Hukum Tahlilan << Klik aja
Tahlilan adalah berasal dari kata tahlil yang artinya membaca laailaha illaha. Tahlilan dalam uruf nusantara di maksudkan kepada pembacaan kalimat laailaha illah, shalawat kepada Nabi SAW, dan beberapa surat pendek terutama surat al-ikhash yang kemudian di akhiri dengan doa hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal. Di namakan tahlilan karena pembacaan laailaha illallah yang dominan. Selain juga di namakan dengan shamadiyah karena pembacaan surat al-ikhlash yang juga dominan. Umumnya setelah hari kematian di lakukan tahlilan sampai 7 hari secara beramai-ramai menurut adat di daerah masing-masing. Kadang kala setelah acara tahlilan tuan rumah menyediakan makanan ala kadar menurut kemampuan dan adat daerah masing-masing.
Nah, bagaimanakah hukum tahlilan setelah hari kematian?
Tujuan dari pelaksanaan tahlilan adalah menghadiahkan pahala bacaan bagi mayat. Menghadiahkan pahala al-quran bagi mayat merupakan salah satu hal yang memiliki landasan yang kuat dalam agama.
Menurut Imam al-Syafi’i dalam satu ‘ibarat, pahala bacaan al-Qur`an tidak bermanfaat bagi si mayat. Sementara pada ‘ibarat yang lain, Imam al-Syafi’i berfatwa bahwa disunatkan bagi peziarah kubur untuk membaca al-Qur`an. Rangkaian fatwa ini disepakati sendiri oleh para ashab Imam al-Syafii sebagaimana penejelasan Imam Nawawi dalam kitabnya, Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz. V, hal. 311, cet. Dar al-Fikr :
Murid senior Imam al-Syafi’i, al-Za`farany (w. 260 H) berkata :
سألت الشافعى رحمه الله عن قراءة عند القبر فقال لا بأس به
"Saya pernah bertanya kepada Imam al-Syafi’i tentang membaca (al-Qur`an) di samping kubur. Beliau menjawab “tidak mengapa". (Syarh al-Shudur, Imam al-Sayuthi, hal. 311, cet. Dar al-Madani, 1985).
Nah, kedua pendapat Imam al-Syafi’i tersebut harus diperhatikan dengan baik untuk menghindari menyalahkan salah satu pendapat. Karenanya, para ulama memahami perkataan Imam al-Syafi’i yang mengatakan bahwa qiraah tidak bermanfaat bagi mayat hanyalah bila al-Qur`an dibacakan bukan di hadapan mayat atau tidak diiringi oleh doa setelahnya karena bila al-Quran dibacakan di hadapan mayat, Imam al-Syafi’i berpendapat hukumnya sunat sebagaimana penjelasan Imam al-Nawawi sebelumnya. Sedangkan bila qiraah yang diiringi doa setelahnya, para ulama telah ijma’ bahwa doa tersebut bermanfaat bagi si mayat.
Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsir surat an-Najmu ayat 39 :
فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما ومنصوص من الشارع عليهما
Maka adapun masalah doa dan shadaqah maka hal itu ijmak ulama sampai
pahalanya dan keduanya telah dinashkan (diterangkan) dari syara`. (lihat Tafsir Ibnu Katsir jilid 4 hal 268 cet. Dar Fikr thn 1997)Bahkan dengan adanya pembacaan al-Qur`an sebelum berdoa akan menjadikan doa tersebut semakin besar kemungkinan untuk diterima.
Sedangkan Imam mujtahid lainnya (Imam al-Hanafi, al-Maliki dan al-Hanbali) berpendapat bahwa pahala bacaan al-Qur`an sampai pahalanya dan bermanfaat kepada si mayat. Pendapat ini diikuti pula oleh ulama madzhab al-Syafi’i seperti Imam al-Subki. (lihat Hasyiyah I`anat al-Thalibin, Juz. III, hal. 221, cet. al-Haramain).
Dari uraian tersebut dapatlah dipahami bahwa hukum melakukan tahlilan adalah :
- Apabila dibacakan di hadapan mayat atau diiringi dengan doa setelahnya, maka para ulama termasuk Imam al-Syafi’i dan Imam madzhab lain sepakat bahwa pahalanya bisa sampai kepada si mayat.
- Apabila bukan di hadapan mayat atau tidak diiringi dengan doa setelahnya, maka menurut Imam al-Syafi’i tidak sampai pahalanya. Sementara menurut tiga Imam madzhab lainnya bahkan juga sebagian besar ulama Madzhab al-Syafii adalah pahalanya sampai kepada si mayat.
Yang di amalkan oleh masyarakat kita saat ini umumnya adanya doa setelah membaca tahlil dan ayat al-quran, sehingga amalan pembacaan tahlilan setelah hari kematian yang di amalkan oleh masyarakat kita umumnya merupakan amalan yang bermanfaat bagi mayat sesuai dengan ijmak para ulama. Sesuai juga dengan pendapat Imam Syafii sendiri yang telah kami uraikan sebelumnya. Lihat juga penjelasan ulama zaman ini, syeikh Wahbah Zuhaily dan Syeikh Ali Jum'ah.
Sedangkan masalah menyediakan makanan dan berkumpul bersama dalam majelis makanan tersebut bukanlah satu masalah hal yang lazim dengan tahlilan, karena tahlilan bisa terjadi tanpa adanya penyediaan makanan dan penyediaan makanan juga bisa terjadi tanpa adanya tahlilan. Maka uaraian dalil hukum menyediakan makanan di hari kematian akan kami bahas dalam tulisan tersendiri kedepan. Namun untuk kesimpulan jawabannya bisa di baca fatwa Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan syeikh Ismail Zain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar