Zakat : Macam-macam Zakat dan Dalil-dalilnya. Mungkin
selama ini telinga kita sangat akrab dengan istilah zakat fitrah dan
zakat mal tapi apa dan bagaimananya zakat fitri dan zakat mal
dilaksanakan , ditentukan dan landasan hukum secara sya'rii itu mungkin
hanya orang-orang tertentu saja yang paham.
Khusus untuk pembahasan zakat
fitrah mengenail dalil hukum , syarat , penghitungan , waktu , tempat
dan orang-orang yang berhak mendapatkan silahkan klik disini semua tentang zakat fitrah.
Oleh sebab itu tim bacaankeluarga.blogspot.com melihat hal ini adalah penting untuk dipaham dan dipelajari bersama maka kami menyajikan artikel Macam-macam Zakat dan Dalil-dalilnya diambil dari tulisan ustad Farid Nu’man Hasan semoga bermanfaat dan jangan lupa di SHARE dan di LIKE ya :
Muqadimah Pengertian Zakat - Macam macam zakat dan dalil-dalil berzakat
Zakat
termasuk ibadah maaliyah (harta) yang paling pokok di antara ibadah
maaliyah lainnya. Perintah zakat termaktub dalam Al Quran, dan
kewajibannya sering digandeng dengan shalat sebanyak di 82 ayat. (Fiqhus
Sunnah, 1/327).
Di antaranya:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (QS. Al Baqarah (2): 110)
Ayat lainnya:
لَئِنْ
أَقَمْتُمُ الصَّلَاةَ وَآَتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآَمَنْتُمْ بِرُسُلِي
وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا لَأُكَفِّرَنَّ
عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
Sesungguhnya
jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada
rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. (QS. Al
Maidah (5): 12) dan berbagai ayat lainnya.
Hikmah Zakat
Ada beberapa hikmah yang bisa kita petik dari amal zakat ini.
1. Agar muzakki mampu mengontrol harta kekayaannya, sehingga dia tidak dilalaikan dengan hartanya tersebut.
2. Agar harta tidak berputar hanya pada orang kaya saja.
3.
Meminimkan kesenjangan dan kecemburuan sosial sehingga mampu
mendekatkan hubungan antara muzakki dan mustahiq, sehingga ukhuwah
islamiyah dapat terwujud dengan harmonis. Bahkan jika dikelola dengan
profesional, zakat bisa menjadi sarana pengentasan kemiskinan.
4. Melatih dan melahirkan sifat dermawan dan cinta kebaikan bagi muzakki.
Pembagian Jenis Zakat Menurut Macam-Macam Harta
Tentang zakat, secara global ada dua macam.
1. Zakat Fitri
Yaitu
zakat yang dikeluarkan pada saat menjelang hari raya, paling lambat
sebelum shalat Idul Fitri, untuk mengenyangkan kaum fakir miskin saat
hari raya, dan hukumnya wajib. Untuk lebih lengkap tentang zakat fitri
silahkan baca artikel : Zakat fitrah - dalil dan cara penghitungannya.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:
أي الزكاة التي تجب بالفطر من رمضان. وهي واجبة على كل فرد من المسلمين، صغير أو كبير، ذكر أو أنثى، حر أو عبد
Yaitu
zakat yang diwajibkan karena berbuka dari Ramadhan (maksudnya:
berakhirnya Ramadhan). Dia wajib bagi setiap pribadi umat Islam,
anak-anak atau dewasa, laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak.
(Fiqhus Sunnah, 1/412)
Beliau juga mengatakan:
تجب
على الحر المسلم، المالك لمقدار صاع، يزيد عن قوته وقوت عياله، يوما
وليلة. وتجب عليه، عن نفسه، وعمن تلزمه نفقته، كزوجته، وأبنائه، وخدمه
الذين يتولى أمورهم، ويقوم بالانفاق عليهم.
Wajib
bagi setiap muslim yang merdeka, yang memiliki kelebihan satu sha’
makanan bagi dirinya dan keluarganya satu hari satu malam. Zakat itu
wajib, bagi dirinya, bagi orang yang menjadi tanggungannya, seperti
isteri dan anak-anaknya, pembantu yang melayani urusan mereka, dan itu
merupakan nafkah bagi mereka. (Ibid, 1/412-413)
Harta
yang dikeluarkan adalah makanan pokok di negeri masing-masing, kalau di
negeri kita sebanyak (+/-) 2,5 Kg beras. Ini pandangan jumhur
(mayoritas) imam madzhab seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam
Ahmad bin Hambal. Mereka menolak pembayaran zakat fitri dengan nilai
harganya (uang), karena hal itu dianggap bertentangan dengan sunah nabi.
Ini juga menjadi pandangan sebagian besar ulama kerajaan Arab Saudi,
dan yang mengikuti mereka.
Dasarnya adalah:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ
الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ حُرٍّ
أَوْ عَبْدٍ أَوْ رَجُلٍ أَوْ امْرَأَةٍ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ صَاعًا مِنْ
تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
Dari
Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mewajibkan zakat fitri pada bulan Ramadhan untuk setiap jiwa kaum
muslimin, baik yang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan,
anak-anak atau dewasa, sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’
biji-bijian. (HR. Muslim No. 984)
Hadits
ini menunjukkan bahwa yang mesti dikeluarkan dalam zakat fitri adalah
makanan pokok pada sebuah negeri, sebagaimana contoh dalam hadits ini.
Maka, menggunakan nilai atau harga dari makanan pokok merupakan
pelanggaran terhadap sunah ini.
Sedangkan Imam Abu Hanifah, menyatakan bolehnya zakat fitri dengan uang. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
وجوز أبو حنيفة إخراج القيمة
Abu Hanifah membolehkan mengeluarkan harganya. (Fiqhus Sunnah, 1/413)
Ini
juga pendapat Imam Sufyan Ats Tsauri, Imam ‘Atha, Imam Al Hasan Al
Bashri, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan juga sahabat nabi, seperti
Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu dan Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu,
membolehkannya dengan nilainya, sebab yang menjadi prinsip adalah
terpenuhi kebutuhan fakir miskin pada hari raya dan agar mereka tidak
meminta-minta pada hari itu. Sebagaimana hadits dari Ibnu Umar
Radhiallahu ‘Anhuma:
فرض رسول الله صلى الله عليه و سلم زكاة الفطر وقال أغنوهم في هذا اليوم
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitri, Beliau bersabda:
“Penuhilah kebetuhan mereka pada hari ini.” (HR. Ad Daruquthni, 2/152)
Dalam riwayat lain:
أَغْنُوهُمْ عَنْ طَوَافِ هَذَا الْيَوْمِ
Penuhilah
kebutuhan mereka, jangan sampai mereka berkeliling (untuk minta-minta)
pada hari ini. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7528)
Dari
riwayat ini, bisa dipahami bahwa yang menjadi substansi adalah
terpenuhinya kebutuhan mereka ketika hari raya dan jangan sampai mereka
mengemis. Pemenuhan kebutuhan itu bisa saja dilakukan dengan memberikan
nilai dari kebutuhan pokoknya, atau juga dengan barangnya. Apalagi untuk
daerah pertanian, bisa jadi mereka lebih membutuhkan uang dibanding
makanan pokok, mengingat daerah seperti itu biasanya tidak kekurangan
makanan pokok.
Sebagaian
ulama kontemporer, seperti Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullahu
Ta’ala membolehkan dengan uang, jika memang itu lebih membawa maslahat
dan lebih dibutuhkan oleh mustahiq, tapi jika tidak, maka tetaplah
menggunakan makanan pokok. Ini juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, hanya saja Beliau membicarakannya bukan dalam konteks zakat
fitri tapi zakat peternakan, bolehnya dibayarkan dengan uang jika memang
itu lebih membawa maslahat, jika tidak ada maslahat, maka tetap tidak
boleh menggunakan uang (harganya). Wallahu A’lam
Kepada
siapa dibagikan zakat fitri? Tidak ada bedanya dengan zakat lain, bahwa
zakat fitri hendaknya diberikan kepada delapan ashnaf yang telah
dikenal. Tetapi, untuk zakat fitri penekanannya adalah kepada fakir
miskin, sebagaimana riwayat di atas, agar mereka terpenuhi kebutuahnya
dan tidak mengemis.
Syaikh Sayyid Sabiq berkata:
والفقراء هم أولى الاصناف بها
Orang-orang fakir, mereka adalah ashnaf yang lebih utama untuk memperoleh zakat fitri. (Fiqhus Sunnah, 1/415)
Dasarnya adalah hadits:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
Dari
Ibnu Abbas, katanya: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mewajibkan zakat fitri, untuk mensucikan orang yang berpuasa dari
hal-hal yang sia-sia, perbuatan keji, dan sebagai makanan bagi
orang-orang miskin. (HR. Abu Daud No. 1609, Ibnu Majah No. 1827. Al
Hakim dalam Al Mustadrak No. 1488, katanya: shahih sesuai syarat
Bukhari. Imam Ibnu Mulqin mengatakan: hadits ini shahih. Lihat Badrul
Munir, 5/618.)
2. Zakat Mal (Zakat Harta)
Zakat Mal mencakup beberapa jenis harta, yakni:
A. Zakat Emas dan Perak
Kewajiban zakat emas dan perak, diperintahkan dalam Al Quran:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ
وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ
وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ
وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ
فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا
كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (35)
34.
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari
orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan
harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia)
dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
35.
pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar
dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan)
kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu
sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan
itu." (QS. At Taubah (9): 34-35)
Khadimus Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
والزكاة
واجبة فيهما، سواء أكانا نقودا، أم سبائك، أم تبرأ، متى بلغ مقدار المملوك
من كل منهما نصابا، وحال عليه الحول، وكان فارغا عن الدين، والحاجات
الاصلية.
Zakat
diwajibkan atas keduanya (emas dan perak), sama saja apakah berupa mata
uang, kepingan, atau masih gumpalan, pada saat dimiliki keduanya sudah
mencapai nishab dan sudah se-haul (satu tahun) kepemilikannya, dan
pemiliknya bebas dari hutang dan berbagai kebutuhan mendasar. (Lihat
Fiqhus Sunnah, 1/339. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Nishab
zakat emas adalah jika telah mencapai 20 Dinar dan selama satu tahun
kepemilikan, maka zakatnya 1/40-nya, yakni setengah Dinar. (HR. Abu Daud
No. 1573, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7325, dishahihkan
Syaikh Al Albani. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1573)
Satu Dinar adalah 4,25 gram emas. Jadi, jika sudah memiliki 85 gram emas, maka dikeluarkan zakatnya 2,125 gram.
Nishab
zakat perak adalah jika telah mencapai 200 Dirham selama setahun
kepemilikan sebanyak 1/40-nya, yakni 5 dirham. (HR. Abu Daud No. 1574,
At Tirmdizi No. 620, Ahmad No. 711, 1232, Al Bazar No. 679, dan lainnya.
Imam At Tirmidzi bertanya kepada Imam Bukhari, apakah hadits ini
shahih? Beliau menjawab: “shahih.” Lihat Sunan At Tirmidzi No. 620)
Satu Dirham adalah 2,975 gram perak. Jadi, jika sudah memiliki 595 gram perak, maka dikeluarkan zakatnya 14,875 gram.
B. Zakat Tijarah (Perniagaan)
Ini
adalah pandangan jumhur ulama sejak zaman sahabat, tabi’in, dan fuqaha
berikutnya, tentang wajibnya zakat harta perniagaan, ada pun kalangan
zhahiriyah mengatakan tidak ada zakat pada harta perniagaan.
Zakat ini adalah pada harta apa saja yang memang diniatkan untuk didagangkan, bukan menjadi harta tetap dan dipakai sendiri.
Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah mengatakan tentang batasan barang dagangan:
ولو
اشترى شيئًا للقنية كسيارة ليركبها، ناويًا أنه إن وجد ربحًا باعها، لم
يعد ذلك مال تجارة بخلاف ما لو كان يشتري سيارات ليتاجر فيها ويربح منها،
فإذا ركب سيارة منها واستعملها لنفسه حتى يجد الربح المطلوب فيها فيبيعها،
فإن استعماله لها لا يخرجها عن التجارة، إذ العبرة في النية بما هو الأصل،
فما كان الأصل فيه الاقتناء والاستعمال الشخصي: لم يجعله للتجارة مجرد
رغبته في البيع إذا وجد ربحًا، وما كان الأصل فيه الاتجار والبيع: لم يخرجه
عن التجارة طروء استعماله. أما إذا نوى تحويل عرض تجاري معين إلى استعماله
الشخصي، فتكفي هذه النية عند جمهور الفقهاء لإخراجه من مال التجارة،
وإدخاله في المقتنيات الشخصية غير النامية
Seandainya
seseorang membeli sesuatu untuk dipakai sendiri seperti mobil yang akan
dikendarainya, dengan niat apabila mendatangkan keuntungan nanti dia
akan menjualnya, maka itu juga bukan termasuk barang tijarah (artinya
tidak wajib zakat, ). Hal ini berbeda dengan jika seseorang membeli
beberapa buah mobil memang untuk dijual dan mengambil keuntungan
darinya, lalu jika dia mengendarai dan menggunakan mobil itu untuk
dirinya, dia menemukan adanya keuntungan dan menjualnya, maka apa yang
dilakukannya yaitu memakai kendaraan itu tidaklah mengeluarkan status
barang itu sebagai barang perniagaan. Jadi, yang jadi prinsip adalah
niatnya. Jika membeli barang untuk dipakai sendiri, dia tidak meniatkan
untuk menjual dan mencari keuntungan, maka hal itu tidak merubahnya
menjadi barang tijarah walau pun akhirnya dia menjualnya dan mendapat
keuntungan. Begitu juga sebaliknya jika seorang berniat merubah barang
dagangan menjadi barang yang dia pakai sendiri, maka niat itu sudah
cukup menurut pendapat mayoritas fuqaha (ahli fiqih) untuk mengeluarkan
statusnya sebagai barang dagangan, dan masuk ke dalam kategori milik
pribadi yang tidak berkembang. (Fiqhuz Zakah, 1/290)
Contoh
si A membeli barang-barang meubel untuk dipakai dan ditaruh dirumah,
maka ini tidak kena zakat, sebab tidak ada zakat pada harta yang kita
gunakan sendiri seperti rumah, kendaraan, pakaian, walaupun berjumlah
banyak kecuali jika itu diperdagangkan . Nah, jika si A membeli
barang-barang tersebut untuk dijual, maka barang tersebut wajib
dikeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nishabnya dan jika sudah satu
haul (setahun), yaitu dengan cara ditaksir harganya dan dikeluarkan
dalam bentuk harganya itu, sebanyak 1/40 harganya.
Abu
Amr bin Himas menceritakan, bahwa ayahnya menjual kulit dan alat-alat
yang terbuat dari kulit, lalu Umar bin Al Khathab berkata kepadanya:
يَا
حِمَاسُ ، أَدِّ زَكَاةَ مَالَك ، فَقَالَ : وَاللَّهِ مَا لِي مَالٌ ،
إنَّمَا أَبِيعُ الأَدَمَ وَالْجِعَابَ ، فَقَالَ : قَوِّمْهُ وَأَدِّ
زَكَاتَهُ.
“Wahai
Himas, tunaikanlah zakat hartamu itu.” Beliau menjawab: “Demi Allah,
saya tidak punya harta, sesungguhnya saya cuma menjual kulit.” Umar
berkata: “Perkirakan harganya, dan keluarkan zakatnya!” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 10557, Abdurrazzaq dalam Al
Mushannaf No. 7099, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7392)
Dari
kisah ini, Imam Ibnu Qudamah mengatakan adanya zakat tijarah adalah
ijma’, sebab tidak ada pengingkaran terhadap sikap Umar bin Al Khathab
Radhiallahu ‘Anhu.
Beliau mengatakan:
وَهَذِهِ قِصَّةٌ يَشْتَهِرُ مِثْلُهَا وَلَمْ تُنْكَرْ ، فَيَكُونُ إجْمَاعًا
Kisah
seperti ini masyhur (tenar), dan tidak ada yang mengingkarinya, maka
hal ini menjadi ijma’. (Lihat Al Mughni, 5/414. Mawqi’ Al Islam)
Yang
termasuk kategori ini, adalah hasil dari sewa menyewa. Tanah, kios,
kebun, rumah, tidaklah ada zakatnya, tetapi jika disewakan maka harga
sewa itu yang dizakatkan.
Syaikh Muhammad Khaathir Rahimahullah (mufti Mesir pada zamannya) berkata:
لا تجب فى الأرض المعدة للبناء زكاة إلا إذا نوى التجارة بشأنها
Tanah
yang dipersiapkan untuk didirikan bangunan tidak wajib dizakati,
kecuali diniatkan untuk dibisniskan dengan mengembangkannya. (Fatawa Al
Azhar, 1/157. Fatwa 15 Muharam 1398)
C. Zakat Hasil Tanaman dan Buah-Buahan
Para
fuqaha sepakat atas kewajiban zakat tanaman dan buah-buahan. Tetapi
mereka berbeda pendapat dalam jenis tanaman dan buah apa saja yang
dizakatkan.
Secara ringkas sebagai berikut:
a.
Zakat tanaman dan buah-buahan hanya pada yang disebutkan secara tegas
oleh syariat, seperti gandum, padi, biji-bijian, kurma dan anggur,
selain itu tidak ada zakat. Ini pendapat Imam Al Hasan Al Bashri, Imam
Sufyan Ats Tsauri, dan Imam Asy Sya’bi. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam
Asy Syaukani.
Pendapat
ini berdasarkan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada
Muadz bin Jabal dan Abu Musa Al Asy’ari ketika mereka diutus ke Yaman:
لا تأخذوا الصدقة إلا من هذه الأربعة الشعير والحنطة والزبيب والتمر
“Janganlah
kalian ambil zakat kecuali dari empat macam: biji-bijian, gandum,
anggur kering, dan kurma. “ (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1459,
katanya: shahih. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7242 , Ad
Daruquthni No. 15)
Secara khusus tidak adanya zakat sayur-sayuran (Al Khadharawat), Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَيْسَ فِي الْخُضْرَوَاتِ صَدَقَةٌ.
Pada
sayur-sayuran tidak ada zakatnya. (HR. Al Bazzar No. 940, Ath Thabarani
dalam Al Awsath No. 5921. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam
Shahihul Jami’ No. 5411)
Maka,
tidak ada zakat pada semangka, jambu, durian, sayur-sayuran, dan
lainnya yang tidak disebutkan oleh nash. Kecuali jika buah-buahan dan
tanaman ini diperdagangkan, maka masuknya dalam zakat tijarah.
b.
Sayur-sayuran dan semua yang dihasilkan oleh bumi (tanah) wajib
dizakati, ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, juga Imam Ibnul ‘Arabi,
dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, dan umumnya ulama kontemporer.
Dasarnya keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untuk kamu .. (QS. Al Baqarah (2): 267)
Juga keumuman hadits:
فيما سقت السماء العشر
Apa
saja yang disirami air hujan maka zakatnya sepersepuluh. (Hadits yang
semisal ini diriwayatkan oleh banyak imam diantaranya: Al Bukhari, At
Tirmidzi, An Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, Al Baihaqi, Ath
Thabarani, Ad Daruquthni, Al Baghawi, Al Bazzar, Ibnu Hibban, Ath
Thahawi, dan Ibnu Khuzaimah)
Maka, hasil tanaman apa pun mesti dikelurkan zakatnya, baik yang dikeluarkan adalah hasilnya itu, atau harganya.
c.
Pendapat Al Qadhi Abu Yusuf yang mengatakan semua yang tumbuh dari bumi
mesti dizakatkan, selama yang bisa bertahan dalam setahun. Ada pun yang
tidak bisa bertahan dalam setahun seperti mentimun, sayur-sayuran,
semangka, dan yang apa saja yang akan busuk dalam waktu sebelum setahun,
maka itu tidak ada zakat.
d.
Kalangan Malikiyah berpendapat, hasil bumi yang dizakatkan memiliki
syarat yaitu yang bertahan (awet) dan kering, dan ditanam oleh orang,
baik sebagai makanan pokok seperti gandum dan padi, atau bukan makanan
pokok seperti jahe dan kunyit. Mereka berpendapat tidak wajib zakat pada
buah tin, delima, dan sayur-sayuran.
e.
Kalangan Syafi’iyah berpendapat, hasil bumi wajib dizakatkan dengan
syarat sebagai makanan pokok dan dapat disimpan, serta ditanam oleh
manusia, seperti padi dan gandum. Tidak wajib zakat pada sayur-sayuran.
f.
Imam Ahmad berpendapat, hasil bumi wajib dizakatkan baik biji-bijian
dan buah-buahan, yang bisa kering dan tahan lama, baik yang ditakar dan
ditanam manusia, baik makanan pokok seperti gandum dan padi, atau bukan
seperti jahe dan kunyit. Juga wajib zakat buah-buahan yang punya ciri di
atas seperti kurma, anggur, tin, kenari, dan lainnya. Sedangkan yang
tidak bisa dikeringkan tidak wajib zakat seperti semangka, pepaya,
jambu, dan semisalnya.
Kita
lihat, para ulama sepakat tentang wajibnya zakat tanaman hanya pada
kurma, padi, gandum, biji-bijian, dan anggur. Tetapi mereka tidak
sepakat tentang wajibnya zakat pada tanaman yang bukan menjadi makanan
pokok, seperti jahe, kunyit, buah-buahan selain anggur dan kurma, dan
sayur-sayuran, sebagian mengatakan wajib, sebagian lain tidak.
Masing-masing alasan telah dipaparkan di atas.
Nishabnya adalah jika hasilnya sudah mencapai 5 wasaq, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
لَيْسَ فِيمَا أَقَلُّ مِنْ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
Tidak ada zakat pada apa-apa yang kurang dari lima wasaq. (HR. Bukhari No. 1484, Muslim No. 979)
Lima
wasaq adalah enam puluh sha’ berdasarkan ijma’, dan satu sha’ adalah
empat mud, lalu satu mud adalah seukuran penuh dua telapak tangan orang
dewasa. Dr. Yusuf Al Qaradhawi telah membahas ini secara rinci dalam
kitab monumental beliau, Fiqhuz Zakah, dan menyimpulkan bahwa lima wasaq
adalah setara dengan +/- 653 Kg.
D. Zakat Ternak
Zakat
hewan ternak (Al An’am) pada Unta, Sapi, Kerbau dan Kambing (dengan
berbagai variannya) adalah ijma’ , tidak ada perbedaan pendapat.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:
جاءت الاحاديث الصحيحة، مصرحة بإيجاب الزكاة في الابل، والبقر، والغنم، وأجمعت الامة على العمل.
ويشترط لايجاب الزكاة فيها: أن تبلغ نصابا وأن يحول عليها الحول وأن تكون سائمة، أي راعية من الكلا المباح أكثر العام
Telah
datang berbagai hadits shahih yang menjelaskan kewajiban zakat pada
Unta, Sapi, dan Kambing, dan umat telah ijma’ (sepakat) untuk
mengamalkannya. Zakat ini memiliki syarat: sudah sampai satu nishab,
berlangsung selama satu tahun, dan hendaknya hewan tersebut adalah hewan
yang digembalakan, yaitu memakan rumput yang tidak terlarang sepanjang
tahun itu. (Fiqhus Sunnah, 1/363)
Sedangkan,
selain hewan Al An’am tidak wajib dizakatkan, seperti kuda, keledai,
ayam, ikan, bighal, kecuali jika semua dijual, maka masuknya dalam zakat
tijarah (perniagaan). Wallahu A’lam
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
لا زكاة في شئ من الحيوانات غير الانعام.فلا زكاة في الخيل والبغال والحمير، إلا إذا كانت للتجارة
Tidak
ada zakat pada hewan-hewan selain Al An’am, maka tidak ada zakat pada
kuda, bighal (peranakan kuda dan keledai), keledai, kecuali jika untuk
diperdagangkan. (Fiqhus Sunnah, 1/368)
Namun demikian, tidak semua Al An’am bisa dizakatkan, ada syarat yang mesti dipenuhi:
1. Sampai nishabnya
2. Sudah berlangsung satu tahun (haul)
3.
Hendaknya hewan ternak itu adalah hewan yang digembalakan, yang memakan
rumput yang tidak terlarang dalam sebagai besar masa setahun itu.
Tiga
syarat ini merupakan pendapat mayoritas ulama, kecuali Imam Malik dan
Imam Laits bin Sa’ad. Menurut mereka berdua, hewan ternak yang
makanannya disabitkan (bukan digembalakan) juga boleh dizakatkan.
Syaikh Sayyid Sabiq mengomentari:
لكن
الاحاديث جاءت مصرحة بالتقييد بالسائمة، وهو يفيد بمفهومه: أن المعلوفة لا
زكاة فيها، لانه لا بد للكلام عن فائدة، صونا له عن اللغو.
Tetapi
hadits-hadits yang ada dengan gamblang mengkhususkan dengan hewan yang
digembalakan, dan hal itu membawa pengertian: bahwa yang disabitkan
rumputnya tidaklah wajib zakat, karena penyebutan tersebut mesti ada
faidahnya, agar ucapan itu tidak sia-sia. (Ibid, 1/364)
Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan:
ولا أعلم من قال بقول مالك والليث من فقهاء الأمصار
Saya
tidak ketahui ada fuqaha sepenjuru negeri yang setuju dengan pendapat
Malik dan Al Laits. (Imam Az Zarqani, Syarh ‘Alal Muwaththa’, 2/154)
- Zakat Unta, berikut rincian dalam Fiqhus Sunnah:
•
Nishabnya 5 ekor, mesti dikeluarkan 1 ekor kambing biasa yang sudah
berusia setahun lebih, atau kambing benggala (dha’n), seperti kibas,
biri-biri, berusia setahun.
•
Jika 10 ekor, maka yang dikeluarkan 2 ekor kambing betina, dan
seterusnya jika bertambah lima bertambah pula zakatnya satu ekor kambing
betina.
• Jika banyaknya 25 ekor, maka zakatnya 1 ekor anak unta betina umur 1-2 tahun, atau 1 ekor anak unta jantan umur 2-3 tahun.
• Jika 36 ekor, zakatnya 1 ekor anak unta betina usia 2-3 tahun
• Jika 46 ekor, zakatnya 1 ekor unta betina berumur 3-4 tahun
• Jika 61 ekor, zakatnya 1 ekor unta betina 4-5tahun
• Jika 76 ekor, zakatnya 2 ekor anak unta betina umur 2-3 tahun
• Jika 91 ekor sampai 120 ekor, zakatnya 2 ekor anak unta betina umur 3-4 tahun
- Zakat Sapi
•
Tidak wajib zakat jika belum sampai 30 ekor, dalam keadaan
digembalakan, dan sudah satu haul, zakatnya 1 ekor sapi jantan atau
betina berumur 1 tahun
• Jika 40 ekor, zakatnya 1 ekor sapi betina berumur 2 tahun
• Jika 60 ekor, zakatnya 2 ekor sapi berumur 1 tahun
• Jika 70 ekor, zakatnya 1 ekor sapi betina umur 2 tahun dan 1 ekor sapi jantan berumur 1 tahun
• Jika 80 ekor, zakatnya 2 ekor sapi betina umur 2 tahun
• Jika 90 ekor, zakatnya 3 ekor sapi umur 1 tahun
• Jika 100 ekor, zakatnya 1 ekor sapi betina umur 2 tahun, serta 2 ekor sapi jantan umur 1 tahun
• 110 ekor, zakatnya 2 ekor sapi betina umur 2 tahun, dan 1 ekor sapi jantan umur 1 tahun
• 120 ekor, zakatnya 3 ekor sapi betina berumur 2 tahun, atau 4 ekor sapi umur 1 tahun.
Dan
seterusnya, jika banyaknya bertambah, maka setiap 30 ekor adalah 1 ekor
sapi umur 1 tahun, dan setiap 40 ekor adalah 1 ekor sapi betina berumur
2 tahun.
- Zakat kambing
•
Tidak dizakatkan kecuali sudah mencapai 40 ekor. Jika berjumlah antara
40-120 ekor dan sudah cukup satu haul, maka zakatnya 1 ekor kambing
betina.
• Dari 121-200 ekor, zakatnya adalah 2 ekor kambing betina
•
Dari 201-300 ekor, zakatnya adalah 3 ekor kambing betina. Dan
seterusnya, tiap tambahan 100 ekor, dikelurkan 1 ekor kambing betina.
Dari domba berumur 1 tahun, dari kambing biasa 2 tahun.
Jika
kambingnya hanya ada yang jantan, maka boleh dikeluarkan yang jantan.
Jika sebagian jantan dan sebagian betina, atau semuanya betina, ada yang
membolehkan jantan, ada juga hanya betina yang dizakatkan.
E. Zakat Rikaz dan Barang Tambang (Ma’din)
Definisi Rikaz sebagai berikut:
قَالَ
مَالِك الْأَمْرُ الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا وَالَّذِي
سَمِعْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ يَقُولُونَهُ إِنَّ الرِّكَازَ إِنَّمَا هُوَ
دِفْنٌ يُوجَدُ مِنْ دِفْنِ الْجَاهِلِيَّةِ مَا لَمْ يُطْلَبْ بِمَالٍ
وَلَمْ يُتَكَلَّفْ فِيهِ نَفَقَةٌ وَلَا كَبِيرُ عَمَلٍ وَلَا مَئُونَةٍ
فَأَمَّا مَا طُلِبَ بِمَالٍ وَتُكُلِّفَ فِيهِ كَبِيرُ عَمَلٍ فَأُصِيبَ
مَرَّةً وَأُخْطِئَ مَرَّةً فَلَيْسَ بِرِكَازٍ
Berkata
Imam Malik: “Perkara yang tidak lagi diperselisihkan bagi kami dan yang
saya dengar dari para ulama, bahwa mereka mengatakan rikaz adalah harta
terpendam yang dipendam sejak masa jahiliyah, untuk menemukannya tidak
membutuhkan ongkos, tidak juga upaya keras dan tenaga besar untuk
mencarinya. Sedangkan yang ditemukan dengan menggunakan ongkos dan
bersusah payah mencarinya, yang kadang bisa berhasil, waktu lain bisa
gagal, maka itu bukan rikaz.” (Al Muwaththa’ No. 585, riwayat Yahya Al
Laitsi)
Sedangkan Ma’din (barang tambang) adalah: diambil dari kata ya’danu – ‘ad-nan yang artinya menetap pada suatu tempat.
Nishab
zakat emas adalah jika telah mencapai 20 Dinar dan selama satu tahun
kepemilikan, maka zakatnya 1/40-nya, yakni setengah Dinar. (HR. Abu Daud
No. 1573, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7325, dishahihkan
Syaikh Al Albani. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1573)
Nishab
zakat perak adalah jika telah mencapai 200 Dirham selama setahun
kepemilikan sebanyak 1/40-nya, yakni 5 dirham. (HR. Abu Daud No. 1574,
At Tirmdizi No. 620, Ahmad No. 711, 1232, Al Bazar No. 679, dan lainnya.
Imam At Tirmidzi bertanya kepada Imam Bukhari, apakah hadits ini
shahih? Beliau menjawab: “shahih.” Lihat Sunan At Tirmidzi No. 620)
Dalil wajibnya zakat rikaz adalah:
وفي الركاز الخمس
Dan pada rikaz zakatnya adalah seperlima (khumus). (HR. Bukhari No. 1499, Muslim No. 1710)
Hadits ini menunjukkan wajibnya zakat rikaz, dan berapa yang mesti dikeluarkan, yakni 1/5, atau 20 %.
Rikaz yang mesti dikeluarkan zakatnya adalah:
الركاز
الذي يجب فيه الخمس، هو كل ما كان مالا، كالذهب والفضة، والحديد، والرصاص،
والصفر، والانية، وما أشبه ذلك.وهو مذهب الاحناف، والحنابلة، وإسحق، وابن
المنذر، ورواية عن مالك، وأحد قولي الشافعي.وله قول آخر: أن الخمس لا يجب
إلا في الاثمان: الذهب والفضة
Rikaz
yang wajib dikeluarkan zakatnya seperlima adalah semua yang berupa
harta seperti emas, perak, besi, timah, tembaga, bejana, dan yang
semisalnya. Inilah pendapat Hanafiyah, Hanabilah, Ishaq, Ibnul Mundzir,
satu riwayat dari Malik, salah satu pendapat dari Asy Syafi’i. Pendapat
yang lain: bahwa seperlima tidaklah wajib kecuali pada mata uang: yaitu
emas dan perak. (Fiqhus Sunah, 1/374)
Kepada
siapa diwajibkan? Siapa saja yang menemukan rikaz, wajib mengeluarkan
zakatnya, baik dewasa atau anak-anak, berakal atau gila, bahkan kafir
dzimmi sekali pun. Ada pun untuk anak-anak dan orang gila yang mengurus
pengeluaran zakatnya adalah walinya.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mennyebutkan:
قَالَ
ابْنُ الْمُنْذِرِ : أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ
الْعِلْمِ ، عَلَى أَنَّ عَلَى الذِّمِّيِّ فِي الرِّكَازِ يَجِدُهُ
الْخُمْسَ .
قَالَهُ
مَالِكٌ ، وَأَهْلُ الْمَدِينَةِ ، وَالثَّوْرِيُّ ، وَالْأَوْزَاعِيُّ ،
وَأَهْلُ الْعِرَاقِ ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ ، وَغَيْرُهُمْ .
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ : لَا يَجِبُ الْخُمْسُ إلَّا عَلَى مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ ؛ لِأَنَّهُ زَكَاةٌ .
وَحُكِيَ عَنْهُ فِي الصَّبِيِّ وَالْمَرْأَةِ أَنَّهُمَا لَا يَمْلِكَانِ الرِّكَازَ .
Semua
ulama yang telah saya ketahui telah sepakat, bahwa orang dzimmi juga
wajib mengeluarkan zakat rikaz yang ditemukannya sebesar 1/5. Ini
menjadi pendapat Malik, penduduk Madinah, Ats Tsauri, Al Awza’i,
penduduk Iraq, ashhab ar ra’yi (pengikut Imam Abu Hanifah), dan selain
mereka. Imam Asy Syafi’i berkata: tidak wajib seperlima kecuali kepada
orang yang wajib berzakat, karena zakat adalah zakat. Diceritakan
darinya, bahwa anak-anak dan wanita tidaklah memiliki rikaz. (Al Mughni,
5/400)
Zakat
rikaz dikeluarkan tanpa menunggu haul, tapi dikeluarkan ketika
menemukannya, juga tidak ada nishab. Ini adalah pendapat jumhur
(mayoritas).
F. Zakat Profesi/Penghasilan/Mata Pencaharian
Ini
adalah jenis zakat yang diperselisihkan para ulama. Hal ini sama dengan
sebagian zakat lainnya, seperti zakat sayur-sayuran, buah-buahan selain
kurma, dan zakat perdagangan. Sebagian kalangan ada yang bersikap keras
menentang zakat profesi, padahal perbedaan seperti ini sudah ada sejak
masa lalu, ketika mereka berbeda pendapat tentang ada tidaknya zakat
sayuran, buah, dan perdagangan tersebut. Seharusnya perbedaan pendapat
yang disebabkan ijtihad seperti ini tidak boleh sampai lahir sikap keras
apalagi membid’ahkan.
Mereka
yang mendukung pendapat ini seperti Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh
Abdul Wahhab Khalaf, Syaikh Abdurrahman Hasan, dan Syaikh Yusuf Al
Qaradhawi, memandang ada beberapa alasan keharusan adanya zakat profesi:
- Profesi yang dengannya menghasilkan uang, termasuk kategori harta dan kekayaan.
-
Kekayaan dari penghasilan bersifat berkembang dan bertambah, tidak
tetap, ini sama halnya dengan barang yang dimanfaatkan untuk disewakan.
Dilaporkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau berpendapat tentang seseorang
yang menyewakan rumahnya mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa
orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa
persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata
pencaharian, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu
nisab, walau tanpa haul.
-
Selain itu, hal ini juga diqiyaskan dengan zakat tanaman, yang mesti
dikeluarkan oleh petani setiap memetik hasilnya. Bukankah petani juga
profesi? Sebagian ulama menolak menggunakan qiyas dalam masalah ini,
tetapi pihak yang mendukung mengatakan bukankah zakat fitri dengan beras
ketika zaman nabi juga tidak ada? Bukankah nabi hanya menyontohkan
dengan kurma dan gandum? Saat ini ada zakat fitri dengan beras karena
beras adalah makanan pokok di Indonesia, tentunya ini juga menggunakan
qiyas, yakni mengqiyaskan dengan makanan pokok negeri Arab saat itu,
kurma dan gandum. Jadi, makanan apa saja yang menjadi makanan pokok-lah
yang dijadikan alat pembayaran zakat. Jika mau menolak, seharusnya tolak
pula zakat fitri dengan beras yang hanya didasarkan dengan qiyas
sebagai makanan pokok.
-
Dalam perspektif keadilan Islam, maka adanya zakat profesi adalah
keniscayaan. Bagaimana mungkin Islam mewajibkan zakat kepada petani yang
pendapatannya tidak seberapa, namun membiarkan para pengusaha kaya,
pengacara, dokter, dan profesi prestise lainnya menimbun harta mereka?
Kita hanya berharap mereka mau bersedekah sesuai kerelaan hati?
-
Dalam perspektif maqashid syari’ah (tujuan dan maksud syariat), adanya
zakat profesi adalah sah. Sebab lebih mendekati keadilan dan
kemaslahatan, serta sesuai ayat:
“Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (keluarkan zakat) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untuk kamu.“ (QS. Al Baqarah (2): 267)
Bukankah zakat penghasilan diambil dari hasil usaha yang baik-baik saja?
-
Mereka berpendapat bahwa zakat profesi ada dua jenis pelaksanaan,
sesuai jenis pendapatan manusia. Pertama, untuk orang yang gajian
bulanan, maka pendekatannya dengan zakat tanaman, yaitu nishabnya adalah
5 wasaq, senilai dengan 653 Kg gabah kering giling, dan dikeluarkan
2,5%, yang dikeluarkan ketika menerima hasil (gaji), tidak ada haul.
Kedua, bagi yang penghasilannya bukan bulanan, seperti tukang jahit,
kontraktor, pengacara, dokter, dan semisalnya, menggunakan pendekatan
zakat harta, yakni nishab senilai dengan 85gr emas setelah diakumulasi
dalam setahun, setelah dikurangi hutang konsumtif, dikeluarkan sebesar
2,5%.
Pihak
yang menolak, umumnya para ulama Arab Saudi dan yang mengikuti mereka,
berpendapat tidak ada zakat profesi. Sebab Al Quran dan As Sunnah secara
tekstual tidak menyebutkannya.
Mereka
menganggap, aturan main zakat profesi tidaklah konsisten. Kenapa
nishabnya diqiyaskan dengan zakat tanaman (5 wasaq), tetapi yang
dikeluarkan bukan dengan ukuran zakat tanaman pula? Seharusnya
dikeluarkan adalah 5% atau 10% sebagaimana zakat tanaman, tetapi zakat
profesi mengeluarkan zakatnya adalah 2,5% mengikuti zakat emas.
Sementara
Syaikh Ibnul ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Al Munajjid dan lainnya
mengatakan bahwa zakat penghasilan itu ada, tetapi seperti zakat
lainnya, mesti mencapai nishab, dan menunggu selama satu haul. Dengan
kata lain, tidak diwajibkan zakat penghasilan pada gaji bulanan.
Demikianlah perselisihan ini.
Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar