Lihat makna-makna ini di dalam kamus-kamus bahasa Arab, seperti: An-Nihayah, Al-Qamus, Mu’jamul Maqayis, dan lainnya.
Arti wasilah dalam Al Qur'an
Perkataan wasilah disebutkan dua kali di dalam Al-Qur’an.
Pertama: di dalam firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah dan carilah (wasilah) jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”.
[Al Maaidah 5:35]
Imamnya para mufassirin, Al-Hafizh Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata tentang makna “dan carilah (wasilah) jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya”: Dan carilah qurbah (apa yang mendekatkan diri) kepadaNya dengan mengamalkan apa yang menjadikanNya ridha”.
Ar-Raghib Al-Ash-fahani berkata di dalam Mufradatnya tentang makna firman Allah “dan carilah (wasilah) jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya”:
Dan hakekat wasilah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah: menjaga jalanNya dengan beramal dan beribadah”.
Imam Ibnu Katsir menukilkan dari Ibnu Abbas tentang makna wasilah pada ayat itu adalah: qurbah (apa yang mendekatkan diri kepada Allah). Demikian juga Ibnu Katsir menukilkan pendapat Mujahid, Abu Wail, Al-Hasan, Abdullah bin Katsir, As-Suddi, Ibnu Zaid, dan lainnya. Ibnu Katsir juga menukilkan perkataan Qatadah tentang ayat tersebut, yaitu: “Hendaklah kamu mendekatkan diri kepada Allah dengan metaatiNya dan beramal dengan apa-apa yang menjadi keridhaanNya.”
Kemudian Ibnu Katsir berkata: “Dan yang dikatakan oleh para imam ini tidak ada perselisihan padanya di antara mufassirin…wasilah adalah sesuatu yang digunakan untuk menghantarkan mencapai tujuan”
Ayat kedua pada firman Allah.
أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah (jalan) kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti” [Al Israa' 17:57]
Seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud, telah menyatakan sebab turunnya ayat ini yang menjelaskan maknanya, dia berkata: “Ayat ini turun mengenai sekelompok orang Arab yang beribadah/menyembah sekelompok jin, kemudian jin-jin itu masuk Islam, sedangkan manusia yang menyembah mereka tidak mengetahui”.
[HSR. Muslim, Syarh Muslim 8/245; Bukhari semacamnya, Fathul Bari 8/320-321]
Ibnu Hajar berkata: “Yakni manusia yang menyembah jin terus menyembah jin, sedangkan jin tidak meridhainya, bahkan mereka masuk Islam. Jin itulah yang mencari wasilah (sarana/jalan) kepada Rabb mereka. Inilah yang dipegangi dalam penafsiran ayat ini.”
[Fathul Bari 10/12-13]
1. Tawassul/berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara nama Allah atau sifatNya.
وَللهِ اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu”
[Al A'raaf 7:180]
2. Tawassul/berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara amalan shalih yang dilakukan oleh orang yang berdoa.
رَّبَّنَآإِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ ءَامِنُوا بِرَبِّكُمْ فَئَامَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْعَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ
“Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu):”Berimanlah kamu kepada Rabbmu”; maka kamipun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakt”. [Al Imraan 3:193]
3. Tawassul/berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara doa orang shalih.
عَنْ أَنَسٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَا النَّبِيُّ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ الهِِ ادْعُ الهَت أَنْ يَسْقِيَنَا فَتَغَيَّمَتِ السَّمَاءُ وَمُطِرْنَا حَتَّى مَا كَادَ الرَّجُلُ يَصِلُ إِلَى مَنْزِلِهِ فَلَمْ تَزَلْ تُمْطَرُ إِلَى الْجُمُعَةِ الْمُقْبِلَةِ فَقَامَ ذَلِكَ الرَّجُلُ أَوْ غَيْرُهُ فَقَالَ ادْعُ الهَا أَنْ يَصْرِفَهُ عَنَّا فَقَدْ غَرِقْنَا فَقَالَ اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا فَجَعَلَ السَّحَابُ يَتَقَطَّعُ حَوْلَ الْمَدِينَةِ وَلاَ يُمْطِرُ أَهْلَ الْمَدِينَةِ
“Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhotbah pada hari jum’at, lalu seorang lelaki berdiri dan berkata: “Wahai Rasulallah, berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan hujan kepada kami”. Maka langitpun mendung, dan kami mendapatkan hujan, sehingga hampir-hampir lelaki tadi tidak sampai ke rumahnya. Terus-menerus hujan turun sampai jum’at berikutnya. Maka lelaki itu, atau lainnya, berdiri lalu berkata: “Berdoalah kepada Allah agar Dia memalingkankan hujan dari kami, karena kami telah kebanjiran”. Maka Rasulallah n berdoa: “Wahai Allah jadikanlah hujan sekitar kami, jangan kepada kami. Maka mulailah awan menyingkir di sekitar kota Madinah, dan tidak menghujani penduduk Madinah” [HSR. Bukhari]
Doa yang dimaksud adalah doa sesudah adzan yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَللّٰهُمَّ رَبَّ هٰذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ
Ya Allâh, Rabb Pemilik panggilan yang sempurna (adzan) ini dan shalat (wajib) yang akan didirikan. Berilah al-wasilah (kedudukan di Surga) dan keutamaan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bangkitkanlah beliau sehingga dapat menempati maqam terpuji yang telah Engkau janjikan.
(Shahîh: HR. al-Bukhari (Fat-hul Bâri, II/94 no. 614),Abu Dawud (no. 529), at-Tirmidzi (no. 211), an-Nasa-i (II/26-27) dan Ibnu Majah (no. 722) )
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ، ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوا اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لِيَ الْوَسِيْلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ تَعَالَى، وَأَرْجُو أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ.
Apabila kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan muadzin. Kemudian bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya barang siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allâh akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah wasilah (derajat di Surga) kepada Allâh untukku karena ia adalah kedudukan di dalam Surga yang tidak layak bagi seseorang kecuali bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allâh dan aku berharap akulah hamba tersebut. Maka, barang siapa memohonkan wasilah untukku, maka dihalalkan syafa’atku baginya.
( Shahîh: HR. Muslim (no. 384), Abu Dawud (no. 523), at-Tirmidzi (no. 3614) dan an-Nasa’i (II/25), lafazh ini milik Muslim.)
Tabarruk (ngalap berkah) serinng dipermasalahkan oleh segelintir umat Islam yang menyangka bahwa amaliyah tabarruk tidak memiliki dalil / landasan baik di al-Qur'an maupun As-Sunnah. Yang memprihatikan adalah saat segelintir umat Islam itu menuduh umat Islam yang melakukan tabarruk sebagai musyrik.
Padahal
anggapan mereka sebenarnya keliru, sebab amaliyah tabarruk memiliki
landasan baik dialam al-Qur'an maupun As-Sunnah.
Salah satunya sebagaimana Sayyidina Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma berkata:
Salah satunya sebagaimana Sayyidina Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يبعث إلى المطاهر فيؤتى بالماء فيشربه يرجو بركة يدي المسلمين
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sering menyuruh orang pergi ke kolam-kolam tempat berwudhu, lalu beliau diambilkan air, lalu beliau meminumnya, seraya berharap berkah tangan-tangan kaum Muslimin (yang bersuci denganna)."
(HR. al-Thabarani dalam al-Ausath [794], Abu Nu'aim dalam Hilyah al-Auliya' 8/203 dan al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman [2435]).
Hadits ini memberikan pesan:
1) kemuliaan kaum Muslimin yang luar biasa
2) Air yang digunakan umat Islam dalam ketaatan kepada Allah, tidak boleh dianggap jijik, tetapi hendaklah diambil berkahnya. (Lihat, al-Amir al-Shan'ani, al-Tanwir Syarh al-Jami' al-Shaghir, juz 8 hal. 529).
3) tabaruk dengan selain Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidaklah syirik seperti pendapat kaum wahabi yang radikal, bahkan dianjurkan berdasarkan sunnah.
Dan ternyata hadits di atas juga dinilai hasan oleh al-Albani (dedengkot wahabi).
2) Air yang digunakan umat Islam dalam ketaatan kepada Allah, tidak boleh dianggap jijik, tetapi hendaklah diambil berkahnya. (Lihat, al-Amir al-Shan'ani, al-Tanwir Syarh al-Jami' al-Shaghir, juz 8 hal. 529).
3) tabaruk dengan selain Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidaklah syirik seperti pendapat kaum wahabi yang radikal, bahkan dianjurkan berdasarkan sunnah.
Dan ternyata hadits di atas juga dinilai hasan oleh al-Albani (dedengkot wahabi).
TAWASSUL MENURUT IMAM AL SYAUKANI
Imam al-Syaukani adalah seorang lagi tokoh ulama yang sering menjadi rujukan sebahagian daripada mereka yang mendakwa mahu memperbaharui agama di zaman ini. Tawassul pula menjadi salah satu amalan yang dituduh sebagai terpesong dan menjadi penghalang kepada pembaharuan agama. Oleh itu wajarlah kita menyorot pandangan tokoh ini tentang tawassul.Telah berkata al-Imam Syeikh Muhammad ibn Ali al-Syaukani di dalam risalahnya al-Dur al-Nadhid fi Ikhlas Kalimah al-Tauhid:
“Adapun bertawassul kepada Allah dengan perantaraan salah seorang daripada makhlukNya bagi suatu permohonan yang dituntut oleh seseorang hamba daripada Tuhannya, Syeikh ‘Izzuddin Ibnu Abdul Salam telah menyatakan: “Sesungguhnya tidak harus bertawassul kepada Allah SWT melainkan dengan kemuliaan Nabi SAW, sekiranya hadith mengenainya adalah sohih.”
Berkemungkinan, yang dimaksudkan oleh Syeikh ‘Izzuddin Ibnu Abdul Salam ialah hadith yang diriwayatkan oleh al-Nasaei di dalam Sunannya dan juga al-Tirmizi dan disohihkannya oleh Ibnu Majah dan lain-lainnya: Bahawa seorang buta datang kepada Nabi SAW, lalu diajarkan dengan doa tawassul, maka beliau menyebut hadith tersebut.
Berkata Imam Syaukani: “Pada pandangan manusia tentang makna ini, terdapat dua pendapat:
Pendapat Pertama: Bertawassul ialah apa yang disebut oleh Umar al Khattab RA, sebagaimana katanya: “Kami apabila ditimpa musim kemarau, kami bertawassul dengan Nabi kami kepadaMu, maka Engkau menurunkan hujan kepada kami, dan sekarang kami bertawassul kepadaMu dengan kemuliaan bapak saudara Nabi kami (Abbas RA).” Hadith ini terdapat di dalam Sohih al Bukhari dan lain-lainnya.
Umar RA telah menyebut, bahawa mereka bertawassul dengan Nabi SAW semasa hidupnya supaya diturunkan hujan. Kemudian mereka bertawassul pula dengan bapak saudara Baginda SAW, Abbas RA selepas kewafatan Baginda SAW.
Tawassul mereka ialah permohonan supaya diturunkan hujan ketika Baginda SAW berdoa dan mereka juga berdoa bersamanya. Maka jadilah Baginda SAW sebagai wasilah mereka kepada Allah SWT dan Nabi SAW dalam hal seperti ini sebagai pemberi syafa’at dan orang yang mendoakan bagi mereka.
Pendapat kedua: Bertawassul dengan kemuliaan Nabi SAW boleh dilakukan tidak kira semasa hidup Baginda SAW dan selepas kewafatannya, begitu juga ketika keberadaannya dan ketiadaannya. Tidak tersembunyi lagi, bahawa telah thabit keharusan bertawassul dengan Baginda SAW semasa hayatnya. Begitu juga bertawassul dengan selain Baginda SAW selepas kewafatannya berdasarkan ijma’ sahabat iaitu ijma’ sukuti, lantaran kerana tiada seorang dari kalangan mereka yang mengingkari ketika Sayyiduna Umar RA bertawassul dengan Sayyiduna ‘Abbas RA.
Pada pendapat saya sendiri, (Dr.Sayyid Muhammad `Alawi al-Maliki, empunya kitab Mafahim) sebenarnya tidak ada jalan untuk membataskan keharusan bertawassul hanya dengan perantaraan Nabi SAW saja, sebagaimana yang didakwa oleh Syeikh ‘Izzuddin Ibnu Abdul Salam. Hal ini disebabkan dua perkara:
1. Hujah ijma’ Sahabat RA, sebagaimana yang kami kemukakan di atas.
2. Hakikat bahawa bertawassul kepada Allah dengan kemuliaan orang-orang yang mulia dan berilmu, sebenarnya adalah bertawassul dengan amalan soleh dan keistimewaan mereka yang mulia, kerana mereka tidak menjadi mulia melainkan dengan amalan-amalan yang telah mereka lakukan.
Maka jika seseorang berkata,
“Ya Allah! Sesungguhnya aku bertawassul kepadaMu dengan orang alim fulan,”
Maka tawassul ini dilakukan kerana keilmuan orang tersebut.
Bukankah telah thabit(tertulis) di dalam hadith Sohih al Bukhari dan Sahih Muslim dan lain-lainnya, bahawa Nabi SAW menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua akibat tertutup dengan batu besar. Masing-masing bertawassul dengan amalan mereka yang terbesar hingga menyebabkan batu besar itu terangkat.
Sekiranya bertawassul dengan amalan yang mulia tidak diharuskan atau pun dianggap sebagai perbuatan syirik sebagaimana sangkaan orang-orang yang keras dalam bab ini, seperti Ibnu Abdul Salam dan orang-orang yang mengikut pendapatnya, sudah pasti permohonan ketiga-tiga orang itu tidak dimakbulkan(dikabulkan) dan Nabi Muhammad SAW juga tidak akan berdiam daripada mengingkari perbuatan mereka selepas menceritakan tentang kisah mereka.
Maka dari sini, dapatlah diketahui bahawa dalil-dalil yang digunakan oleh orang-orang yang mencegah daripada bertawassul dengan para Nabi dan orang-orang soleh berdasarkan firman Allah di bawah, bukanlah dalil untuk menidakkan tawassul ataupun hujjah yang menunjukkan ke atas larangan daripada bertawassul, bahkan ia termasuk dalam konsep menggunakan dalil tidak kena pada tempatnya dan terkeluar daripada medan perbahasan:
Sekiranya orang-orang musyrik mengatakan:
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ
“Kami tidak menyembah mereka (sembahan selain Allah) melainkan untuk mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.”
(al-Zumar: 3).
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.
(QS: Az-Zumar Ayat: 3
Ayat ini Jelas menunjukkan, bahawa mereka menyembah berhala-berhala untuk tujuan tersebut.
Sedangkan orang yang bertawassul kepada Allah dengan seorang alim misalnya, tidak menyembah orang alim tersebut, tetapi kerana dia mengetahui bahawa orang alim tersebut mempunyai keistimewaan di sisi Allah, iaitu keistimewaan ilmu. Maka dia bertawassul dengan orang alim tersebut kerana keistimewaannya.
Demikian juga firman Allah:
فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Maka janganlah kamu menyembah seseorang (di dalam masjid-masjid) di samping menyembah Allah.” (al-Jin: 18).
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.
(al-Jin: 18).
Ayat ini mengandungi larangan daripada menyeru (menyembah) selain Allah, seperti seseorang berkata, “Wahai Allah! dan Wahai Fulan!.”
Sedangkan orang yang bertawassul kepada Allah dengan kemuliaan orang alim misalnya, tidak menyembah atau memohon melainkan kepada Allah, kerana dia hanya bertawassul dengan amalan soleh seseorang hamba Allah sebagaimana yang dilakukan oleh tiga orang yang terperangkap di dalam gua akibat pintu gua tertutup dengan batu besar bertawassul dengan amalan soleh masing-masing.
Demikian juga firman Allah yang disebutkan di dalam surah al Ra’d ayat 14,
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ
“Hanya bagi Allah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka.”
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ إِلَّا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ
(al Ra’d ayat 14)
(Hanya bagi Dia) bagi Allah swt. (doa yang benar) artinya kalimat-Nya, yaitu kalimat laa ilaaha illallaah (tiada Tuhan selain Allah). (Dan berhala-berhala yang mereka seru) dapat dibaca yad'uuna dan tad`uuna, artinya yang mereka sembah (selain Dia) yakni selain dari Allah, yaitu berhala-berhala (tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka) yakni sesuatu dari hal-hal yang mereka minta (melainkan) berkenaan (yang mirip dengan orang yang membukakan) artinya perihalnya sama dengan seseorang yang membukakan (kedua telapak tangannya ke dalam air) sedangkan ia berada di pinggir sumur, seraya menyeru air (supaya sampai kepada mulutnya) sekali pun tempat ia berada jauh dari air yang ada di dalam sumur itu (padahal air itu tidak dapat sampai kepadanya) ke mulutnya untuk selama-lamanya. Demikian pula keadaan para penyembah berhala itu, berhala-berhala yang mereka sembah itu tidak akan dapat memperkenankan kepada mereka. (Dan doa orang-orang kafir itu) penyembahan mereka terhadap berhala-berhala atau makna yang dimaksud adalah doa yang sesungguhnya (hanyalah sia-sia belaka) tidak ada artinya.
Orang-orang Musyrik yang disebut dalam ayat tersebut memohon kepada berhala-berhala yang tidak akan memaqbulkan(mengkabulkan) permintaan mereka, bahkan mereka tidak menyembah Tuhan yang sebenarnya yang dapat memustajabkan doa mereka.
Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang alim umpamanya, tidak memohon selain kepada Allah, dan tidak menyembah yang lain bersama Allah.
Setelah kita mengetahuinya, maka kita seharusnya tidak lagi perlu ragu-ragu atau bimbang untuk menolak dalil-dalil yang digunakan oleh orang yang mencegah daripada bertawassul.
Dalil-dalil mereka sebenarnya tidak relevan dan tidak termasuk dalam pembahasan tawassul.
Al Maidah Ayat 31 - 40 Dan Terjemah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
31. فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الأرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْأَةَ أَخِيهِ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ
Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Kabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayit saudaranya. Berkata Kabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayit saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.
32. مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الأرْضِ لَمُسْرِفُونَ
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
33. إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh(mendapat) siksaan yang besar,
34. إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
35. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
36. إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ أَنَّ لَهُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا وَمِثْلَهُ مَعَهُ لِيَفْتَدُوا بِهِ مِنْ عَذَابِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَا تُقُبِّلَ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu (pula) untuk menebus diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat, niscaya (tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang pedih.
37. يُرِيدُونَ أَنْ يَخْرُجُوا مِنَ النَّارِ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنْهَا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُقِيمٌ
Mereka ingin ke luar dari neraka, padahal mereka sekali-kali tidak dapat ke luar daripadanya, dan mereka beroleh azab yang kekal.
38. وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
39. فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Maka barang siapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
40. أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Tidakkah kamu tahu, sesungguhnya Allah-lah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, disiksa-Nya siapa yang dikehendaki-Nya dan diampuni-Nya bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Tidaklah seorang jiwa dibunuh secara zalim, kecuali anak Adam yang pertama (Qabil) ikut menanggung darahnya, karena ia adalah orang yang pertama mencontohkan pembunuhan." (HR. Bukhari)
« لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْماً إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا ، لأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ » .
"Tidaklah seorang jiwa dibunuh secara zalim, kecuali anak Adam yang pertama (Qabil) ikut menanggung darahnya, karena ia adalah orang yang pertama mencontohkan pembunuhan." (HR. Bukhari)
Ayat
ini turun berkenaan dengan orang-orang Urainah saat mereka ke Madinah
dan merasakan sakit di sana, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
mengizinkan mereka mendatangi unta, meminum kencing dan susunya. Ketika
mereka sudah sehat, mereka malah membunuh pengembalanya dan membawa
pergi untanya. Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Anas bin Malik hadits
orang-orang Urainah, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam mengirim sekelompok orang untuk mencari mereka, lalu mereka
ditangkap. Maka Allah menurunkan tentang hal tersebut ayat, "Innamaa
jazaa'ullladziina yuhaaribuunallaha wa rasuulahu…dst."
Ayat
ini merupakan perintah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk
mengerjakan konsekwensi dari keimanan berupa ketakwaan kepada Allah dan
berhati-hati terhadap hal yang mendatangkan kemurkaan-Nya, caranya
adalah dengan berusaha sekuat tenaga menjauhi hal yang dimurkai Allah
yang berupa maksiat, baik maksiat hati, lisan maupun anggota badan yang
nampak atau tersembunyi, serta meminta pertolongan kepada Allah untuk
meninggalkannya dan dapat mengerjakan perintah Allah.
Misalnya
dengan mengerjakan amalan sunat setelah amalan wajib. Jika seorang
hamba mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan banyak ibadah
(termasuk ibadah pula bermu'amalah/berhubungan dengan orang lain
mengikuti ajaran Islam), maka Allah akan mencintainya, dan apabila Allah
mencintainya, maka Allah akan menjadikan gerakannya dilakukan
karena-Nya, dan Allah akan mengabulkan doa dan permintaan-nya.
Selanjutnya, Allah mengkhususkan di antara sekian jalan itu dengan jihad
fii sabilillah, yakni dengan mengerahkan kemampuannya untuk memerangi
orang-orang kafir, baik dengan harta, jiwa, saran, lisan dan segala
usaha membela agama Allah sesuai kemampuannya, karena jihad termasuk
ketaatan utama dan pendekatan diri yang utama. Di samping itu, karena
orang yang melakukannya biasanya mampu mengerjakan yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar