Rabu, 26 November 2014

KASIH SAYANG RASULULLAH KEPADA KAUM MUSLIMIN DI HARI KIAMAT

KASIH SAYANG RASULULLAH KEPADA KAUM MUSLIMIN DI HARI KIAMAT (1)

Kasih sayang Rasulullah terhadap kaum muslimin bukan hanya terbatas ketika mereka masih hidup maupun menjelang dan beberapa saat setelah mereka mengalami kematian, melainkan masih terus berlanjut hingga Hari Kiamat.
 “Hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam.” (Al-Muthaffifîn: 6).
            Di hari yang sulit ini seorang hamba sangat membutuhkan pertolongan dan kasih sayang. Hari yang dahsyat ini tidak pernah jauh dari benak Rasulullah saw. Beliau bersabda:
بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ
Jarak antara waktu saya diutus dan hari kiamat seperti kedua (jari) ini.” Beliau memberi isyarat dengan mengumpulkan jari telunjuk dengan jari manis.[1]
Oleh karena itu, Rasulullah selalu mengingatkan manusia tentang hari kiamat. Beliau tahu bahwa hari itu pasti terjadi dan tak ada keraguan sedikit pun.
Karena rasa kasih sayang Rasulullah kepada kaum muslimin, beliau berusaha agar mereka bersiap untuk menghadapi hari yang sulit ini. Beliau selalu berusaha membawa kehidupan mereka ke arah yang positif sebagai persiapan menghadapi detik-detik penting di masa mendatang.
Seorang laki-laki pernah datang kepada Rasulullah dan bertanya, “Kapan kiamat?” Beliau balik bertanya, “Apa yang engkau persiapkan untuknya?” Orang ini menjawab, “Tidak ada satu pun kecuali saya mencintai Allah dan Rasulnya.” Beliau bersabda:
أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ.
“Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.”[2]
Inilah kasih sayang yang sangat besar dari beliau. Beliau mengingatkan umatnya untuk bersiap menghadapi hari itu sebelum hari kematiannya datang dan menghilangkan kesempatannya untuk beramal.
Beliau sangat sibuk memikirkan nasib umatnya pada hari itu. Sampai-sampai beliau menyimpan doa beliau yang sangat khusus sampai hari kiamat sebagai bentuk syafaat beliau kepada umatnya. Nabi bersabda:
لِكُلِّ نَبِيٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ، فَتَعَجَّلَ كُلُّ نَبِيٍّ دَعْوَتَهُ، وَإِنِّي اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَهِيَ نَائِلَةٌ - إِنْ شَاءَ اللهُ - مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا.
“Sesungguhnya setiap nabi mempunyai satu doa yang mustajab. Setiap nabi sudah menggunakan doa tersebut di dunia. Aku ingin menggunakan doa itu kelak untuk memberi syafaat kepada umatku hari kiamat. Syafaat ini–insya Allah- pasti akan didapatkan oleh mereka yang meninggal dari umatku dan tidak menyekutukan Allah.”[3]
Sebagian orang memahami bahwa syafaat ini akan berlaku untuk orang yang ta’at dan bertakwa saja. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Syafaat Nabi akan berlaku juga bagi orang-orang yang berbuat maksiat, bahkan bagi orang yang melakukan dosa besar! Rasulullah saw bersabda:
شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي
“Syafaatku untuk orang-orang yang berdosa besar dari umatku.”[4]
Hal ini tentu tidak menjadi dorongan untuk melakukan dosa besar tanpa merasa takut kepada Allah SWT. Seorang hamba bisa saja disiksa di neraka selama kurun waktu yang tidak ada yang mengetahuinya selain Allah, kemudian dikeluarkan dengan syafa’at dari Rasulullah saw. Siksa ini—walaupun sebentar—tidak boleh diremehkan oleh seorang hamba, sebab satu celupan ke neraka jahannam akan membuatnya melupakan semua kenikmatan di dunia.
Rasulullah bersabda, “Didatangkan orang yang paling merasakan kenikmatan dunia namun termasuk penghuni neraka. Dia dicelupkan ke dalam neraka sekali saja, kemudian ditanya, ‘Wahai anak adam, pernahkah engkau melihat kebaikan? Pernahkah engkau merasakan kenikmatan di dunia?’ Ia menjawab, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rabbku.’ Kemudian didatangkan orang yang merasa paling sengsara di dunia namun menjadi penghuni surga. Dia dicelupkan ke dalam surga sekali saja. Kemudian ditanya, ‘Wahai anak adam, pernahkah engkau melihat derita? Pernahkah engkau merasakan sengsara?’ Ia menjawab, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rabbku. Aku tak pernah melihat derita dan tak pernah merasa sengsara’.”[5]
            Hal yang paling berbahaya adalah seorang yang berbuat dosa besar dan meninggal dalam keadaan keluar dari Islam (murtad). Hal ini menjadikannya keluar dari umat Nabi Muhammad saw secara utuh sehingga ia terhalang dari mendapatkan syafaat.
Syafaat yang diberikan kepada pelaku dosa besar bukan berarti memberikan kesempatan dan kelonggaran bagi mereka untuk berbuat dosa dan kemungkaran. Hal ini semata-mata untuk memperjelas sejauh mana kasih sayang Rasulullah, sampai-sampai beliau mencurahkan syafaatnya kepada para pelaku dosa besar juga, selama ia masih memiliki keimanan dan rasa tauhid di dalam dada.

[1] HR Bukhari (6138), Muslim (2951), Tirmidzi (2214), Ibnu Majah (45), Ahmad (12267), Darimi (2759), dan Ibnu Hibban (6641).
[2] HR Bukhari (3485), Muslim (2639), Tirmidzi (2385), Ahmad (12715), Ibnu Khuzaimah (1796), dan Ibnu Hibban (563).
[3] HR Bukhari (5945), Muslim (199), Tirmidzi (3602), Ibnu Majah (4307), Ahmad (9500), Malik (494), Darimi (2467), dan Ibnu Hibban (6196).
[4] HR Tirmidzi (2435), Abu Dawud (4739), Ahmad (13245), Hakim (228), dan Ibnu Hibban (6467). Al-Albani menshahihkannya dalam Shahîh Al-Jâmi' (3714).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar