Kamis, 18 September 2014

Menutupi Aib Sesama Muslimin

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern, semakin mudah saja saja manusia melakukan perbuatan tercela, seperti ghibah, namimah, berprasangka buruk  dan akhlak tercela lainnya. Bahkan secara tidak sadar terkadang manusia dengan asyiknya membicarakan kejelekan orang lain, entah itu secara langsung dan terang-terangan atau dengan cara samar, entah itu dalam dunia nyata atau dunia maya melalui jejaring sosial yang kini semakin berkembang dengan pesatnya.
Semakin berkembangnya dunia informasi dan komunikasi secara tidak langsung juga semakin memudahkan kita dan manusia pada umumnya untuk membuka aib orang lain, apalagi kalau jejaring sosial itu mempertemukan kita dengan teman yang sudah lama tidak bertemu, maka dengan asyiknya kita membahas banyak hal yang ujung-ujungnya biasanya akan merembet pada hal-hal yang dinamakan ghibah. Banyak kita dapati di tengah keseharian kita, pembicaraan dan obrolan itu sepertinya tidak asyik kalau tidak membicarakan aib, cacat dan kekurangan yang ada pada orang lain, padahal obrolan itu bukanlah perkara ringan dalam pandangan Islam
Namun bukan berarti perkembangan dunia komunikasi tersebut tidak baik, karena tidak sedikit dampak positif yang timbul karena perkembangan tersebut, salah satunya bisa dijadikan sebagai ajang dakwah, tempat silaturrahim dan lain sebagainya.
Berangkat dari latar belakang di atas, kami akan membahas tentang hadits-hadist nabi Muhammad SAW tentang larangan membuka atau menyebarkan aib dan anjuran untuk menutupinya.
B.     Rumusan Masalah
Pada pembahasan ini kami memberi rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa itu aib?
2.      Larangan membuka aib orang lain
3.      Hadist-hadits yang melarang membuka aib orang lain dan anjuran menutupinya.
C.     Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam makalah ini antara lain :
1.      Untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan aib.
2.      Untuk memahami tentang ajaran agama islam mengenai larangan membuaka aib orang.
3.      Untuk mengetahui hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan larangan membuka aib orang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Aib
Secara bahasa, aib artinya cacat dan kekurangan. Bentuk jamaknya: uyub. Sesuatu yang memiliki aib, dalam bahasa arab, disebut a`ib. Aib adalah suatu cela atau kondisi yang tidak baik tentang seseorang jika diketahui oleh orang lain akan membuat rasa malu, rasa malu ini membawa kepada efek psikologi yang negatif jika tersebar.
Sebagian ulama mazhab Hanafi menjelaskan aib dengan pengertian:
مَا يَخْلُو عَنْهُ أَصْل الْفِطْرَةِ السَّلِيمَةِ مِمَّا يُعَدُّ بِهِ نَاقِصًا
Suatu bagian yang tidak ada dari asal penciptaanya dan hal itu dianggap sebagai bentuk kekurangan. (Al-Hasfaki, ad-Dur al-Mukhtar, Dar al-Fikr, Beirut)
B.     Larangan membuka Aib orang lain
Seorang mukmin dengan mukmin lainnya adalah bersaudara. Sebuah persaudaraan yang jauh lebih sakral ketimbang satu ayah dan satu ibu. Karena Allah sendiri yang menyatakan kekuatan persaudaraan itu:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ 
Sesungguhnya orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.(Al-Hujurat: 10)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain, (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan), dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk, sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." – (QS.Al Hujarat 49:11)
Ketika seorang mukmin membuka dan menyebarkan aib saudaranya, ada dua kesalahan yang dilakukan sekaligus. Pertama, ada citra keagungan orang-orang beriman yang terkotori. Dan reaksi yang muncul memojokkan umat Islam. Kedua, orang yang gemar menyebarkan aib saudaranya, sebenarnya tanpa sadar sedang memperlihatkan jati dirinya yang asli. Antara lain, tidak bisa memegang rahasia, lemah kesetiakawanan, dan penyebar berita bohong. Semakin banyak aib yang ia sebarkan, kian jelas keburukan diri si penyebar.
Benar apa yang dinasihatkan Rasulullah saw. bahwa diam adalah pilihan terbaik ketika tidak ada bahan ucapan yang baik. Simpanlah aib seorang teman dan saudara sesama mukmin, karena dengan begitu; kelak, Allah swt., akan menutup aib kita di hadapan manusia.
Allah SWT telah melarang dan  mengharamkan untuk memata-matai dan mencari-cari aib seorang muslim, walaupun itu dalam rangka amar  ma’ruf nahi mungkar. Dan Allah telah mempersiapkan hukuman yang menghinakan bagi pelakunya di dunia dan di akhirat. Adapun di dunia maka Allah pasti akan menghinakan dirinya walaupun dia tengah bersembunyi di dalam rumahnya.
Adapun di akhirat, maka siksaan akhirat lebih besar dan lebih hina, yaitu Allah akan membuka secara terang-terangan semua dosa dan aibnya ketika di dunia, agar seluruh makhluk di padang mahsyar bisa melihatnya.
Allah menyiapkan azab yang pedih bagi orang-orang yang gemar membuka aib seseorang. Sebagaimana dalam firman-Nya dalam al-Qur’an surah an-Nur : 19 yang berbunyi :
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang Amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui. (Q.S. an-Nur : 19)
Aib yang ada pada seseorang bisa dibagi menjadi dua kategori: yaitu Pertama, aib yang sifatnya khalqiyah, yaitu aib yang sifatnya qodrati dan bukan merupakan perbuatan maksiat. Seperti cacat di salah satu organ tubuh atau penyakit yang membuatnya malu jika diketahui oleh orang lain.
Aib seperti ini adalah aurat yang harus dijaga, tidak boleh disebarkan atau dibicarakan, baik secara terang-terangan atau dengan gunjingan, karena perbuatan tersebut adalah dosa besar menurut mayoritas ulama, karena aib yang sifatnya penciptaan Allah yang manusia tidak memiliki kuasa menolaknya, maka menyebarkannya berarti menghina dan itu berarti menghina Penciptanya. (Imam al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin).
Kedua, aib berupa perbuatan maksiat, baik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.  Maksiat yang dilakukan sembunyi-sembunyi juga terbagi menjadi dua: yaitu Perbuatan maksiat yang hanya merusak hubungannya secara pribadi dengan Allah seperti minum khamr, berzina dll. Jika seorang muslim mendapati saudaranya melakukan perbuatan seperti ini hendaklah ia tidak menyebarluaskan hal tersebut, namun dia tetap memiliki kewajiban untuk melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar. Imam Syafi’i berkata, “Siapa yang menasehati saudaranya dengan tetap menjaga kerahasiaannya berarti dia benar-benar menasehatinya dan memperbaikinya. Sedang yang menasehati tanpa menjaga kerahasiaannya, berarti telah mengekspos aibnya  dan mengkhianatinya." (Syarh Shahih Muslim, Imam an Nawawi).
Selanjutnya, perbuatan maksiat yang dilakukan sembunyi-sembunyi tapi merugikan orang lain seperti mencuri, korupsi dan lain sebagainya. Maka perbuatan seperti ini diperbolehkan untuk diselidiki dan diungkap, karena hal ini sangat berbahaya jika dibiarkan, karena akan lebih banyak lagi merugikan orang lain.
Ada sebuah kisah masyhur yang ditulis oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitab "Tawwabin" dapat dijadikan pelajaran bagi kita untuk menutup aib diri sendiri dan aib orang lain serta mengakuinya dihadapan Allah dengan bertaubat atas dosa tersebut.
Disebutkan bahwa pada zaman nabi Musa 'alaihis salam, Bani Israil ditimpa musim kemarau yang berkepanjangan. Mereka pun berkumpul mendatangi Nabi mereka. Mereka berkata , "Wahai Kaliimallah, berdoalah kepada Rabbmu agar Dia menurunkan hujan kepada kami." Maka berangkatlah nabi Musa 'alaihis salam bersama kaumnya menuju padang pasir yang luas bersama lebih dari 70 ribu orang. Mulailah mereka berdoa dengan kondisi yang lusuh penuh debu, haus dan lapar.
Musa berdoa, "Wahai Tuhan kami turunkanlah hujan kepada kami, tebarkanlah rahmat-Mu, kasihilah anak-anak dan orang-orang yang mengandung, hewan-hewan dan orang-orang tua yang rukuk dan sujud."
Setelah itu langit tetap saja terang benderang, matahari pun bersinar makin kemilau. Kemudian Musa berdoa lagi, "Wahai Tuhanku berilah kami hujan". 
Allah pun berfirman kepada Musa, "Bagaimana Aku akan menurunkan hujan kepada kalian sedangkan di antara kalian ada seorang hamba yang bermaksiat sejak 40 tahun yang lalu. Keluarkanlah ia di depan manusia agar dia berdiri di depan kalian semua. Karena dialah, Aku tidak menurunkan hujan untuk kalian. "
Maka Musa pun berteriak di tengah-tengah kaumnya, "Wahai hamba yang bermaksiat kepada Allah sejak 40 tahun, keluarlah ke hadapan kami, karena engkaulah hujan tak kunjung turun."
Seorang laki-laki melirik ke kanan dan kiri, maka tak seorang pun yang keluar di depan manusia, saat itu pula ia sadar kalau dirinyalah yang dimaksud.
Ia berkata dalam hatinya, "Kalau aku keluar ke depan manusia, maka akan terbuka rahasiaku. Kalau aku tidak berterus terang, maka hujan pun tak akan turun. "
Maka kepalanya tertunduk malu dan menyesal, air matanya pun menetes, sambil berdoa kepada Allah, "Ya Allah, Aku telah bermaksiat kepadamu selama 40 tahun, selama itu pula Engkau menutupi aibku. Sungguh sekarang aku bertobat kepada-Mu, maka terimalah taubatku. "
Belum sempat ia mengakhiri doanya maka awan-awan tebalpun bergumpal, semakin tebal menghitam lalu turunlah hujan.
Nabi Musa pun keheranan dan berkata, "Ya Allah, Engkau telah turunkan hujan kepada kami, namun tak seorang pun yang keluar di depan manusia."
Allah berfirman, "Aku menurunkan hujan karena seorang hamba yang karenanya hujan tak kunjung turun."
Musa berkata, "Ya Allah, Tunjukkan padaku hamba yang taat itu."
Allah berfirman, "Wahai Musa, Aku tidak membuka aibnya padahal ia bermaksiat kepada-Ku, apakah Aku membuka akan aibnya sedangkan ia taat kepada-Ku?!"
Setiap orang pasti memiliki kekurangan, cela dan dosa tertentu pada dirinya, maka suatu aib yang ada pada seseorang dapat dijadikan pelajaran bagi orang lain untuk dapat belajar dan memperbaiki diri agar tidak melakukan hal serupa yang akan menimpa dirinya dan orang lain akibat perbuatannya tersebut.
Kita senantiasa selalu dianjurkan untuk menutupi aib sesama muslim, sebagaimana kandungan hadits nabi bahwasanya jika kita menutupi aib seseorang, maka kelak pada hari kiamat Allah akan menutup aib kita.
Tertutup ada dua macam: hissi dan maknawi. Tertutup secara hissi adalah memakai kain yang baik dan bagus untuk menutupi aurat sehingga tidak dilihat oleh pandangan orang. Petunjuk Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ini berlaku dalam semua kondisi kecuali antara pasangan suami-istri saat berhubungan. Maka bagi siapa yang sedang buang air atau mandi hendaknya ia memasang penutup supaya tidak terlihat oleh pandangan mata orang.
Tertutup secara maknawi adalah menutupi aib dan perbuatan dosa dengan tidak menceritakan dan menyebarkannya kepada orang lain. Ini juga berlaku atas orang yang melihat saudara muslimnya telah melakukan perbuatan dosa atau melakukan tindakan hina maka janganlah ia menyebarkannya kepada msyarakat, tapi hendaknya ia mencegahnya dari perbuatan maksiat dan menyuruhnya bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karenanya Islam melarang keras umatnya dari mencari-cari kesalahan kaum muslimin yang tersembunyi untuk dia sebarkan ke tengah-tengah manusia. Perbuatan tersebut dapat mengundang murka Allah kepadanya dan menyebabkannya mengerjakan perbuatan buruk saudaranya tadi. Karena balasan sesuai dengan jenis amal. Maka siapa yang mencari-cari aib orang lain dan menyebarkannya di tengah-tengah manusia maka Allah akan menyingkap aibnya dan menyebarkannya di tengah-tengah makhluk-Nya. Bahkan dosa dan maksiat yang dikerjakannya di dalam kamarnya di tengah malam akan juga diketahui orang
C.    Hadist tentang larangan membuka aib
1.      Hadits Riwayat Imam Muslim

وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ:(( لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِى الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ)) رواه مسلم
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, Nabi SAW bersabda: “Seorang hamba tidak menutupi aib hamba yang lain di dunia kecuali Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat”. (HR; Muslim)
2.      Hadits Riwayat Bukhori Muslim
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: ((كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِيْنَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهِرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فَيَقُوْلُ: يَافُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ)) متفق عليه
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Seluruh umatku akan diampuni dosa-dosa kecuali orang-orang yang terang-terangan (berbuat dosa). Di antara orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang yang pada waktu malam berbuat dosa, kemudian di waktu pagi ia menceritakan kepada manusia dosa yang dia lakukan semalam, padahal Allah telah menutupi aibnya. Ia berkata, “Wahai fulan, semalam aku berbuat ini dan itu”. Sebenarnya pada waktu malam Tuhannya telah menutupi perbuatannya itu, tetapi justru pagi harinya ia membuka aibnya sendiri yang telah ditutupi oleh Allah. (HR: Bukhari dan Muslim).
3.      Hadits Riwayat Bukhori
وَعَنْهُ قَالَ: أُتِيَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ قَالَ: اضْرِبُوْهُ، قَالَ: فَمِنَّا الضَّارِبُ بِيَدِهِ، وَالضَّارِبُ بِنَعْلِهِ وَالضَّارِبُ بِثَوْبِهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ: أَخْزَاكَ اللهُ، قَالَ: لَا تَقُوْلُوا هَكَذَا لَا تُعِيْنُوْا عَلَيْهِ الشَّيْطَانَ. رواه البخارى
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “Ada seorang laki-laki yang minum minuman keras (khamr) dibawa di hadapan Nabi SAW, maka beliau bersabda: “Kalian pukullah dia”. Abu Hurairah berkata, “Di antara kami ada yang memukul dengan tangannya, ada yang memukul dengan sandalnya, dan ada yang memukul dengan pakaiannya”. Ketika orang itu akan kembali, sebagian orang berkata kepadanya. “Mudah-mudahan Allah menghinakanmu”. Rasulullah bersabda: “Jangan kalian berkata yang demikian itu, jangan kamu membantu perbuatan syaitan (syaitan akan senang jika Allah menghinakan hambanya karena memang itu pekerjaan syaitan)”. (HR; Bukhari)
4.      Hadits Riwayat Bukhori
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَ عَبْدٌ حَدَّثَنِي وَقَالَ اْلآخَرَانِ حَدَّثَنَا يَعْقُوْبُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ حَدَّثَنَا اِبْنُ أَخِي اِبْنِ شِهَابٍ عَنْ عَمِّهِ قَالَ قَالَ سَالِمٌ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ وَإِنَّ مِنَ اْلإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ فَيَقُوْلُ يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيْتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ قَالَ زُهَيْرٌ وَإِنَّ مِنَ الْهِجَارِ.[4]
      Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb, Muhammad bin  Hatim dan Abdu bin Humaid, Abdu berkata : telah menceritakan kepadaku, sedang yang lain berkata: telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami anak saudaraku Ibnu Syihab dari pamannya, ia berkata: Salim berkata: Saya mendengar Abu Hurairah Radhiyallaahu’anhu , ia berkata:
Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Semua umatku akan ditutupi segala kesalahannya kecuali orang-orang yang berbuat maksiat dengan terang-terangan. Masuk dalam kategori berbuat maksiat terang-terangan adalah bila seorang berbuat dosa di malam hari kemudian Allah telah menutupi dosanya, lalu dia berkata (kepada temannya): Hai Fulan! Tadi malam aku telah berbuat ini dan itu. Allah telah menutupi dosanya ketika di malam hari sehingga ia bermalam dalam keadaan ditutupi dosanya, kemudian di pagi hari ia sendiri menyingkap tirai penutup Allah dari dirinya.
Zuhair berkata dan sesungguhnya termasuk dari Hijar (menampak-nampakkan dosa).
5.      Hadits Riwayat Tirmidzi
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَهُمْ يَوْمًا بِصَوْةٍ رَفِيْعٍ فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ لَا تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعُ عَوْرَةَ أَخِيهِ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يُفْضِحُهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ بَيْنِه
“Bahwa suatu hari Rasulullah SAW berkhutbah di hadapan mereka (para sahabat) dengan suara yang amat keras, beliau bersabda, ‘Wahai mereka yang beriman dengan lisannya, namun keimanan belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, dan janganlah kalian mencari-cari aib dan kesalahan mereka. barangsiapa yang mencari-cari aib dan kesalahan saudaranya, maka Allah akan membuka aibnya, dan barang siapa yang aibnya dibuka oleh Allah, maka Allah akan membuatnya malu sekalipun dia berada di lorong rumahnya.” (HR. At-Tirmizi no. 2032)
Allah menganjurkan agar para hamba-Nya saling menutupi aib diantara sesama mereka. Untuk itu Allah telah menyediakan bagi mereka pahala yang sesuai dengan amalan baik mereka, yaitu  akan menyembunyikan aib dan mengampuni dosa mereka pada hari kiamat karena mereka telah menyembunyikan aib saudaranya di dunia. Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu berkata, “Tentang ditutupnya aib si hamba pada hari kiamat, maka ada dua kemungkinan makna:
Pertama: Allah akan menutupi kemaksiatan dan aibnya dengan cara tak mengumumkannya kepada manusia di padang mahsyar.
Kedua: Allah tak akan menghisab aibnya dan tak akan menyebut aibnya tersebut.” (Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim: 16/360)
6.      Hadits Riwayat Bukhori
إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُوْلُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوْبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ. فَيُعْطِي كِتَابَ حَسَنَاتِهِ
“Sesungguhnya (pada hari kiamat) Allah akan mendekatkan seorang mukmin, lalu Allah meletakkan tabir & menutupinya. Lalu Allah berfirman, “Apakah kamu mengetahui dosa ini? Apakah engkau tahu dosa itu?” Dia menjawab, “Ia, betul saya tahu wahai Rabbku.” Hingga ketika Allah telah membuat dia mengakui semua dosanya & dia mengira dirinya sudah akan binasa,, Allah berfirman kepadanya, “Aku telah menutupi dosa-dosa ini di dunia, maka pada hari ini Aku mengampuni dosa-dosamu itu.” Lalu diberikanlah padanya catatan kebaikan-kebaikannya.” (HR. Al-Bukhari no. 2261)
Menutup yang paling utama adalah menutup aib diri sendiri, yang mana Allah telah menutupinya dan telah memuliakannya dengan memberi ampunan kepadanya karena ia merasa bersalah telah berbuat maksiat dan merasa malu pada dirinya.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kami beri kesimpulan bahwa menutup aib kaum muslim itu sangat dianjurkan bahkan wajib hukumnya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah bahwa kaum muslimin itu semuanya bersaudara, sehingga sudah seharusnya kita saling menjaga untuk tidak membuka aib sesama muslim.
Ada banyak hadits yang menerangkan bahwa jika kita menutup aib saudara kita (kaum muslim) di dunia, maka allah akan menutup aib kita di akhirat nanti. Tidak hanya itu, Allah juga menyiapkan siksa yang cukup pedih jika kita gemar membuka dan menyebarkan aib kaum muslim.
                                                                                                                                                            
DAFTAR PUSTAKA
Nahlas (an-), Imam Muhyiddin, Tambihul Ghafilin, diterjemahkan oleh Gafur Saub dan Irfanuddin Rafiuddin, Tanbihul Ghafilin, Peringatan dan nasehat bagi Orang-orang yang lalai, Jakarta : Pustaka as-Sunnah, 2011.
Nawawi, Imam, Riyadhus Shalihin, diterjemahkan oleh Agus Hasan Bashori al-Sanusi dan Muhammad Syu’aib al-Faiz al-Sanusi, Tarjamah Riyadhus Shalihin, Surabaya : Duta Ilmu, 2006
Al-Bukhari, Kitab al-adab, bab 60, hadits no. 6069
 Sunan at-Tirmidzi, 2032

Tidak ada komentar:

Posting Komentar