Kita kembali ke ribuan tahun ke belakang, membuka lembaran sejarah
mereka yang sepanjang zaman jadi teladan. Kita ingin belajar dari
sejarah, bukan hanya belajar sejarah. Kita ingin mengambil fakta dari
sejarah bukan hanya mengumpulkan data. Kita tak ingin salah melangkah ke
depan, dan itulah salah satu fungsi sejarah, belajar dari kekhilafan
lalu agar tak salah melangkah di masa depan, atau belajar dari
kegemilangannya agar lulus sebagai pemenang. Tidak syak lagi, kalau
wanita, selalu dan selamanya memiliki peran penting dalam peradaban
setiap bangsa atau ummat. Tidak berlebihan kiranya jika ada sebagian
orang yang mengatakan bahwa wanita adalah “Tiang Negara”, tidak
berlebihan pula jika sebagian yang lain mengatakan wanita sebagai
“Madrasah pertama bagi anak-anaknya”, dan seterusnya-dan seterusnya
berbagai ungkapan dilontarkan tentang wanita.
Sejarah tak luput
mencatat, bagaimana Musa dan para wanita yang berjasa dalam hidupnya.
Musa AS dilahirkan saat kondisi sedang pelik. Rasa takut firaun akan
tahtanya membuatnya bertindak tiran dan sewenang-wenang di muka bumi.
Setiap bayi laki-laki yang lahir ke dunia patut di sembelih, adapun bayi
perempuan dibiarkannya hidup.
Sosok pertama seorang wanita dalam
hidup Musa adalah Ibu nya. Lihatlah bagaimana keadaannya tatkala Musa
lahir ke dunia? Sang Ibu bimbang hatinya, apa yang harus dilakukan,
sedangkan firaun dan bala tentaranya pasti akan segera menjamah dan
merampas setiap anak lelaki dari tangan ibu-ibu mereka.
Saat sang
ibu mendekap erat Musa kecil dalam pangkuannya, dan bimbang semakin
menjadi-jadi, maka Allah sudah merencanakan sesuatu untuk Musa.
Tiba-tiba, sang ibu jadi bulat tekadnya untuk menghanyutkan sang buah
hati ke sungai dengan memasukannya ke dalam wadah, kemudian
menitipkannya kepada laju arus sungai.
Sesaat setelah Musa di
biarkan mengambang bersama arus sungai, sang ibu hatinya menjadi kosong,
penuh rasa penyesalan. Kenapa dia percaya kepada suara hati nya yang
muncul begitu saja itu? Bukankah membiarkannya mengambang di sungai jauh
lebih bahaya ketimbang membiarkannya didekap? Boleh jadi ia tenggelam
atau dimangsa buaya sungai yang buas! Hampir saja ibu Musa tak dapat
menahan dirinya, hampir saja dia berteriak dan ingin mengatakan segala
apa yang ada di hatinya yang boleh jadi semua rahasianya ‘kan terbongkar
seketika, namun Allah meneguhkan hatinya, agar ia menjadi seorang
mu’minah (yang percaya terhadap janji Allah).
“Ikutilah
jejaknya!”(QS. Al-Qoshos:11) suruh Ibu Musa terhadap anak perempuannya
(Saudari Musa). Ini dia, saudara perempuan Musa, wanita kedua dalam
kisah hidup Musa. Dengan amanah, dia mengikuti jejak musa sampai
penyusuran jejaknya itu akhirnya mengantarkan ia ke istana firaun, dan
ia dapati saudara laki-lakinya tengah berada di pangkuan istri sang
penguasa tiran, Firaun. Bagaimana bisa? Jawabannya hanya satu, sungai
telah memainkan perannya dengan baik, sungai tidak khianat dengan
suruhan Allah yang Maha berkuasa. Jika mau, boleh saja sungai menelan
bayi mungil itu, namun ternyata Allah telah menyuruhnya dengan tugas
khusus, yaitu mengantar bayi kecil ke sisi wanita mu’minah lainnya
(Istri Firaun).
Istri Firaun, wanita ketiga dalam hidup Musa,
telah memainkan perannya, Allah menakdirnya ‘tuk menjadi penyelamat Musa
kecil ketika kilatan pedang hampir saja memutus lehernya. Istri firaun
berkata “Jadikanlah ia sebagai buah hatiku dan dirimu! Jangan lah engkau
bunuh, mudah-mudahan anak ini kelak bisa bermanfaat bagi kita, kita
jadikan saja sebagai anak…”. (QS. Al-Qoshos: 9)
“Mereka membuat
makar, Allah pun membuat makar, dan Allahlah yang paling baik makarnya.”
(Ali-Imron: 54). Firaun ingin agar kekuasaannya langgeng, dengan
membunuh setiap bayi laki-laki dari masyarakat Bani Israil, sehingga
populasi lelaki mereka berkurang dan dengan demikian kekuasaan akan
tetap berada ditangannya. Firaun punya keinginan, tapi Allah punya
kehendak lain. Apa yang ditakutinya berupa keruntuhan kekuasaan justru
tak lama lagi akan terwujud, bayi kecil yang kini berada di bawah asuhan
istrinya inilah yang kelak akan menjadi musuhnya.
Mulailah istri
firaun mencarikan seseorang yang dapat menyusuinya. Tiap kali
didatangkan seorang yang hendak menyusuinya, tiap itu pula Musa kecil
dengan isyarat keengganannya menolak sang penyusu, sehingga kemudian
saudari perempuan Musa yang menyaksikan peristiwa di istana megah firaun
itu berkata “Mau kah ku tunjukkan kalian kepada seseorang yang dapat
menyusuinya?”.(Al-Qoshos: 12)
Demikianlah akhirnya Allah
mengembalikan musa ke haribaan ibunya, sehingga hati sang ibu kembali
menjadi tenang. Hari-hari berlalu, Musa tumbuh di istana musuhnya
sendiri, firaun, namun sang durhaka dan durjana firaun tidak
menyadarinya kalau bahaya yang ditakutinya sebenarnya setiap hari selalu
mengancam.
Kini Musa telah dewasa, Allah telah memberikan
kepadanya pengetahuan dan hikmah. Allah pun telah punya rencana lain
untuk Musa, hidupnya yang berkelimpahan di istana dan kenyamanan di
dalamnya, sesaat dan sesaat lagi akan berubah total.
Pada suatu
saat dalam sejarah hidupnya, Musa memasuki sebuah kota yang sedang
lengang, tak nampak aktivitas penduduknya, kemudian ia mendapati di kota
tersebut, dua orang tengah berselisih, yang satu dari kaumnya (Bani
Israil) yang lainnya adalah anak buah firaun. Maka orang yang dari
kaumnya itu meminta bantuan kepada Musa, seketika Musa memukul anak buah
firaun hingga ia tergeletak tak berdaya bahkan berhenti detak
jantungnya. Musa kaget bukan buatan atas apa yang telah dilakukannya,
padahal tak ada maksud sedikit pun untuk membunuh orang tersebut.
“Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri, maka
ampunilah diriku…”(Al-Qoshos:16) kata Musa bermunajat memohon ampun
kepada Allah atas kesalahan yang telah diperbuatnya.
Beberapa
hari setelah peristiwa itu, Musa dihadapkan kembali pada persoalan yang
sama, orang dari kaumnya yang kemarin berselisih meminta pertolongan
kembali kepada musa, mengesalkan memang, karena selalu saja orang dari
Bani Israel itu berbuat ulah sebagaimana cucu-cucunya saat ini. Musa
berkata kepada orang dari kaumnya itu “Engkau sungguh orang yang
nyata-nyata sesat”.(Al-Qoshos: 18)
Maka ketika Musa hendak
memukul orang yang menjadi musuh mereka berdua, dia (musuhnya) berkata
“Apakah engkau bermaksud membunuhku sebagaimana kemarin engkau membunuh
seseorang? Engkau hanya bermaksud menjadi orang yang berbuat
sewenang-wenang di Negeri ini (Mesir), dan engkau tidak bermaksud
menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan
perdamaian”.(Al-Qoshos: 19) Musa menjadi terdiam ketika mendengar
kata-katanya, marahnya terhadap pemuda yang hendak ia pukul ditahannya,
hingga berlalu lah pemuda tersebut dari hadapannya.
Rupanya
berita pembunuhan itu sudah menyebar ke seantero Mesir, Nama Musa
dibicarakan dari mulut ke mulut, dan bahkan ternyata namanya sudah
terdengar gaungnya di istana kerajaan firaun, karena beberapa saat
setelah musa hendak memukul orang tadi, datanglah seorang laki-laki
bergegas dari ujung kota seraya berkata “Wahai Musa! Sesungguhnya para
pembesar Negeri sedang berunding tentang engkau untuk membunuhmu, maka
keluarlah dari kota ini, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
memberi nasihat kepadamu”.(QS. Al-Qoshos: 20)
Keluarlah akhirnya
musa dari kota tersebut (kota Memphis), tanpa bekal, dan tanpa seseorang
yang menunjuki jalan, karena tuntutan tiba-tiba yang membuatnya tidak
sempat mempersiapkan apapun. Langkah kakinya menyisir gurun, menapak
jejak, akhirnya mengantarkan Musa ke sebuah negeri di antara negeri Syam
(Irak, Iran,…) dan Hijaz, yaitu kota Madyan. Kita tidak tahu, seberapa
lama musa berjalan, kita pun tidak tahu seberapa banyak bahaya yang
mengancamnya selama perjalanan, Al-Quran menjelaskan cerita secara
singkat, karena tujuan dari Kisah-kisah Al-Quran itu adalah Mengambil
Ibrah atau pelajaran dan nasihat di balik kisah Nabi Musa ini, bukan
sekadar hafalan data-data sejarah.
Mulailah satu fase kehidupan
baru Bagi Musa, kehidupan yang berbeda 180 derajat dari kehidupan
sebelumnya yang penuh dengan kemegahan Istana ayah angkatnya, Firaun.
Sekarang, Musa ada di negeri Orang, Negeri Madyan. Matanya memandang
jauh ke depan, dan ia dapati sekumpulan orang tengah berkerumun ‘tuk
memberi minum ternak mereka. Tiba-tiba saja Musa mengarahkan
perhatiannya pada dua orang perempuan yang berdiri jauh dari kumpulan
orang tersebut, sembari menahan hewan ternak keduanya agar jangan melaju
kearah desakan-desakan kerumunan tersebut.
Kemudian Musa
mendekati keduanya sembari berkata “Apakah Maksud Kalian berdua dengan
berbuat begitu?…”(QS. Al-Qoshos: 23), kedua perempuan itu menjawab “Kami
tidak bisa memberi minum ternak-ternak kami sebelum orang-orang itu
memulangkan ternak mereka (setelah selesai dari memberi minumnya),
sedangkan ayah kami adalah seorang yang telah lanjut usianya”. (QS.
Al-Qoshos: 23) Seakan-akan jawaban dari keduanya menunjukkan kalau
keberadaan mereka berdua di tengah desakan adalah perkara yang kurang
pantas bagi wanita, oleh karena itu keduanya berdiri jauh dari kerumunan
dan desak-desakan orang, sambil kemudian berkata “Ayah kami adalah
seorang yang telah lanjut usia”, maksudnya, kalaulah tidak karena ayah
kami sudah berumur, maka tentunya kami tidak akan berdiri di sini
sekarang.
Maka kemudian Musa membantu keduanya dalam memberi
minum ternak mereka berdua, setelah selesai, tanpa banyak kata,
pulanglah kedua perempuan itu, tak ada obrolan sedikit pun antara musa
dan keduanya, pun begitu pula musa tidak meminta upah dari keduanya.
Mulailah Musa mencari tempat berteduh, setelah mendapatkannya, ia
bernaung di bawah tempat teduh itu, dan tidak sedikit pun meminta-minta
walaupun banyak orang yang lalu-lalang di hadapannya. Musa berdoa “Ya
Allah aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang engkau turunkan
kepadaku.(QS. Al-Qoshos: 24)
Beberapa saat kemudian, tanpa
disangka-sangka datanglah kepada Musa salah satu dari kedua perempuan
itu. Sambil berjalan dengan malu-malu dia berkata “Sesungguhnya ayahku
mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas kebaikanmu
memberi minum ternak kami…”.(QS. Al-Qoshos: 25)
Kebaikan
benar-benar datang kepada Musa tanpa harus menunggu berhari-hari,
hitungannya hanya menit saja, tibalah pertolongan Allah kepadanya.
Setelah Musa sampai ke rumah kedua perempuan itu, bertemulah Musa dengan
Ayah keduanya, Sedangkan kedua perempuan tersebut berada di samping
ayahnya. Ia (perempuan tersebut) melihat ada sebuah kesempatan baginya
dan bagi saudarinya untuk istirahat dari lelah dan penatnya pekerjaan
mengembala kambing, oleh karenanya salah seorang dari kedua perempuan
berkata “…Wahai Ayah, jadikanlah ia sebagai pekerja kita, sesungguhnya
orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja pada kita
adalah orang yang kuat dan dapat di percaya”.(QS. Al-Qoshos: 26)
Keduanya telah menyaksikan sendiri kejujuran orang asing ini (Musa),
kemaskulinan (kelaki-lakiannya), dan kebaikan akhlaqnya dengan tidak
meminta upah sedikit pun sesaat setelah Musa membantu mereka berdua,
oleh karenanya jadilah dalam pandangan mereka berdua Musa sebagai
sebaik-baik pemuda.
Apa yang dirasakan kedua perempuan itu,
dirasakan pula oleh ayah keduanya, memang benar, orang asing ini (Musa)
selain butuh tempat berlindung, pun dapat diperbantukan untuk
pekerjaannya menggembala kambing, dan pada saat yang sama pula, orang
tua tersebut memiliki dua anak perempuan yang salah satu dari keduanya
sudah dirasa cukup untuk menikah, dan juga agar keberadaan Musa di
rumahnya tidak mengundang desas desus dan bisik-bisik tetangga, oleh
karenanya, menikahkan salah satu dari keduanya dengan ketentuan bekerja
beberapa tahun adalah solusi jitu dan pas. Berkatalah orang tua tersebut
“Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah
seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau
bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh
tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu, dan aku tidak bermaksud
memberatkan engkau. Insya Allah engkau mendapatiku termasuk orang yang
baik.(QS. Al-Qoshos: 27)
Musa menerima perjanjian itu, ia berkata
“…Itu perjanjian antara aku dan engkau, yang mana saja dari kedua waktu
yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan
atas diriku lagi, dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita
ucapkan”.(Al-Qoshos: 28)
Tinggallah Musa di negeri asing bersama
seorang istri yang mendampinginya, Inilah takdir Allah bagi Nabi Musa AS
dalam satu episode sejarah kehidupannya, Musa dan wanita-wanita berjasa
dalam hidupnya, Ibunya, Kakak perempuannya, Istri Firaun, dan Istrinya
yang solehah.
*******
Pelajaran yang bisa diambil dari satu episode dalam kehidupan Nabi Musa ini:
1. “Boleh jadi Kita tidak menginginkan sesuatu, padahal sesuatu itu
ternyata baik bagi kita”. Ini adalah gambaran dari fase kehidupan Musa,
kalaulah karena tidak karena sebab Musa memukul anak buah firaun,
tidaklah mungkin ia kan meninggalkan Mesir secara langsung dan
tiba-tiba. Sungguh ini adalah takdir Allah agar sempurna pembinaan Nabi
Musa, dan persiapannya di kemudian hari tuk menghadapi kecongkakan
firaun. Allah jauhkan dia dari kemewahan Istana firaun, dan kemudian
menempatkannya di tengah lingkungan gurun yang udaranya belum tercemari,
akhlak-akhlak penduduknya masih terjaga.
2. Andai Musa terus
tinggal di Istana Firaun sampai ia mendapat perintah menghadapinya, maka
itu akan menjadi hal yang cukup berat baginya, karena musa hidup dari
suapan firaun, tinggal di istananya. Maka dengan mudah firaun akan
mencelanya, dan menuduhnya tak tahu diuntung. Kehidupan Mandiri adalah
cara tuk mengantisipasi agar hal tersebut tidak terjadi, walau akhirnya
firaun mengejeknya juga dengan cara itu, padahal musa sudah mandiri dan
tidak sepenuhnya hidup dari suapan firaun, apalagi jika tidak demikian,
tentunya ini akan menjadi aib tersendiri bagi Musa.
3. Ada
kemiripan antara kisah Nabi Musa dan kisah Nabi Yusuf, pertama, Musa di
lempar oleh ibunya ke sungai dengan harapan agar selamat dari cengkraman
tangan jahat Firaun, adapun Yusuf, saudara-saudaranya lah yang
melemparnya ke sumur karena kedengkian mereka, kedua, keduanya sama-sama
hidup di lingkungan istana semasa kecil, namun dalam kisah Yusuf yang
paling berperan terhadap pendidikannya dan pengembangan dirinya adalah
raja dari istana yang ia tinggali sebagaimana dijelaskan di surat Yusuf
ayat 21, adapun dalam kisah Musa yang berperan adalah Istri dari raja
Firaun sebagaimana tersebut dalam surat Al-Qosos ayat 9.
Ketiga,
keduanya tinggal dalam lingkungan keberhalaan. Pada zaman Nabi Yusuf
keberhalaan dan kerusakan moral sudah mencapai puncaknya, pun begitu
pula pada zaman Nabi Musa, namun walaupun demikian, Allah telah menjaga
kehidupan keduanya dari keterlibatan dengan penyembahan berhala dan
kerusakan moral yang merajalela.
Keempat, Setiap fase dari kehidupan
dua Nabi ini selalu mengantarkan keduanya pada kondisi yang berbeda
bahkan perubahan drastis amat sangat terlihat dari sejarah hidup
keduanya. Yusuf hidup dengan nyaman di istana raja Mesir, kedekatan
Yusuf dengannya layaknya seorang anak dengan ayahnya, semua kenikmatan
hidup ia rasakan di dalamnya, pun begitu pula dengan Nabi Musa, dia
termasuk anak angkat firaun, dibesarkan di istananya dan sudah barang
tentu sempat mencicipi aneka kenikmatan hidup di dalamnya. Namun
ternyata, keduanya mesti kehilangan semua kenikmatan hidup itu.
Kehidupan mereka berdua tiba-tiba saja berpindah menuju kesengsaraan,
kerasnya hidup, ujian dan cobaan. Yusuf, dari kehidupannya yang penuh
kenikmatan, tiba-tiba saja harus mendekam di balik jeruji penjara
setelah lontaran tuduhan tak pantas ditujukan padanya oleh seorang
perempuan, istri pembesar Mesir, Zulaikha. Adapun Musa, kehilangan
semuanya sesaat setelah tindakannya yang berakibat pada terbunuhnya anak
buah firaun.
Kelima, wanita memiliki peran dalam kehidupan
keduanya, hanya saja dalam kisah Nabi Yusuf, peran tersebut berkebalikan
dengan peran wanita dalam kehidupan Nabi Musa. Atas takdir Allah
perempuan dalam kehidupan Nabi Yusuf menjadi sumber ujian dan cobaan
baginya, adapun dalam kehidupan Nabi Musa, bermula dari Ibu, Saudara
perempuan, Istri Firaun, sampai Istrinya, semuanya adalah Nikmat Allah
yang diberikan kepadanya.
4. Kisah Nabi dengan dua orang
perempuan yang ia temui di negeri Madyan ini memberikan gambaran pada
kita tentang Nilai-nilai Islam dan akhlak-akhlak yang semestinya
dipegang teguh oleh muslimah di manapun dan kapan pun ia berada,
beberapa di antaranya adalah:
• Semestinya bagi seorang wanita,
ketika ia hendak meninggalkan rumahnya dan menuju tempat lain, baik
terjun ke medan kerja, atau sekadar bepergian, berdua lebih baik dari
pada sendiri. Kita lihat dalam Kisah tersebut, dua orang perempuan kakak
beradik, keluar menuju medan kerja, walaupun boleh jadi orang tuanya
yang sudah lanjut usia sangat membutuhkan salah satu dari keduanya untuk
hanya sekadar mengambilkan minum, menyuapi makan atau yang lainnya,
namun kita lihat bagaimana keduanya keluar bersama-sama agar dapat
saling membantu satu sama lain, sehingga tidak membutuhkan bantuan dari
orang asing, lebih khusus lagi bahwa karakter dasar pembentukan wanita
yang tidak sekuat laki-laki menjadi sebab akan butuhnya seseorang yang
menemani dan membantu dalam beberapa pekerjaannya.
•
Masing-masing dari kedua perempuan dalam Kisah Musa ini layaknya kamera
pengintai bagi yang lainnya, ketika yang satu bekerja, maka yang lain
mengawasinya, agar hal-hal yang tidak diinginkan dapat dihindari, karena
keberadaan seorang wanita di tengah-tengah kerumunan orang, apalagi
jika kerumunan orang tersebut didominasi oleh kaum Adam, adalah hal yang
riskan baginya kalau-kalau terjadi hal-hal tercela yang tidak pantas
dari orang asing yang ditemuinya.
• Kita lihat bagaimana keduanya
tidak mau berdesak-desakan, dan ini dijelaskan oleh kata-kata mereka
berdua “Kami tidak bisa memberi minum ternak-ternak kami sebelum
orang-orang itu memulangkan ternak mereka (setelah selesai dari memberi
minumnya)….”. Seperti telah dijelaskan, bahwa desak-desakan bagi seorang
wanita adalah hal yang membuka celah terjadinya sesuatu yang tidak
mengenakkan hati, kecuali jika berdesakan di tengah kerumunan sesama
wanita, namun lebih utama dijauhi. Hal yang membuat saya miris adalah
ketika kebanyakan mahasiswi kita di Kairo, ikut berdesak-desakan di Bus,
karena memang di sini transportasi agak sulit, bukan karena kekurangan
unit kendaraan/angkutan, namun karena padatnya populasi penduduk. Wanita
berdiri di dekat pintu masuk bus sambil kakinya yang sebelah mengambang
di udara akan Anda dapati di sini, dan yang berbuat seperti itu
rata-rata mahasiswi Indonesia, oleh karena itu tingkat kriminal pemuda
Mesir terhadap mahasiswi Indonesia cukup masuk catatan, pun begitu pula
terhadap ras Melayu yang lainnya seperti Malaysia, Thailand, dan
Singapore.
• Kedua perempuan dalam kisah Nabi Musa ini tidak
keluar dengan bersolek dan berhias yang berlebihan, tidak pula berjalan
tanpa adab dan rasa malu, melainkan seperti yang digambarkan dalam ayat
“Berjalan dengan malu-malu”, seakan-akan rasa malu adalah jalan yang
dilewatinya tuk sedikit mendekat menuju Musa.
5. Dari ayat yang
berisi perjanjian Musa dan Orang tua, ayah kedua perempuan itu, kita
dapati kecerdasan dan kebijakan orang tua tersebut, yakni keputusannya
tuk menikahkan salah seorang anak perempuannya dengan Musa, karena
memang dia pun membutuhkan seseorang tuk menggantikannya mengurus
gembalaan, dan agar kedua anak perempuannya pun dapat istirahat dari
lelahnya menggembala. Kalaulah Orang tua tersebut tidak mengambil
keputusan menikahkan salah satu putrinya dengan Musa, maka beberapa
kesulitan yang mungkin menimpanya adalah sebagai berikut:
• Orang
asing ada di rumahnya, sedangkan dia memiliki dua putri, tentunya hal
ini akan memancing desas desus yang mencoreng aib keluarga.
•
Karena Musa adalah orang asing, boleh jadi ia akan meminta upahnya,
karena itu memang haknya, dan ini pun akan membuatnya sulit ‘tuk
memenuhi. Tapi karena Musa sudah menjadi menantunya, rasanya kurang
pantas jika masih meminta upah terhadap mertuanya.
• Musa akan
terus menjadi orang asing di rumahnya karena tidak terikat dengan ikatan
apapun, namun ketika sang orang tua menikahkan dengan salah satu
putrinya, maka keberadaannya di rumah itu adalah keberadaan yang sah
lagi halal, yaitu sebagai seorang suami dari salah satu putri orang tua
tersebut, kalau tidak demikian, apa statusnya ketika berkumpul dengan
dua orang perempuan yang asing baginya???
6. Tidak seorang Nabi
pun melainkan ia pernah menggembala Kambing, Nabi Muhammad, Musa, Isa,
dan lain sebagainya. Terdapat beberapa akhlaq yang didapatkan dari hasil
menggembala kambing ini, di antaranya:
• Sabar: Pekerjaan
penggembala adalah pekerjaan dari matahari terbit hingga terbenam,
karena kelambanan hewan ternak dalam mengunyah makanannya, maka sabar
adalah sebuah tuntutan akhlaq yang mau tidak mau mesti dipenuhi oleh
penggembala.
• Tawadhu (Rendah Hati): Ciri khas penggembala hewan
ternak (kambing, domba, dll) adalah pelayanannya terhadap hewan
tersebut, mulai dari mengurusi kelahirannya, penjagaannya yang boleh
jadi menuntutnya ‘tuk tidur di dekat hewan-hewan tersebut, dan bahkan
sesekali terkena kencingnya. Ketika pekerjaan ini terus berlanjut dan
berulang-ulang, hal itu akan semakin menjauhkannya dari besar kepala
atau sombong.
• Keberanian (Syaja’ah): Ciri khas lainnya dari
pekerjaan menggembala hewan ternak ini adalah bahaya
yang kerap kali
mengancam dari binatang buas sebangsa serigala yang setiap waktu dapat
memangsa hewan ternaknya. Maka seorang penggembala harus memiliki
keberanian lebih ‘tuk menghadang hewan buas ini.
• Kasih sayang
dan Belas kasih: Tuntutan pekerjaan penggembala kambing adalah,
mengobati hewan ternaknya ketika sakit, atau terluka karena gigitan
hewan buas. Semua ini membutuhkan kasih sayang dan belas kasih terhadap
hewan, memperlakukannya sebagaimana perlakuannya terhadap manusia. Siapa
saja yang mengasihi hewan dan berbuat lembut padanya, sudah barang
tentu akan memperlakukan manusia dengan sikap yang lebih lembut dan
penuh kasih sayang.
• Cinta pekerjaan hasil keringat sendiri:
Diriwayatkan Bukhari dari Miqdad R.A. dari Rasulullah saw, Beliau
berkata, “Tidak ada makanan yang paling baik bagi seseorang selain
makanan yang ia dapatkan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan
sesungguhnya Nabi Daud A.S. makan dari hasil kerja tangannya sendiri”
(HR. Muslim). Tidak diragukan lagi bahwa dengan bersandar pada usaha
halal ‘kan membuat seseorang meraih kebebasan sempurna dan berkuasa
untuk terang-terangan dalam melantangkan kebenaran.
Wallohu ‘alam bis shawab