Kamis, 13 Maret 2014

Muraqabah atau mawas diri

Pengertian Muraqabah - Muraqabah atau mawas diri adalah suasana hati yang timbul karena kesadaran seseorang bahwa ia berada dalam pengawasan Allah yang Maha Mengetahui Lahir dan Batinnya. 
Allah berfirman:
"Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya." (Q.S. Al-'Alaq: 14).
Allah berfirman:
"Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu." (Q.S. Al-Ahzab: 52).
Allah berfirman:
"Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah pun di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). (Q.S. Yunus: 61).
Muraqabah itu dapat dilakukan terhadap bermacam-macam amal perbuatan. Pada amal shaleh yang disyariatkan, misalnya, muraqabah di sini adalah dengan mengawasi niat, di mana amal tersebut harus dilakukan sesuai dengan niat yang ikhlas, kesempurnaan akal dan memenuhi adab syariatnya. Jika amal-amal tersebut mubah, maka muraqabah dilakukan dengan cara bersyukur kepada Allah, karena telah menjadikan amal-amal tersebut mubah.
Di antara muraqabah pada hal-hal yang mubah adalah mengamalkannya dengan adab syariat, dengan cara mengikuti sunnah, dengan perasaan gembira atas nikmat Allah, dengan bertafakur atas ciptaan dan keajaiban-keajaiban ciptaan Allah pada hal-hal yang mubah tersebut dan dengan niat baik. Dalam muraqabah dengan cara ini terkandung dzikrullaah.
Adapun muraqabah terhadap maksiat, dilakukan dengan cara menjauhinya, bertaubat, menyesali, kembali kepada Allah, memohon ampun, merasa malu kepada-Nya dan mengiringi perbuatan maksiat yang dahulu terlanjur dilakukan dengan amal-amal saleh. 
dari Segi fungsinya, muraqabah itu dapat kita kelompokkan kepada:
1. Mengadakan perhitungan dengan dirinya sendiri (muhasabatun nafsi)
2. Menetapkan syarat-syarat yang memberatkan dirinya sendiri (musyarathatun nafsi)
3. Berusaha keras memerangi nafsu (Mujahadatun nafsi)
4. Mencela diri (muatabatun nafsi)
5. Menetapkan hukum bagi diri sendiri (muaqobatun nafsi)
derajat muraqabah tertinggi adalah bersabar sewaktu tenggelam dalam musyahadah, tidak berbicara kecuali tentang Allah dan tidak mendengar kecuali dari-Nya. pada derajat ini manusia tidak perlu mengawasi perilakunya karena tubuh tidak akan melakukan gerakan kecuali jika dikehendaki oleh hati. Inilah deraja muqarabin. 
Derajat muraqabah yang kedua diduduki oleh ashaabul yamiin, yaitu ahli wara'. pada derajat ini mereka menyadari bahwa Allah mengawasi lahir dan batinnya, akan tetapi mereka masih menyimpan keinginan untuk melihat amal dan hal. Jadi mereka belum dapat benar-benar bermusyahadah dan masih perlu terus muraqabah. Jika amal tersebut ikhlas untuk Allah, mereka melaksanakan dan jika untuk selain Allah, amal itu mereka tinggalkan.
Hasan al-Bashri berkata, "Beberapa sufi meneliti niat mereka dahulu sebelum bersedekah. Jika ikhlas untuk Allah segera mereka laksanakan niat mereka itu."
Seseorang hendaknya memperhatikan awal bisikan yang terlintas di hatinya. Jika batil hendaknya ia tinggalkan bisikan itu. Karena bisikan itu dapat menjadi keinginan (roghbah).  Keinginan akan menimbulkan gairah (himmah), gairah akan menimbulkan suatu tekad (azm). Azm akan berubah menjadi keinginan yang sangat kuat, yang akhirnya akan terwujud dalam suatu perbuatan.
===Semoga Bermanfaat===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar