KAFARAT (TEBUSAN) GHIBAH & BERTAUBAT DARI-NYA.
Oleh: Ulinuha Asnawi
Bagi yang suka Ghibah dibulan puasa, cara bertaubat dari-nya, sekaligus
penjelasan lebih rinci telah dijelaskan oleh An-Nawawi dalam kitab-nya
Al-Adzkar. sekali baca mungkin in syaa Alloh faham, karena sudah saya
translate dalam B.Indonesia..dua bait sair yang sangat populer dalam
hifdzul lisan (menjaga lisan)
اِحْفَظْ لِسَانَكَ أَيُّهَا اْلإِنْسَانُ
لَا يُلَدِّغَنَّكَ إِنّهُ ثُعْبَانُ
Jagalah lisanmu wahai manusia
Jangan sampai dia menggigitmu, karena dia adalah ular yang berbisa
كَمْ فِيْ الْمَقَابِرِ مِنْ قَتِيْلِ لِسَانِهِ
قَدْ كَانَ هَابَ لِقَاءَهُ الشُّجْعَانُ
Berapa banyak dalam alam kubur orang yang mati karena lisannya
Orang yang pemberanipun takut kepadanya
_____________________
Perlu diperjelas, bahwa setiap perbuatan maksiat wajib segera
bertaubat darinya, taubat dari Hak Alloh syaratnya ada tiga, berhenti
tidak mengulanginya, menyesal atas perbuatannya dan mempunyai azam tidak
mengulanginya. Sedangkan taubat dari Hak Anak adam disaratkan tiga
sarat ini dan yang ditambah yang ke empat adalah mengembalikan hak orang
yangdidzalimi dan meminta maaf kepadanya.
Oleh karenanya, wajib
bagi orang yang gibah bertaubat dengan empat sarat tersebut. Karena dosa
ghibah adalah termasuk dosa Hak Anak Adam, maka dari itu wajib meminta
halal kepada orang yang diperlakukan demikian, kemudian apakah cukup
meminta maaf saja, atau diwajibkan ta’yin (menjelaskan) bahwa dia telah
berbuat ghibah kepadanya? Dalam hal ini menurut Ulama Syafi’iyah adan
dua wajah, di syaratkan (ta’yin) menjelaskannya, karena terlepasnya dari
dosa ini, dengan tanpa (ta’yin) menjelaskan kesalahannya hukumnya tidak
sah, sebagaimana terlepas dari harta yang tidak diketahui jumlahnya,
pendapat yang kedua, tidak disyaratkan, karena dosa ini dengan memohon
maaf dapat menghapus dengan sendirinya, oleh karenanya tidak diperlukan
(ta’yin) menjelaskan kesalahannya berbeda dengan hukum pada harta benda.
Sedangkan yang lebih benar adalah pendapat yang pertama, karena
seseorang dapat memaafkan ghibah yang disebutkan, belum tentu memaafkan
ghibah lainnya. Kemudian jika orang yang di¬-ghibah-i sudah meninggal
dunia, tidak dimungkinkan memohon maaf kepadanya, akan tetapi para Ulama
mengatakan, seyogyanya memperbanyak istighfar untuknya, mendoakan dan
memperbanyak berbuat kebaikan.
Perlu diperhatikan, bahwa orang
yang terkena ghibah disunahkan memberikan maaf kepada orang yang ghibah,
dan tidak wajib baginya memberikan maaf. Karena hal itu merupakan hak
suka rela sehingga dia berhak memilih antara memaafkan dan tidak. Akan
tetapi hukumnya jelas sunah baginya, agar kepada sesama muslim dapat
terlepas dari dosanya dan dia sendiri mendapatkan pahala yang besar dari
Alloh Swt, berupa taubat, memberi maaf, dan cinta Alloh Swt kepadanya.
Firman Alloh Swt:
“Dan orang-orang yang menahan amarhnya dan memaafkan kesalahan orang
(lain), dan Alloh Swt menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (Q.S
Ali Imran: 134)
Cara memberikan maaf adalah dengan mengatakan
kepada dirinya sendiri, bahwa sesuatu itu telah terlanjur terjadi,
sehingga tidak perlu lagi dipermasalahkan dan tidak sepatutnya
melepaskan pahala yang besar dari melepaskan dosa kepada sesama muslim.
Firman Alloh Swt:
“Tetapi orang yang sabar dan memberi maaf, sesungguhnya perbuatan itu termasuk hal-hal yang diutamakan” (Q.S Asy-Syura: 43)
“Jadilah engkau pemaaf, dan perintahkanlah orang-orang untuk berbuat
yang ma’ruf, serta berpaling dari orang-orang bodoh” (Q.S Al-A’raf: 199)
Ayat-ayat yang menjelaskan tentang demikian sangatlah banyak.
Dalam hadits shahih dijelaskan, bahwa sesungguhnya Rosulullah Saw
bersabda: Dan Alloh selalu menolong seorang hamba selama hamba tersebut
menolong saudaranya.
Al-Imam As-Syafi’i rahimahullah mengatakan,
barangsiapa dimintai ridhanya tetapi dia tidak memberikan ridhanya, maka
dia adalah setan.
Para Ulama terdahulu mengatakan dalam syairnya.
قِيْلَ لِيْ قَدْ أَسَاءَ إِلَيْكَ فُلَانٌ
وَمُقَامُ الْفَتَى عَلَى الذُّلِّ عَارُ
Dikatakan kepadaku bahwa si Fulan berbuat baik kepadamu
Padahal kedudukan pemuda dalam kehinaan adalah sebuah aib
قُلْتُ قَدْ جَاءَنَا وَأحْدَثَ عُذْراً
دِيَةُ الذَّنْبِ عِنْدَنَا الْاِعْتِذَارُ
Aku katakan, bahwa dia telah datang dan meminta maaf
Pengganti, tebusan dosa menurutku adalah memberi maaf.
Inilah yang kami sebutkan tentang memberi maaf dari ghibah, dan ini
adalah yang benar. Sedangkan apa yang dikatakan oleh Sa’id bin Musayyab
bahwa dia mengatakan, aku tidak akan memberi maaf kepada orang yang
berbuat dzalim kepadaku, kemudian perkataan Ibnu Sirin, bahwa aku tidak
akan mengharamkan atasnya dan aku akan menghalalkan atasnya, karena
ghibah adalah hal yang diharamkan oleh Alloh, dan aku tidak akan
menghalalkan sesuatu yang diharamkan Alloh Swt selamanya. Pernyataan ini
adalah pernyataan yang dhaif dan salah besar, karena orang yang
memaafkan bukan berarti menghalalkan yang haram, tetapi hanya sekedar
memberikan hak yang ada padanya.
Dan sudah sangat jelas nas
Al-Qur’an dan hadits rosul yang menjelaskan kesunahan memberi maaf dan
membebaskan hak orang lain dengan memberi maaf, atau bisa jadi perkataan
Ibnu Sirin mengandung arti, bahwa aku tidak akan menghukumi mubah
kepada orang yang berbuat ghibah kepadaku selamanya. Ini yang shahih,
karena semua orang jika mengatakan, bahwa aku mubahkan kehormatanku
untuk orang yang ingin melakukan ghibah kepadaku, maka ghibah tidak akan
bisa menjadi halal, dan hukumnya tetap haram kepada siapaun yang
melakukan ghibah kepadanya, sebagaimana haram hukumnya dilakukan kepada
orang lain.
Sebagaimana hadits berikut:
“Tidak bisakah seseorang
dari kalian seperti Abu Dham-dham, yang ketika keluar rumah dengan
mengucapkan, Aku bersedekah dengan kehormatanku kepada seluruh manusia”.
Makna hadits, aku tidak akan menuntut balas kepada orang yang telah
mendzalimiku, tidak di dunia juga kelak di akhirat, ini adalah perkataan
yang dipakai untuk memberikan haknya sebelum memaafkan, sedangkan hukum
perkataan setelahnya, maka tidak dipungkiri memerlukan permohonan maaf
yang baru. Wabillahi taufiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar