Pengertian Muraqabah - Muraqabah atau mawas diri adalah suasana
hati yang timbul karena kesadaran seseorang bahwa ia berada dalam
pengawasan Allah yang Maha Mengetahui Lahir dan Batinnya.
Allah berfirman:
"Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya." (Q.S. Al-'Alaq: 14).
Allah berfirman:
"Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu." (Q.S. Al-Ahzab: 52).
Allah berfirman:
"Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari
al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami
menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari
pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah pun di bumi ataupun di
langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari
itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).
(Q.S. Yunus: 61).
Muraqabah itu dapat dilakukan terhadap bermacam-macam amal perbuatan.
Pada amal shaleh yang disyariatkan, misalnya, muraqabah di sini adalah
dengan mengawasi niat, di mana amal tersebut harus dilakukan sesuai
dengan niat yang ikhlas, kesempurnaan akal dan memenuhi adab syariatnya.
Jika amal-amal tersebut mubah, maka muraqabah dilakukan dengan cara
bersyukur kepada Allah, karena telah menjadikan amal-amal tersebut
mubah.
Di antara muraqabah pada hal-hal yang mubah adalah mengamalkannya dengan
adab syariat, dengan cara mengikuti sunnah, dengan perasaan gembira
atas nikmat Allah, dengan bertafakur atas ciptaan dan
keajaiban-keajaiban ciptaan Allah pada hal-hal yang mubah tersebut dan
dengan niat baik. Dalam muraqabah dengan cara ini terkandung
dzikrullaah.
Adapun muraqabah terhadap maksiat, dilakukan dengan cara menjauhinya,
bertaubat, menyesali, kembali kepada Allah, memohon ampun, merasa malu
kepada-Nya dan mengiringi perbuatan maksiat yang dahulu terlanjur
dilakukan dengan amal-amal saleh.
dari Segi fungsinya, muraqabah itu dapat kita kelompokkan kepada:
1. Mengadakan perhitungan dengan dirinya sendiri (muhasabatun nafsi)
2. Menetapkan syarat-syarat yang memberatkan dirinya sendiri (musyarathatun nafsi)
3. Berusaha keras memerangi nafsu (Mujahadatun nafsi)
4. Mencela diri (muatabatun nafsi)
5. Menetapkan hukum bagi diri sendiri (muaqobatun nafsi)
derajat muraqabah tertinggi adalah bersabar sewaktu tenggelam dalam
musyahadah, tidak berbicara kecuali tentang Allah dan tidak mendengar
kecuali dari-Nya. pada derajat ini manusia tidak perlu mengawasi
perilakunya karena tubuh tidak akan melakukan gerakan kecuali jika
dikehendaki oleh hati. Inilah deraja muqarabin.
Derajat muraqabah yang kedua diduduki oleh ashaabul yamiin, yaitu ahli
wara'. pada derajat ini mereka menyadari bahwa Allah mengawasi lahir dan
batinnya, akan tetapi mereka masih menyimpan keinginan untuk melihat
amal dan hal. Jadi mereka belum dapat benar-benar bermusyahadah dan
masih perlu terus muraqabah. Jika amal tersebut ikhlas untuk Allah,
mereka melaksanakan dan jika untuk selain Allah, amal itu mereka
tinggalkan.
Hasan al-Bashri berkata, "Beberapa sufi meneliti niat mereka dahulu
sebelum bersedekah. Jika ikhlas untuk Allah segera mereka laksanakan
niat mereka itu."
Seseorang hendaknya memperhatikan awal bisikan yang terlintas di
hatinya. Jika batil hendaknya ia tinggalkan bisikan itu. Karena bisikan
itu dapat menjadi keinginan (roghbah). Keinginan akan menimbulkan
gairah (himmah), gairah akan menimbulkan suatu tekad (azm). Azm akan
berubah menjadi keinginan yang sangat kuat, yang akhirnya akan terwujud
dalam suatu perbuatan.
===Semoga Bermanfaat===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar