Senin, 10 November 2014

Cermin Rumah Tangga bahagia

Cermin Rumah Tangga
Keluarga bahagia adalah dambaan setiap insan. Banyak cara yang ditawarkan dan banyak jalan yang ditempuh untuk menggapainya. Walaupun terkadang berakhir dengan kekecewaan. Namun bagi setiap muslim, mereka menyadari bahwa rumah tangga Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah potret nyata keluarga bahagia, cermin utama untuk mewujudkan impian setiap muslim dalam meraih kebahagiaan dan menciptakan suasana yang harmonis dalam keluarga sehingga mampu menjadikan rumah mereka seperti surga. Bukan hanya di dunia saja, namun juga sebagai jembatan menuju negeri akhirat yang kekal tiada sirna.
Keluarga bisa menjadi surga di dunia, penyejuk hati bagi panasnya penderitaan dunia, pelepas lelah setelah letih bekerja dan pemupuk semangat kerja. Namun keluarga bisa pula menjadi neraka dunia, pemusnah harapan dan cita-cita. Oleh karenanya, mulianya akhlak seseorang atau bejatnya moral seseorang , seringnya berawal dari keluarga.
Pada edisi kali ini, kami akan mengantar para pembaca yang budiman untuk menyimak kehidupaan rumah tangga Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Menikmati indahnya surga dunia dan melihat Nabi – Shallallahu ‘alaihi wa sallam – dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk selanjutnya kita dapat meneladaninya. Sebab hal itu merupakan jaminan untuk meraih kebahagiaan yang kita dambakan. Allah -Ta’ala- berfirman,
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. ”.
(QS. Al-Ahzaab : 21)

Berlemah lembut kepada wanita dan berupaya menggapai cintanya.
Seorang suami hendaknya berlaku lemah lembut kepada istrinya dan begitu pula sebaliknya. Penuh kasih sayang kepadanya, berakhlak yang mulia serta bergaul yang baik terhadap keluarganya. Sebab hal itu akan mewujudkan keluarga yang mawaddah wa rahmah. Demikianlah yang dicontohkan oleh Nabi- Shallallahu ‘alaihi wa sallam - agar menjadi teladan bagi umatnya dan senantiasa menghiasi diri mereka dengan akhlak tersebut.
عن عائشة رضي الله عنها قالت : ( دعاني رسول الله صلى الله عليه وسلم ودخل الحبشة يلعبون بحرابهم في المسجد [ في يوم عيد] فقال لي : يا حميراء أتحبين أن تنظري إليهم ؟ فقلت : نعم فقام بالباب وجئته فوضعت ذقني على عاتقه وأسندت وجهي إلى خده قالت : ومن قولهم يومئذ : أبا القاسم طيبا. حتى إذا مللت قال : حسبك: قلت : لا تعجل فقام لي ثم قال : حسبك ؟ قلت : لا تعجل قالت : ما بي حب النظر إليهم ولكن أحببت أن يبلغ النساء مقامه لي ومكاني منه حتى شبعت
“Dari Aisyah istri Nabi- Shallallahu ‘alaihi wa sallam -berkata, “Orang-orang Habasyah masuk ke masjid mengadakan permainan [di hari ‘ied]. Nabi – Shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda kepadaku, “Wahai Humaira, apakah engkau suka melihat permainan mereka?” Aku menjawab, “Ya.” Lalu beliau bangkit menuju pintu. Akupun mengikutinya. Kuletakkan daguku pada pundaknya dan kutempelkan wajahku pada pipi beliau. Aisyah bertutur, “Diantara perkataan mereka pada hari itu adalah , “Abu Qosim yang baik.”Rasulullah – Shallallahu ‘alaihi wa sallam -bersabda, “Cukup?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, jangan tergesa-gesa.” Lalu beliau bangkit dan berkata lagi ,”Sudah cukup?” Aku menjawab, “Jangan tergesa-gesa, wahai Rasulullah”. Aisyah berkata,”Sebenarnya bukan karena aku suka melihat permainan mereka. Tetapi aku ingin agar para wanita mngetahui kedudukanku di sisi Beliau – Shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan kedudukan beliau di sisiku.” [HR. HR. Al-Bukhoriy, Muslim, Ahmad, dan An-Nasa’iy dalam Al-Kubro (no.8951)]
Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah yang bisa kita petik:
Pentingnya bersikap lembut dan berupaya meraih cinta wanita sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah - Shallallahu ‘alaihi wa sallam – kepada ‘Aisyah untuk mengajaknya menyaksikan permainan tombak orang-orang Habasyah di masjid pada hari ‘ied.
Lantaran itu, sepantasnyalah bagi setiap muslim untuk meneladani Nabinya -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam membahagiakan istri-istri mereka dan berupaya meraih cinta istrinya. Sebab hal itu akan memberikan rasa bahagia tersendiri di sisi para istri dan menyadari bahwa begitu berartinya diri seorang istri di sisi suaminya. Namun, terkadang kondisi seperti ini banyak disalahartikan oleh sebagian wanita di zaman ini. Mereka senantiasa dimanjakan oleh suami mereka sehingga menjadi wanita yang tidak bersyukur dan ingkar kepada kebaikan suami. Kondisi inilah yang pernah disabdakan oleh Rasulullah – ketika beliau berkata,
أُرِيْتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ . قِيْلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللهِ ؟ , قال: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ , لَوْ أَحْسَنْتَ إَلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ , ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا, قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْراً قَطُّ
“Telah diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuninya adalah wanita, mereka telah kufur (ingkar)!” Ada yang bertanya, “Apakah mereka kufur (ingkar) kepada Allah?” Rasullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menjawab, “Tidak, mereka mengingkari (kebaikan) suami. Sekiranya kalian senantiasa berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang hidupnya, lalu ia melihat sesuatu yang tidak berkenan, ia (istri durhaka itu) pasti berkata, “Saya sama sekali tidak pernah melihat kebaikan pada dirimu”.
[HR. Bukhariy dalam Shohih-nya (29), dan Muslim dalam Shohih-nya (907)]
Al-Imam Abul Walid Al-Baaji -rahimahullah- berkata, “Sabda beliau, “Sekiranya kalian senantiasa berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang hidupnya, lalu ia melihat sesuatu yang tidak berkenan, ia (istri durhaka itu) pasti berkata, “Saya sama sekali tidak pernah melihat kebaikan pada dirimu” sabda ini merupakan wejangan dan kecaman mengingkari kebaikan suami dan menolaknya ketika terjadi perubahan dan terjadinya sesuatu berupa kesalahan, karena tak ada seorang pun -seiring lamanya pergaulan- yang selamat dari kesalahan atau pelanggaran dalam ucapan dan perbuatan. Lantaran itu, kebaikannya yang banyak dan pemberiannya yang dulu jangan diingkari”. [Lihat Al-Muntaqo Syarh Al-Muwaththo’ (1/454)]
Wanita-wanita durhaka seperti ini selalu ingin mengalahkan serta menguasai suami mereka. Para wanita semacam ini tidak memiliki kehormatan dan akan dipandang hina oleh masyarakatnya, sebab menyalahi kodrat dan fitrah yang telah Allah karuniakan kepada pria dan wanita. Allah –Ta’ala-berfirman,
“Kaum laki-laki itu adalah peemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (para pria) atas sebagian yang lain(wanita)”. (QS. An-Nisa’: 34)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Maksudnya, Laki-laki adalah pengurus wanita, yakni pemimpinnya, pembesarnya, pemutus urusannya dan pendidiknya jika ia bengkok karena sesuatu yang Allah anugerahkan kepada sebagiannya atas sebagian yang lainnya. Maksudnya, para lelaki lebih utama dibandingkan kaum wanita. Laki-laki lebih baik dibandingkan wanita. Karena inilah, kenabian khusus ada pada kaum lelaki. Demikian pula kekuasaan tertinggi (khusus bagi kaum lelaki)”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/292)]
Memberikan keleluasaan kepada keluarga pada hari raya dengan berbagai sarana penyegar (refreshing) dan melonggarkan otot-otot tubuh. Tentunya yang sesuai dengan apa yang dihalalkan dan dibolehkan Allah –Subhana wa Ta’ala- pada sebagian waktu, seperti pada hari raya.
Menampakkan kegembiraan pada hari raya termasuk dari syi’ar agama. Oleh karena itu, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- saat melihat Abu Bakr -radhiyallahu anhu- mengingkari beberapa wanita cilik yang bernyanyi (sedang mereka bukan biduan), maka Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- membolehkan mereka seraya bersabda,
“Wahai Abu Bakr, sesungguhnya setiap kaum memiliki ied (hari raya), sedang ini adalah ied kita”. [HR. Al-Bukhoriy (no. 952) dan Muslim (no. 2058)]
Hadits ini menjelaskan bahwa bernyanyi bagi wanita cilik dan bermain di hari ied adalah perkara yang boleh selama permainan itu bukan maksiat. Namun nyanyian itu tak boleh diiringi oleh alat musik. Adapun rebana yang tak ada gemerincingnya, maka syariat memberikan keringanan padanya untuk digunakan oleh wanita-wanita cilik di hari ied atau perkawinan. Sedang alat musik lainnya, diharamkan dalam Islam, baik di hari ied atau yang lainnya sebagimana dijelaskan dalam sebuah hadits Shohih Al-Bukhoriy (no. 5590).
Penjelasan tentang sifat Rasulullah – Shallallahu ‘alaihi wa sallam - yang lembut, penuh kasih sayang dan berakhlak yang baik terhadap keluarga, istri dan yang lainnya. Sudah selayaknya bagi para suami untuk menghiasi dirinya dengan akhlak tersebut. Begitu pula bagi sang istri untuk bersifat lembut terhadap suaminya. Jika muka masam adalah racun wajahmu, membosankan adalah karaktermu dan mengkritik adalah penilaianmu kepada orang lain, maka engkau termasuk dalam deretan orang-orang yang sengsara hidupnya. Haruslah diingat bahwa kebahagiaan berasal dari hati yang tercermin dalam sikap dan raut wajah. Oleh karenanya, mayoritas orang yang mendapatkan kebahagiaan adalah orang yang ramah dan senantiasa tersenyum terhadap segala takdir Allah. Sekarang, perhatikanlah wajah anda di cermin!
Penjelasan tentang keutamaan Aisyah –Rhodiyallahu anha-, ketinggian kedudukannya di sisi Nabi-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan kecintaan beliau padanya. Oleh karena itu, ketika beliau – Shallallahu ‘alaihi wa sallam – ditanya,
أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: عَائِشَةُ
“Siapakah orang yang paling anda cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah”.[HR. Bukhariy (no. 3662) dan Muslim (no. 6127)].

Diantara perkara yang menumbuhkan kasih sayang adalah memanggil seseorang dengan panggilan yang disukai orang tersebut atau yang diperkirakan bahwa panggilan itu disukainya. Khususnya nama yang bersifat memanjakan. Hal ini dalam konteks ucapan dan adab bergaul antara suami-istri. Dengan demikian, kondisi ini akan menambah perasaan cinta dan penghormatan. Oleh karenanya, Rasulullah- Shallallahu ‘alaihi wa sallam – telah memanggil Aisyah - Rhodiyallahu anha – dengan sebutan, “Ya Humaira’”. Ini adalah bentuk tasghir (pengecilan) dari hamra’. Maknanya, yang kemerah-merahan, tapi yang dimaksud si putih. [Lihat An-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits (/) oleh Ibnul Atsir Al-Jazariy]
Beliau - Shallallahu ‘alaihi wa sallam – terkadang memanggilnya dengan panggilan tarkhim yaitu mengucapkannya dengan jelas dan memudahkan pengucapannya dengan cara membuang satu huruf atau lebih pada akhir kata. Dengan panggilan tarkhim itu lebih menunjukkan pada kedekatan dan kasih sayang. Bahkan terkadang Beliau- Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memanggil Aisyah dengan nama,

يَا عَائِشَ هَذَا جِبْرِيلُ يُقْرِئُكِ السَّلَامَ
“Ya ‘Aisy, ini Jibril mengucapkan salam kepadamu”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3217, 3768, 6201 & 6249) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 6254)]

Inilah beberapa lentera kehidupan rumah tangga yang bahagia di dunia dan di akhirat. Rumah tangga yang penuh dengan cahaya, kelapangan hati, dan rasa saling memahami dan saling mencintai. Rumah tangga yang dirajut oleh cinta yang suci, cinta yang dilandasi keikhlasan dalam ketundukan dan ketaatan kepada Sang Pencipta, Allah -Azza wa Jalla- demi meraih keberuntungan abadi di sisi-Nya kelak, insyaa Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar