BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Seiring
dengan perkembangan zaman yang semakin modern, semakin mudah saja saja manusia
melakukan perbuatan tercela, seperti ghibah, namimah, berprasangka
buruk dan akhlak tercela lainnya. Bahkan
secara tidak sadar terkadang manusia dengan asyiknya membicarakan kejelekan
orang lain, entah itu secara langsung dan terang-terangan atau dengan cara
samar, entah itu dalam dunia nyata atau dunia maya melalui jejaring sosial yang
kini semakin berkembang dengan pesatnya.
Semakin
berkembangnya dunia informasi dan komunikasi secara tidak langsung juga semakin
memudahkan kita dan manusia pada umumnya untuk membuka aib orang lain,
apalagi kalau jejaring sosial itu mempertemukan kita dengan teman yang sudah
lama tidak bertemu, maka dengan asyiknya kita membahas banyak hal yang
ujung-ujungnya biasanya akan merembet pada hal-hal yang dinamakan ghibah.
Banyak kita dapati di tengah keseharian kita, pembicaraan dan obrolan itu
sepertinya tidak asyik kalau tidak membicarakan aib, cacat dan kekurangan yang
ada pada orang lain, padahal obrolan itu bukanlah perkara ringan dalam
pandangan Islam
Namun
bukan berarti perkembangan dunia komunikasi tersebut tidak baik, karena tidak
sedikit dampak positif yang timbul karena perkembangan tersebut, salah satunya
bisa dijadikan sebagai ajang dakwah, tempat silaturrahim dan lain sebagainya.
Berangkat
dari latar belakang di atas, kami akan membahas tentang hadits-hadist nabi
Muhammad SAW tentang larangan membuka atau menyebarkan aib dan anjuran untuk menutupinya.
B. Rumusan
Masalah
Pada pembahasan ini kami memberi
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa
itu aib?
2. Larangan
membuka aib orang lain
3. Hadist-hadits
yang melarang membuka aib orang lain dan anjuran menutupinya.
C. Tujuan
Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam makalah ini antara lain :
1. Untuk
memahami hal-hal yang berkaitan dengan aib.
2. Untuk
memahami tentang ajaran agama islam mengenai larangan membuaka aib orang.
3. Untuk
mengetahui hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan larangan membuka aib orang
lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aib
Secara
bahasa, aib artinya cacat dan kekurangan. Bentuk jamaknya: uyub.
Sesuatu yang memiliki aib, dalam bahasa arab, disebut a`ib. Aib adalah
suatu cela atau kondisi yang tidak baik tentang seseorang jika diketahui oleh
orang lain akan membuat rasa malu, rasa malu ini membawa kepada efek psikologi
yang negatif jika tersebar.
Sebagian
ulama mazhab Hanafi menjelaskan aib dengan pengertian:
مَا يَخْلُو عَنْهُ أَصْل الْفِطْرَةِ
السَّلِيمَةِ مِمَّا يُعَدُّ بِهِ نَاقِصًا
Suatu
bagian yang tidak ada dari asal penciptaanya dan hal itu dianggap sebagai
bentuk kekurangan. (Al-Hasfaki, ad-Dur al-Mukhtar, Dar al-Fikr, Beirut)
B. Larangan membuka Aib orang lain
Seorang
mukmin dengan mukmin lainnya adalah bersaudara. Sebuah persaudaraan yang jauh
lebih sakral ketimbang satu ayah dan satu ibu. Karena Allah sendiri yang
menyatakan kekuatan persaudaraan itu:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Sesungguhnya orang-orang beriman itu
Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.(Al-Hujurat:
10)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ
يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ
خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا
بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ
يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan
kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih
baik dari mereka (yang mengolok-olokkan), dan jangan pula wanita-wanita
(mengolok-olokkan) wanita lain, (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang
diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan), dan
janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu panggil
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah
(panggilan) yang buruk, sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." – (QS.Al Hujarat 49:11)
Ketika
seorang mukmin membuka dan menyebarkan aib saudaranya, ada dua kesalahan yang
dilakukan sekaligus. Pertama, ada citra keagungan orang-orang beriman yang
terkotori. Dan reaksi yang muncul memojokkan umat Islam. Kedua, orang yang gemar
menyebarkan aib saudaranya, sebenarnya tanpa sadar sedang memperlihatkan jati
dirinya yang asli. Antara lain, tidak bisa memegang rahasia, lemah
kesetiakawanan, dan penyebar berita bohong. Semakin banyak aib yang ia
sebarkan, kian jelas keburukan diri si penyebar.
Benar
apa yang dinasihatkan Rasulullah saw. bahwa diam adalah pilihan terbaik ketika
tidak ada bahan ucapan yang baik. Simpanlah aib seorang teman dan saudara
sesama mukmin, karena dengan begitu; kelak, Allah swt., akan menutup aib kita
di hadapan manusia.
Allah SWT telah melarang dan mengharamkan untuk memata-matai dan
mencari-cari aib seorang muslim, walaupun itu dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar. Dan Allah telah
mempersiapkan hukuman yang menghinakan bagi pelakunya di dunia dan di akhirat.
Adapun di dunia maka Allah pasti akan menghinakan dirinya walaupun dia tengah
bersembunyi di dalam rumahnya.
Adapun di akhirat, maka siksaan
akhirat lebih besar dan lebih hina, yaitu Allah akan membuka secara
terang-terangan semua dosa dan aibnya ketika di dunia, agar seluruh makhluk di
padang mahsyar bisa melihatnya.
Allah
menyiapkan azab yang pedih bagi orang-orang yang gemar membuka aib
seseorang. Sebagaimana dalam firman-Nya dalam al-Qur’an surah an-Nur : 19 yang
berbunyi :
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ
آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ
يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya
orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang Amat keji itu tersiar di
kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di
akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui. (Q.S. an-Nur :
19)
Aib
yang ada pada seseorang bisa dibagi menjadi dua kategori: yaitu Pertama,
aib yang sifatnya khalqiyah, yaitu aib yang sifatnya qodrati
dan bukan merupakan perbuatan maksiat. Seperti cacat di salah satu organ tubuh
atau penyakit yang membuatnya malu jika diketahui oleh orang lain.
Aib
seperti ini adalah aurat yang harus dijaga, tidak boleh disebarkan atau dibicarakan,
baik secara terang-terangan atau dengan gunjingan, karena perbuatan tersebut
adalah dosa besar menurut mayoritas ulama, karena aib yang sifatnya penciptaan
Allah yang manusia tidak memiliki kuasa menolaknya, maka menyebarkannya berarti
menghina dan itu berarti menghina Penciptanya. (Imam al Ghazali dalam kitab
Ihya’ Ulumuddin).
Kedua, aib
berupa perbuatan maksiat, baik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau
terang-terangan. Maksiat yang dilakukan sembunyi-sembunyi juga terbagi
menjadi dua: yaitu Perbuatan maksiat yang hanya merusak hubungannya secara
pribadi dengan Allah seperti minum khamr, berzina dll. Jika seorang muslim
mendapati saudaranya melakukan perbuatan seperti ini hendaklah ia tidak
menyebarluaskan hal tersebut, namun dia tetap memiliki kewajiban untuk
melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar. Imam Syafi’i berkata, “Siapa
yang menasehati saudaranya dengan tetap menjaga kerahasiaannya berarti dia
benar-benar menasehatinya dan memperbaikinya. Sedang yang menasehati tanpa
menjaga kerahasiaannya, berarti telah mengekspos aibnya dan
mengkhianatinya." (Syarh Shahih Muslim, Imam an Nawawi).
Selanjutnya, perbuatan
maksiat yang dilakukan sembunyi-sembunyi tapi merugikan orang lain seperti
mencuri, korupsi dan lain sebagainya. Maka perbuatan seperti ini diperbolehkan
untuk diselidiki dan diungkap, karena hal ini sangat berbahaya jika dibiarkan,
karena akan lebih banyak lagi merugikan orang lain.
Ada
sebuah kisah masyhur yang ditulis oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitab "Tawwabin"
dapat dijadikan pelajaran bagi kita untuk menutup aib diri sendiri dan aib
orang lain serta mengakuinya dihadapan Allah dengan bertaubat atas dosa
tersebut.
Disebutkan bahwa pada zaman nabi Musa 'alaihis salam, Bani Israil ditimpa
musim kemarau yang berkepanjangan. Mereka pun berkumpul mendatangi Nabi
mereka. Mereka berkata , "Wahai Kaliimallah, berdoalah kepada
Rabbmu agar Dia menurunkan hujan kepada kami." Maka
berangkatlah nabi Musa 'alaihis salam bersama kaumnya
menuju padang pasir yang luas bersama lebih dari 70 ribu orang. Mulailah
mereka berdoa dengan kondisi yang lusuh penuh debu, haus dan lapar.
Musa
berdoa, "Wahai Tuhan kami turunkanlah hujan kepada kami,
tebarkanlah rahmat-Mu, kasihilah anak-anak dan orang-orang yang mengandung,
hewan-hewan dan orang-orang tua yang rukuk dan sujud."
Setelah
itu langit tetap saja terang benderang, matahari pun bersinar makin
kemilau. Kemudian Musa berdoa lagi, "Wahai Tuhanku berilah kami
hujan".
Allah
pun berfirman kepada Musa, "Bagaimana Aku akan menurunkan hujan
kepada kalian sedangkan di antara kalian ada seorang hamba yang bermaksiat
sejak 40 tahun yang lalu. Keluarkanlah ia di depan manusia agar dia
berdiri di depan kalian semua. Karena dialah, Aku tidak menurunkan hujan
untuk kalian. "
Maka
Musa pun berteriak di tengah-tengah kaumnya, "Wahai hamba yang
bermaksiat kepada Allah sejak 40 tahun, keluarlah ke hadapan kami, karena
engkaulah hujan tak kunjung turun."
Seorang
laki-laki melirik ke kanan dan kiri, maka tak seorang pun yang keluar di depan
manusia, saat itu pula ia sadar kalau dirinyalah yang dimaksud.
Ia
berkata dalam hatinya, "Kalau aku keluar ke depan manusia, maka
akan terbuka rahasiaku. Kalau aku tidak berterus terang, maka hujan pun
tak akan turun. "
Maka
kepalanya tertunduk malu dan menyesal, air matanya pun menetes, sambil berdoa
kepada Allah, "Ya Allah, Aku telah bermaksiat kepadamu selama 40
tahun, selama itu pula Engkau menutupi aibku. Sungguh sekarang aku bertobat
kepada-Mu, maka terimalah taubatku. "
Belum
sempat ia mengakhiri doanya maka awan-awan tebalpun bergumpal, semakin tebal
menghitam lalu turunlah hujan.
Nabi
Musa pun keheranan dan berkata, "Ya Allah, Engkau telah turunkan
hujan kepada kami, namun tak seorang pun yang keluar di depan manusia."
Allah
berfirman, "Aku menurunkan hujan karena seorang hamba yang
karenanya hujan tak kunjung turun."
Musa
berkata, "Ya Allah, Tunjukkan padaku hamba yang taat itu."
Allah
berfirman, "Wahai Musa, Aku tidak membuka aibnya padahal ia
bermaksiat kepada-Ku, apakah Aku membuka akan aibnya sedangkan ia taat
kepada-Ku?!"
Setiap
orang pasti memiliki kekurangan, cela dan dosa tertentu pada dirinya, maka
suatu aib yang ada pada seseorang dapat dijadikan pelajaran bagi orang lain
untuk dapat belajar dan memperbaiki diri agar tidak melakukan hal serupa yang
akan menimpa dirinya dan orang lain akibat perbuatannya tersebut.
Kita
senantiasa selalu dianjurkan untuk menutupi aib sesama muslim,
sebagaimana kandungan hadits nabi bahwasanya jika kita menutupi aib seseorang,
maka kelak pada hari kiamat Allah akan menutup aib kita.
Tertutup
ada dua macam: hissi dan maknawi. Tertutup secara hissi adalah memakai kain
yang baik dan bagus untuk menutupi aurat sehingga tidak dilihat oleh pandangan
orang. Petunjuk Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ini berlaku dalam
semua kondisi kecuali antara pasangan suami-istri saat berhubungan. Maka bagi
siapa yang sedang buang air atau mandi hendaknya ia memasang penutup supaya
tidak terlihat oleh pandangan mata orang.
Tertutup
secara maknawi adalah menutupi aib dan perbuatan dosa dengan tidak menceritakan
dan menyebarkannya kepada orang lain. Ini juga berlaku atas orang yang melihat
saudara muslimnya telah melakukan perbuatan dosa atau melakukan tindakan hina
maka janganlah ia menyebarkannya kepada msyarakat, tapi hendaknya ia
mencegahnya dari perbuatan maksiat dan menyuruhnya bertaubat kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala. Karenanya Islam melarang keras umatnya dari mencari-cari
kesalahan kaum muslimin yang tersembunyi untuk dia sebarkan ke tengah-tengah
manusia. Perbuatan tersebut dapat mengundang murka Allah kepadanya dan
menyebabkannya mengerjakan perbuatan buruk saudaranya tadi. Karena balasan
sesuai dengan jenis amal. Maka siapa yang mencari-cari aib orang lain dan menyebarkannya
di tengah-tengah manusia maka Allah akan menyingkap aibnya dan menyebarkannya
di tengah-tengah makhluk-Nya. Bahkan dosa dan maksiat yang dikerjakannya di
dalam kamarnya di tengah malam akan juga diketahui orang
C. Hadist tentang larangan membuka aib
1.
Hadits
Riwayat Imam Muslim
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ:(( لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِى الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ)) رواه مسلم
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, Nabi SAW bersabda:
“Seorang hamba tidak menutupi aib hamba yang lain di dunia kecuali Allah akan
menutupi aibnya di hari kiamat”. (HR; Muslim)
2.
Hadits Riwayat Bukhori
Muslim
وَعَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم
يَقُوْلُ: ((كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِيْنَ، وَإِنَّ مِنَ
الْمُجَاهِرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحُ
وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فَيَقُوْلُ: يَافُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ
كَذَا وَكَذَ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ
اللهِ)) متفق عليه
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA ia berkata, “Aku pernah
mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Seluruh umatku akan diampuni dosa-dosa
kecuali orang-orang yang terang-terangan (berbuat dosa). Di antara orang-orang
yang terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang yang pada waktu malam
berbuat dosa, kemudian di waktu pagi ia menceritakan kepada manusia dosa yang
dia lakukan semalam, padahal Allah telah menutupi aibnya. Ia berkata, “Wahai
fulan, semalam aku berbuat ini dan itu”. Sebenarnya pada waktu malam Tuhannya
telah menutupi perbuatannya itu, tetapi justru pagi harinya ia membuka aibnya
sendiri yang telah ditutupi oleh Allah. (HR: Bukhari dan Muslim).
3.
Hadits Riwayat Bukhori
وَعَنْهُ قَالَ:
أُتِيَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ قَالَ: اضْرِبُوْهُ، قَالَ: فَمِنَّا الضَّارِبُ بِيَدِهِ، وَالضَّارِبُ
بِنَعْلِهِ وَالضَّارِبُ بِثَوْبِهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ:
أَخْزَاكَ اللهُ، قَالَ: لَا تَقُوْلُوا هَكَذَا لَا تُعِيْنُوْا عَلَيْهِ
الشَّيْطَانَ. رواه البخارى
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “Ada seorang
laki-laki yang minum minuman keras (khamr) dibawa di hadapan Nabi SAW, maka
beliau bersabda: “Kalian pukullah dia”. Abu Hurairah berkata, “Di antara kami
ada yang memukul dengan tangannya, ada yang memukul dengan sandalnya, dan ada
yang memukul dengan pakaiannya”. Ketika orang itu akan kembali, sebagian orang
berkata kepadanya. “Mudah-mudahan Allah menghinakanmu”. Rasulullah bersabda:
“Jangan kalian berkata yang demikian itu, jangan kamu membantu perbuatan
syaitan (syaitan akan senang jika Allah menghinakan hambanya karena memang itu
pekerjaan syaitan)”. (HR; Bukhari)
4.
Hadits Riwayat Bukhori
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ
حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَ عَبْدٌ حَدَّثَنِي
وَقَالَ اْلآخَرَانِ حَدَّثَنَا يَعْقُوْبُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ حَدَّثَنَا اِبْنُ
أَخِي اِبْنِ شِهَابٍ عَنْ عَمِّهِ قَالَ قَالَ سَالِمٌ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ
يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:
كُلُّ
أُمَّتِي مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ وَإِنَّ مِنَ اْلإِجْهَارِ أَنْ
يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ
فَيَقُوْلُ يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ
يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيْتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ
اللهِ عَنْهُ قَالَ زُهَيْرٌ وَإِنَّ مِنَ الْهِجَارِ.[4]
Telah
menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb, Muhammad bin Hatim dan Abdu bin Humaid, Abdu
berkata : telah menceritakan kepadaku, sedang yang lain berkata: telah
menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim telah menceritakan kepada
kami anak saudaraku Ibnu Syihab dari pamannya, ia
berkata: Salim berkata: Saya mendengar Abu
Hurairah Radhiyallaahu’anhu , ia berkata:
Aku pernah
mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Semua umatku akan
ditutupi segala kesalahannya kecuali orang-orang yang berbuat maksiat dengan
terang-terangan. Masuk dalam kategori berbuat maksiat terang-terangan adalah
bila seorang berbuat dosa di malam hari kemudian Allah telah menutupi dosanya,
lalu dia berkata (kepada temannya): Hai Fulan! Tadi malam aku telah berbuat ini
dan itu. Allah telah menutupi dosanya ketika di malam hari sehingga ia bermalam
dalam keadaan ditutupi dosanya, kemudian di pagi hari ia sendiri menyingkap
tirai penutup Allah dari dirinya.
Zuhair berkata dan sesungguhnya
termasuk dari Hijar (menampak-nampakkan dosa).
5.
Hadits Riwayat Tirmidzi
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَهُمْ يَوْمًا بِصَوْةٍ رَفِيْعٍ فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ
مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ لَا تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ
وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعُ عَوْرَةَ أَخِيهِ تَتَبَّعَ
اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ
يُفْضِحُهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ بَيْنِه
“Bahwa suatu
hari Rasulullah SAW berkhutbah di hadapan mereka (para sahabat) dengan suara
yang amat keras, beliau bersabda, ‘Wahai mereka yang beriman dengan lisannya,
namun keimanan belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum
muslimin, dan janganlah kalian mencari-cari aib dan kesalahan mereka.
barangsiapa yang mencari-cari aib dan kesalahan saudaranya, maka Allah akan membuka
aibnya, dan barang siapa yang aibnya dibuka oleh Allah, maka Allah akan membuatnya
malu sekalipun dia berada di lorong rumahnya.” (HR. At-Tirmizi no. 2032)
Allah menganjurkan agar para hamba-Nya saling menutupi aib
diantara sesama mereka. Untuk itu Allah telah menyediakan bagi mereka pahala
yang sesuai dengan amalan baik mereka, yaitu akan menyembunyikan aib dan mengampuni dosa
mereka pada hari kiamat karena mereka telah menyembunyikan aib saudaranya di
dunia. Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu berkata, “Tentang ditutupnya aib si hamba
pada hari kiamat, maka ada dua kemungkinan makna:
Pertama: Allah akan menutupi kemaksiatan dan aibnya dengan
cara tak mengumumkannya kepada manusia di padang mahsyar.
Kedua: Allah tak akan menghisab aibnya dan tak akan menyebut aibnya tersebut.” (Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim: 16/360)
Kedua: Allah tak akan menghisab aibnya dan tak akan menyebut aibnya tersebut.” (Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim: 16/360)
6.
Hadits Riwayat Bukhori
إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ
فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُوْلُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا،
أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ
بِذُنُوْبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا،
وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ. فَيُعْطِي كِتَابَ حَسَنَاتِهِ
“Sesungguhnya
(pada hari kiamat) Allah akan mendekatkan seorang mukmin, lalu Allah meletakkan
tabir & menutupinya. Lalu Allah berfirman, “Apakah kamu mengetahui dosa
ini? Apakah engkau tahu dosa itu?” Dia menjawab, “Ia, betul saya tahu wahai
Rabbku.” Hingga ketika Allah telah membuat dia mengakui semua dosanya & dia
mengira dirinya sudah akan binasa,, Allah berfirman kepadanya, “Aku telah
menutupi dosa-dosa ini di dunia, maka pada hari ini Aku mengampuni dosa-dosamu
itu.” Lalu diberikanlah padanya catatan kebaikan-kebaikannya.” (HR. Al-Bukhari
no. 2261)
Menutup yang
paling utama adalah menutup aib diri sendiri, yang mana Allah telah menutupinya
dan telah memuliakannya dengan memberi ampunan kepadanya karena ia merasa
bersalah telah berbuat maksiat dan merasa malu pada dirinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas dapat kami beri kesimpulan bahwa menutup aib kaum muslim itu
sangat dianjurkan bahkan wajib hukumnya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam
firman Allah bahwa kaum muslimin itu semuanya bersaudara, sehingga sudah
seharusnya kita saling menjaga untuk tidak membuka aib sesama muslim.
Ada
banyak hadits yang menerangkan bahwa jika kita menutup aib saudara kita (kaum
muslim) di dunia, maka allah akan menutup aib kita di akhirat nanti. Tidak
hanya itu, Allah juga menyiapkan siksa yang cukup pedih jika kita gemar membuka
dan menyebarkan aib kaum muslim.
DAFTAR
PUSTAKA
Nahlas (an-), Imam Muhyiddin, Tambihul
Ghafilin, diterjemahkan oleh Gafur Saub dan Irfanuddin Rafiuddin, Tanbihul
Ghafilin, Peringatan dan nasehat bagi Orang-orang yang lalai, Jakarta :
Pustaka as-Sunnah, 2011.
Nawawi, Imam, Riyadhus
Shalihin, diterjemahkan oleh Agus Hasan Bashori al-Sanusi dan Muhammad
Syu’aib al-Faiz al-Sanusi, Tarjamah Riyadhus Shalihin, Surabaya : Duta
Ilmu, 2006
Al-Bukhari, Kitab
al-adab, bab 60, hadits no. 6069
Sunan at-Tirmidzi, 2032
Tidak ada komentar:
Posting Komentar