis lagi acara tahlilan ini ternyata terasa berat bagi
sebagian kaum muslimin yang rendah tingkat ekonominya. Yang seharusnya
keluarga yang ditinggal mati dibantu, ternyata kenyataannya malah
dibebani dengan acara yang berkepanjangan…biaya terus dikeluarkan untuk
tahlilan…hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000…
Tatkala datang kabar tentang meninggalnya Ja’far radhiallahu ‘anhu maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
اِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena sesungguhnya telah
datang kepada mereka perkara yang menyibukan mereka” (HR Abu Dawud no
3132
Al-Imam Asy-Syafi’I rahimahullah berkata :
وَأُحِبُّ
لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ
الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك
سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا
وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى
اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ
أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
“Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau
para kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang
mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat.
Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan
perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala
datang kabar tentang kematian Ja’far maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’afar,
karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”
(Kitab Al-Umm 1/278)”
SUNNI: “Ada beberapa tanggapan terhadap
pernyataan Anda di atas: Pertama, Anda berarti tidak tahu kondisi riil
di masyarakat. Umat Islam Indonesia, dalam kenduri kematian tidak
meninggalkan Sunnah. Justru mereka telah melakukannya, dengan
berbondong-bondong menyumbangkan beras, kebutuhan pokok dan uang untuk
keluarga duka cita.
Kedua, Kesunnahan membantu keluarga duka cita,
itu adalah mafhum, bukan manthuq, dari hadits di atas. Nah, karena hal
tersebut bersifat mafhum, tentu adanya hukum sunnah dan makruh itu
karena ada ‘illat, yaitu meringankan atau memberatkan keluarga duka
cita. Ketika ‘illat tersebut hilang, maka hukumnya juga berubah, sebagai
banyak sekali dikemukakan oleh para ulama, alhukmu yaduuru ma’a
‘illatihi wujuudan wa ‘adaman. Oleh karena itu, sebagian ulama
Syafi’iyah berfatwa, bahwa ketika jamuan makanan itu hasil sumbangan
dari tetangga atau kerabat jauh, maka hal tersebut tidak dihukumi
makruh. Fahham ya duktuur Firanda Andirja. Oleh karena kutipan Anda dari
kitab-kitab fiqih Syafi’iyah, tidak begitu penting untuk dibahas di
sini, karena Anda tidak memahaminya dari perspektif ilmu fiqih.”
WAHABI: “Mereka yang masih bersikeras melaksanakan acara tahlilan
mengaku bermadzhab syafi’iyah, akan tetapi ternyata para ulama
syafi’iyah membid’ahkan acara tahlilan !!. Lantas madzhab syafi’iyah
yang manakah yang mereka ikuti ??”
SUNNI: “Sebaiknya Anda
mempelajari terlebih dahulu teori bermadzhab, dan mendalami kaitan
agama, dakwah dan tradisi, agar Anda tidak bertanya seperti di atas,
yang sama sekali tidak berbobot.”
WAHABI: “Kedua : Para ulama
telah ijmak bahwasanya mendoakan mayat yang telah meninggal bermanfaat
bagi sang mayat. Demikian pula para ulama telah berijmak bahwa sedekah
atas nama sang mayat akan sampai pahalanya bagi sang mayat. Akan tetapi
kesepakatan para ulama ini tidak bisa dijadikan dalil untuk melegalisasi
acara tahlilan, karena meskipun mendoakan mayat disyari’atkan dan
bersedakah (dengan memberi makanan) atas nama mayat disyari’atkan, akan
tetapi kaifiyat (tata cara) tahlilan inilah yang bid’ah yang
diada-adakan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya. Kreasi
tata cara inilah yang diingkari oleh para ulama syafi’iyah, selain
merupakan perkara yang muhdats juga bertentangan dengan nas (dalil) yang
tegas.”
SUNNI: “Kreasi Tahlilan, yaitu bacaan campuran antara
ayat al-Qur’an, shalawat, kalimah Thayyibah dan lain-lain, tidak pernah
dibid’ahkan oleh ulama manapun, kecuali kaum Wahabi seperti Anda. Bahkan
Syaikh Ibnu Taimiyah membenarkannya dan berkata dalam Majmu’
Fatawa-nya:
وَسُئِلَ: عَنْ رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ
يَقُولُ لَهُمْ : هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ
بِدْعَةٌ وَهُمْ يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُونَ ثُمَّ
يَدْعُونَ لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُونَ
التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ
وَالْحَوْقَلَةَ وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم”
فَأَجَابَ : الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ
وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ
وَالْعِبَادَاتِ فِي الْأَوْقَاتِ فَفِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : ( إنَّ للهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي
الْأَرْضِ فَإِذَا مَرُّوا بِقَوْمِ يَذْكُرُونَ اللهَ تَنَادَوْا
هَلُمُّوا إلَى حَاجَتِكُمْ ) وَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَفِيهِ ( وَجَدْنَاهُمْ
يُسَبِّحُونَك وَيَحْمَدُونَك )… وَأَمَّا مُحَافَظَةُ الْإِنْسَانِ عَلَى
أَوْرَادٍ لَهُ مِنْ الصَّلَاةِ أَوْ الْقِرَاءَةِ أَوْ الذِّكْرِ أَوْ
الدُّعَاءِ طَرَفَيْ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنْ اللَّيْلِ وَغَيْرُ ذَلِكَ :
فَهَذَا سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالصَّالِحِينَ مِنْ
عِبَادِ اللهِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا. (مجموع فتاوى ابن تيمية، ٢٢/٥٢٠).
“Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir
(berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini bid’ah,
mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”. Mereka memulai dan
menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang
masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara
tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa
billaah) dan shalawat kepada Nabi SAW.?” Lalu Ibn Taimiyah menjawab:
“Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah
amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap
waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah
memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila
mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka
mereka memanggil, “Silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits
tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih dan
bertahmid kepada-Mu”… Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan
wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap
pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini
merupakan tradisi Rasulullah SAW dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman
dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22, hal. 520).”
WAHABI: “Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu : “Kami memandang
berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah
dikuburkannya mayat termasuk niyaahah”. Diriwayatkan oleh Ahmad bin
Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih”
SUNNI:
“Pernyataan Jarir bin Abdullah, bukan kesepakatan semua sahabat,
terbukti dengan atsar dari Khalifah Umar dan Sayyidah ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana kami paparkan sebelumnya. Silahkan
Anda mengikuti Jarir, dan biarkan umat Islam mengikuti atsar Umar dan
‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum.”
WAHABI: “Demikian juga bahwasanya
membaca ayat al-kursiy bisa mengusir syaitan, akan tetapi jika ada
seseorang lantas setiap kali keluar dari masjid selalu membaca ayat
al-kursiy dengan dalih untuk mengusir syaitan karena di luar masjid
banyak syaitan, maka kita katakan hal ini adalah bid’ah. Kenapa?, karena
kaifiyyah dan tata cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi
dan para sahabatnya.”
SUNNI: “Pernyataan Anda telah ditolak
oleh guru kaum Wahabi, yaitu Syaikh Ibnu Baz yang berfatwa, menganjurkan
membaca surah al-Ikhlash dan Mu’awwidzatain setiap selesai shalat
secara rutin, dan setiap selesai shalat shubuh dan maghrib tiga kali
secara rutin. Demikian ini dianjurkan untuk menolak sihir dan aneka
keburukan. Hal tersebut juga tidak ada dasar seperti yang Anda gugatkan
kepada kami Ustadz Firanda. Silahkan Anda baca dalam, Fatawa wa Maqalat
Mutanawwi’ah, karya Syaikh Ibnu Baz, juz 8, hal. 115, dan juz 8 hal. 88.
Fatwa tersebut juga banyak disampaikan dalam fatwa-fatwa dan rosail
beliau.”
WAHABI: “Ketiga : Kalau kita boleh menganalogikan
lebih jauh maka bisa kita katakan bahwasanya orang yang nekat untuk
mengadakan tahlilan dengan alasan untuk mendoakan mayat dan
menyedekahkan makanan, kondisinya sama seperti orang yang nekat sholat
sunnah di waktu-waktu terlarang. Meskipun ibadah sholat sangat dicintai
oleh Allah, akan tetapi Allah telah melarang melaksanakan sholat pada
waktu-waktu terlarang.”
SUNNI: “Qiyas Anda sungguh Qiyas yang
bathil. Menyamakan shalat dengan Tahlilan. Anda gugat saja guru-guru
Anda, kaum Wahabi yang telah berijma’ membolehkan menggelar syukuran
hari raya Nasional Kerajaan Saudi Arabia dan Pekan Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab setiap tahun. Anda gugat dengan cara Qiyas Anda di atas,
pasti mereka akan menertawakan Anda karena Qiyas Anda tidak nyambung.”
WAHABI: “Keempat : Untuk berbuat baik kepada sang mayat maka kita bisa
menempuh cara-cara yang disyari’atkan, sebagaimana telah lalu.
Diantaranya adalah mendoakannya kapan saja –tanpa harus acara khusus
tahlilan-, dan juga bersedakah kapan saja, berkurban atas nama mayat,
menghajikan dan mengumrohkan sang mayat, dll.”
SUNNI: “Anda
melarang doa selama 7 hari, padahal ada atsar dari Thawus, ‘Ubaid bin
‘Umair dan Mujahid. Berarti menurut Anda, Tahlilan itu boleh selama
tidak dibatasi dengan hari-hari tertentu seperti 3, 7, 40, 100 dan
1000??? Mana dalil khusus yang menerangkan hal ini????
WAHABI:
“Adapun mengirimkan pahala bacaan Al-Qur’an maka hal ini diperselisihkan
oleh para ulama. Dan pendapat yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullah bahwasanya mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an tidak akan
sampai bagi sang mayat.”
SUNNI: “Kalau pengiriman pahala bacaan
al-Qur’an masih diperselisihkan oleh ulama, mengapa Anda
mempersoalkan???? Ini kan masalah khilafiyah klasik. Bukankah dalam
kaedah fiqih terdapat kaedah, laa yunkarul mukhtalafu fiih wainnamaa
yunkarul mujma’u ‘alaih (tidak perlu mengingkari persoalan khilafiyah,
akan tetapi yang perlu diingkari adalah persoalan yang disepakati oleh
seluruh ulama). Ini kaedah dalam madzhab Syafii. Seandainya Imam
al-Syafii, masih hidup pasti akan menegur Anda, yang membesarkan
persoalan khilafiyah.”
WAHABI: “Kelima : Kalaupun kita memilih
pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengirim bacaan al-qur’an akan
sampai kepada mayat, maka kita berusaha agar kita atau keluarga yang
mengirimkannya, ataupun orang lain adalah orang-orang yang amanah.”
SUNNI: “Ini ijtihad Anda sendiri, tidak ada ulama yang memberikan
persyaratan yang mengirim pahala al-Qur’an itu harus orang yang amanah.
Anda mengqiyaskan hal ini dengan tukang wesel pos atau pengantar surat.
Qiyas macam apa ini wahai duktur Firanda?”
WAHABI: “Adapun
menyewa para pembaca al-Qur’an yang sudah siap siaga di pekuburan
menanti kedatangan para peziarah kuburan untuk membacakan al-quran dan
mengirim pahalanya maka hendaknya dihindari karena :
- Tidak disyari’atkan membaca al-Qur’an di kuburan, karena kuburan bukanlah tempat ibadah sholat dan membaca al-Qur’an.”
SUNNI: “Pernyataan Anda sangat lucu, dan membuktikan bahwa Anda kurang
banyak membaca kitab-kitab para ulama, termasuk para ulama panutan
Wahabi yang menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan. Syaikh Ibnu
Qayyimil Jauziyyah, murid terkemuka Ibnu Taimiyah, panutan kaum Wahabi
berkata:
وَقَدْ ذُكِرَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُمْ
أَوْصَوْا أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَقْتَ الدَّفْنِ قَالَ
عَبْدُ الْحَقِّ يُرْوَى أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَمَرَ أَنْ
يُقْرَأَ عِنْدَ قَبْرِهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَمِمَّنْ رَأَى ذَلِكَ
الْمُعَلَّى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ الْخَلاَّلُ وَأَخْبَرَنِيْ
الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِىْ عَلِى بْنِ مُوْسَى
الْحَدَّادُ وَكَانَ صَدُوْقاً قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ
وَمُحَمَّد بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِىِّ فِيْ جَنَازَةٍ فَلَمَّا دُفِنَ
الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ
أَحْمَدُ يَا هَذَا إِنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ
فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنِ قُدَامَةَ
لأَحْمَدِ بْنِ حَنْبَلٍ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِيْ
مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيِّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا قَالَ
نَعَمْ فَأَخْبَرَنِيْ مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْعَلاَءِ
اللَّجْلاَجِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ
عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْتُ
ابْنَ عُمَرَ يُوْصِيْ بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ وَقُلْ
لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ. وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَاحِ الزَّعْفَرَانِيُّ
سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ
بَأْسَ بِهَا وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ كَانَتِ
اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ
يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ. (ابن قيم الجوزية، الروح، ص/١٨٦-١٨٧).
“Telah disebutkan dari sekelompok ulama salaf, bahwa mereka berwasiat
agar dibacakan al-Qur’an di sisi makam mereka ketika pemakaman. Imam
Abdul Haqq berkata, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa beliau berwasiat
agar dibacakan surat al-Baqarah di sisi makamnya. Di antara yang
berpendapat demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman. Al-Khallal
berkata, “al-Hasan bin Ahmad al-Warraq mengabarkan kepadaku, “Ali bin
Musa al-Haddad mengabarkan kepadaku, dan dia seorang yang dipercaya. Ia
berkata, “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah
al-Jauhari, ketika mengantar jenazah. Setelah mayit dimakamkan, seorang
laki-laki tuna netra membaca al-Qur’an di samping makam itu. Lalu Ahmad
berkata kepadanya, “Hai laki-laki, sesungguhnya membaca al-Qur’an di
samping makam itu bid’ah.” Setelah kami keluar dari makam, Muhammad bin
Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana
pendapat Anda tentang Mubasysyir al-Halabi?” Ia menjawab, “Dia perawi
yang tsiqah (dapat dipercaya)”. Muhammad bin Qudamah berkata, “Anda
menulis riwayat darinya?” Ahmad menjawab, “Ya.” Muhammad bin Qudamah
berkata, “Mubasysyir mengabarkan kepadaku, dari Abdurrahman bin al-‘Ala’
al-Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berwasiat, apabila ia
dimakamkan, agar dibacakan permulaan dan penutup surat al-Baqarah di
sebelah kepalanya. Ia berkata, “Aku mendengar Ibn Umar berwasiat
demikian.” Lalu Ahmad berkata kepada Muhammad bin Qudamah, “Kembalilah,
dan katakan kepada laki-laki tadi, agar membaca al-Qur’an di samping
makam itu.” Al-Hasan bin al-Shabah al-Za’farani berkata, “Aku bertanya
kepada al-Syafi’i tentang membaca al-Qur’an di samping kuburan, lalu ia
menjawab, tidak apa-apa.” Al-Khallal meriwayatkan dari al-Sya’bi yang
berkata, “Kaum Anshar apabila keluarga mereka ada yang meninggal, maka
mereka selalu mendatangi makamnya untuk membacakan al-Qur’an di
sampingnya.” (Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, hal. 186-187).
WAHABI: “Jika ternyata terjadi tawar menawar harga dengan para tukang
baca tersebut, maka hal ini merupakan indikasi akan ketidak ikhlasan
para pembaca tersebut. Dan jika keikhlasan mereka dalam membaca
al-qur’an sangat-sangat diragukan, maka kelazimannya pahala mereka juga
sangatlah diragukan. Jika pahalanya diragukan lantas apa yang mau
dikirimkan kepada sang mayat
SUNNI: “Anda tidak berhak mengurus hati orang lain. Itu urusan dia dengan Allah.”
WAHABI: “Para pembaca sewaan tersebut biasanya membaca al-Qur’an dengan
sangat cepat karena mengejar dan memburu korban penziarah berikutnya.
Jika bacaan mereka terlalu cepat tanpa memperhatikan tajwid, apalagi
merenungkan maknanya, maka tentu pahala yang diharapkan sangatlah minim.
Terus apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat ??!!”
SUNNI:
“Owh berarti Anda juga membenarkan menyewa orang membaca al-Qur’an di
kuburan, asal dia fasih membacanya dan sesuai dengan Tajwid. Kan begitu.
Terima kasih kalau pendapat Anda begitu. Tetapi mengapa Anda sangat
marah dengan baca al-Qur’an di kuburan???? Terakhir, kami akan memberi
hadiah kepada Anda, pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri
aliran jahat Wahabi, yang menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan,
dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut, terbitan Saudi Arabia,
وَأَخْرَجَ سَعْدٌ الزَّنْجَانِيُّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا:
مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَقُلْ هُوَ
اللهُ أَحَدٌ، وَأَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّيْ جَعَلْتُ
ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ لأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ
الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ
تَعَالَى. وَأَخْرَجَ عَبْدُ الْعَزِيْزِ صَاحِبُ الْخَلاَّلِ بِسَنَدِهِ
عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ، فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس،
خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَناَتٌ.
(الشيخ محمد بن عبد الوهاب النجدي، أحكام تمني الموت (ص/٧٥).
“Sa’ad
al-Zanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah secara marfu’:
“Barangsiapa mendatangi kuburan lalu membaca surah al-Fatihah, Qul
huwallahu ahad dan alhakumuttakatsur, kemudian mengatakan: “Ya Allah,
aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki
dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya
kepada Allah.” Abdul Aziz –murid al-Imam al-Khallal–, meriwayatkan
hadits dengan sanadnya dari Anas bin Malik secara marfu’: “Barangsiapa
mendatangi kuburan, lalu membaca surah Yasin, maka Allah akan
meringankan siksaan mereka, dan ia akan memperoleh pahala sebanyak
orang-orang yang ada di kuburan itu.” (Muhammad bin Abdul Wahhab, Ahkam
Tamanni al-Maut, hal. 75).
Ustadz Firanda,
kitab Ahkam
Tamannil Maut tersebut, diterbitkan pemerintahan Saudi Arabia, dan
ditahqiq oleh dua ulama Wahabi senior, yaitu Abdurrahman bin Muhammad
al-Sadhan dan Abdullah bin Jibrin.
wahabi : &^%$%^^**&&%%%$#
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar